Langit senja mulai memerah, menuju ke malam, sebentar lagi akan gelap. Melihatnya saja aku sudah merasa tenang.
Pukul 18.00
Jalan yang kususuri ini mengambil jalan yang sepi saat sore hari, menuju ke stasiun. Aku membuat janji untuk mengantarnya ke stasiun dan setidaknya masih ada waktu yang cukup sebelum jadwal keretanya berangkat. Jalan ini aman dan memiliki pemandangan yang indah untuk bersantai.
"Apa yang ingin kau tanyakan?"
"Tidak masalah jika aku yang memulainya? Bukankah kau yang mengajakku duluan tadi?"
"Kupikir lebih banyak yang akan kubicarakan, jadi sebaiknya aku menjawab pertanyaanmu dulu saja, Tsugumi-san."
Amakusa-san yang merapatkan tas di pundaknya mempersilahkan aku untuk bertanya padanya dulu, seperti alasan yang sudah kukatakan sebelum kita pergi. Aku meniup udara yang terasa dingin.
" Kenapa kau memilihku sebagai Ilustrator untuk novelmu? Aku yakin di luar sana ada banyak Ilustrator lebih handal dan grafis mereka yang lebih baik, bukan? Setidaknya seorang profesional. Aku hanya seorang kakak tingkatmu,"
Dia satu tahun di bawahku, seorang gadis SMA yang bisa kukatakan seorang kouhai (adik kelas). Tentu saja sebagai seorang penulis muda apalagi gadis, pasti lebih memilih partner yang profesional untuk menjadikan novelnya lebih baik dan keren.
Sebuah pertanyaan seperti itu terlintas begitu saja di kepalaku, ini seperti mengatakan "orang sepertiku tidak pantas" - dan aku sangat tahu kalau harga diriku berada di level orang bodoh.
Dia tidak langsung menjawab, kembali memasukkan kedua tangannya ke saku rok, dia memejamkan matanya sehingga aku tidak bisa melihat bola matanya yang indah itu.
𝘑𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯-𝘫𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘥𝘪𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘱𝘪𝘬𝘪𝘳 𝘢𝘬𝘶 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘰𝘥𝘰𝘩 𝘬𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘢𝘬𝘶 𝘮𝘦𝘮𝘱𝘦𝘳𝘵𝘢𝘯𝘺𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘩𝘢𝘭 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘱𝘦𝘳𝘭𝘶 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘪𝘵𝘶? 𝘠𝘢 𝘢𝘮𝘱𝘶𝘯....
Sedetik kemudian dia menoleh padaku dengan matanya yang sudah terbuka. Aku membalas tatapannya dengan menolehkan kepalaku juga.
"Hanya itu?"
𝘒𝘦𝘯𝘢𝘱𝘢 𝘥𝘪𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘵𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘰𝘭𝘢𝘩 𝘪𝘵𝘶 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘱𝘦𝘯𝘵𝘪𝘯𝘨?! 𝘈𝘱𝘢 𝘥𝘪𝘢 𝘣𝘦𝘯𝘢𝘳-𝘣𝘦𝘯𝘢𝘳 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘦𝘯𝘶𝘭𝘪𝘴? 𝘛𝘪𝘥𝘢𝘬𝘬𝘢𝘩 𝘥𝘪𝘢 𝘮𝘦𝘮𝘪𝘬𝘪𝘳𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘢𝘴𝘢𝘢𝘯 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘢𝘪𝘯 𝘫𝘶𝘨𝘢? 𝘈𝘴𝘵𝘢𝘨𝘢 𝘢𝘥𝘢 𝘢𝘱𝘢 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘨𝘢𝘥𝘪𝘴 𝘪𝘯𝘪?
Oke, disini aku sangat terkejut akan respon yang di luar dugaan. Karena responnya itu sama sekali tidak mencerminkan dirinya saat kami bertemu di kantor editorial tadi.
Aku akan beraksi seperti biasanya untuk membuat ini baik-baik saja.
"Yahh.....bukan hanya itu saja yang ingin kutanyakan, tapi setidaknya satu beban di kepalaku berkurang karena aku mengungkapkannya."
"Hmhmm...begitu ya? Tidak ada alasan khusus, itu Jawaban ku."
"Bisa dikatakan kalau hanya secara acak kau memilihku?"
Dia menggeleng beberapa kali, rambutnya sampai berkibar agak berantakan karenanya.
"Tidak, bukan itu."
"Ada alasan lainnya ya?"
"Light Novel, ya, itu alasannya."
𝘚𝘦𝘣𝘶𝘢𝘩 𝘓𝘪𝘨𝘩𝘵 𝘕𝘰𝘷𝘦𝘭? 𝘐𝘵𝘶 𝘴𝘦𝘣𝘶𝘢𝘩 𝘣𝘶𝘬𝘶 𝘯𝘰𝘷𝘦𝘭 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘰𝘱𝘶𝘭𝘦𝘳 𝘥𝘪 𝘬𝘢𝘭𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘳𝘦𝘮𝘢𝘫𝘢 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘨𝘢𝘪 𝘵𝘢𝘳𝘨𝘦𝘵𝘯𝘺𝘢. 𝘈𝘱𝘢 𝘮𝘶𝘯𝘨𝘬𝘪𝘯 𝘥𝘪𝘢 𝘪𝘯𝘨𝘪𝘯...
".....kerjasama yang berbeda?"
" Hm?"
Tiba-tiba aku bicara seperti itu, dia langsung merespon dengan memiringkan kepalanya sedikit. Dia belum mengetahui apa yang kumaksud dengan mengatakan itu, aku ingin memperjelasnya sedikit disini.
"Maksudnya sebuah kerjasama seperti penulis dan ilustrasi untuk membuat Light Novel, tapi dengan cara yang berbeda, begitu?"
"Itu bagus, Tsugumi-san. Kerjasama yang berbeda itu akan membuat partner senang!"
𝘌𝘦𝘦𝘦𝘦𝘦𝘩𝘩𝘩𝘩𝘩𝘩𝘩𝘩𝘩𝘩....?
Sayangnya ini seperti berganti topik secara tiba-tiba dan mengabaikan topik sebelumnya. Penulis muda ini memiliki sesuatu yang unik sepertinya.
"Bukannya kita sedang membicarakan soal kenapa aku memilihmu, ya? Kenapa bisa sampai disana?"
"Ahahaha....benar juga, kenapa ya..."
Tanpa sadar topiknya diketahui oleh Amakusa-san, sementara aku menggaruk kepalaku karena kebingungan. Itu segera berlalu ketika dia melanjutkan,
"Sebenarnya itu cerita yang panjang dan di waktu seperti ini tidak akan cukup untuk menceritakannya, mungkin lain aku akan mengatakannya. Ada satu hal yang menjadi inti dari jawaban itu,"
"Apa intinya?"
Dia mengedipkan sebelah matanya dan segera mengeluarkan tangan kanannya, jari telunjuk yang bersamaan keluar dari saku rok terlihat mengarah padaku.
"Karena aku menemukanmu, Tsugumi-san!"
Mataku terbuka lebar untuk mengekspresikan keterkejutanku. Aku tidak mengerti maksud dari kata-kata itu, tapi sekarang aku merasakan sesuatu yang panas menerpa wajahku.
Sifat, reaksi, kepribadian gadis ini, yang ternyata sangat berbeda dari saat dia memperkenalkan dirinya, membuatku tertarik untuk mengulik dirinya. Seperti sebuah misteri di balik segalanya tentang gadis ini masih belum terungkap.
Meskipun hanya sangat sebentar aku baru bertemu dengannya, aku menjadi seperti bertemu dua orang yang berbeda dalam diri seorang gadis.
Mengatakan dia menemukanku dengan nada semangat itu, senyum kecil terkembang di wajahnya yang...manis.
"Satu pertanyaan selesai, sekarang giliranku untuk bicara, kan?"
Aku hampir tidak memperhatikan apa yang dikatakannya, tapi aku segera mengontrol diriku dan kembali seperti semula. Mengangguk sekali sebagai jawaban, dia melanjutkan.
Kaki kami tidak berhenti berjalan, hanya memperlambatnya itu sudah cukup untuk membicarakan banyak hal.
"Rumah dan sekolahku sangat jauh dari sini, karena sekarang kita adalah partner, apa aku bisa mengajukan keinginan agar kerja sama tim tidak terganggu?"
Tim itu kita, sekarang kami adalah tim karena kami adalah partner.
"Tentu saja, mau mengajukan apa?"
"Tapi, Tsugumi-san adalah senpai (kakak kelas), apakah tidak ada yang dilakukan lebih dari kelas satu? Seperti aktivitas klub atau semacam ujian,"
"Jangan khawatir, jika ada perubahan jadwal seperti itu, aku akan memberitahumu. Kita tim dan partner sekarang. Meskipun kau bertanya begitu, bukankah kau juga akan sibuk dengan tulisanmu dan aktivitas lain di sekolah?"
"Aku tidak berniat melakukan apapun selain menulis. Baiklah, kapan waktu senggangmu dalam seminggu?"
Dengan mata berbinar, dia menanyakan waktu kosong di hari produktif-ku. Dari matanya dia sangat berharap kalau aku tidak akan memberi jawaban yang mengecewakan, itu juga mata yang belum bisa kulihat dari seorang Amakusa Chisaki.
Kalau dibilang senggang atau kosong, itu mustahil mendapatkannya. Namun, sekarang akan berbeda. Aku sudah memiliki partner pekerjaan, jadi yang perlu kupikirkan adalah menyusun ulang jadwal sekolahku dan harus menyisakan waktu untuk mengerjakan proyek bersama Amakusa-san.
"Hari Kamis, tidak banyak yang bisa kulakukan di hari itu."
"Kamis.....? Ohhh, baiklah. Pastinya keinginanku akan terkabul oleh itu, kan?"
"Keinginan atau pekerjaan?"
"Sekaligus! Hari Kamis jemput aku di stasiun dekat sekolahku, itu keinginanku."
"Apa?"
"....fufu....tentu saja aku juga akan bekerja keras setelah dijemput oleh Tsugumi-san, ini akan jadi kerjasama tim yang hebat!"
Rambutnya berkibar karena tubuhnya agak diputar untuk membiarkan kesenangan menyelimuti tubuhnya. Ada perasaan lega yang terlukis di ekspresi wajahnya, disini aku hanya bisa mengembuskan nafas pelan.
Permintaan dari seorang partner yang merepotkan, tidak, aku selalu memikirkan konsekuensi yang kudapat jika melakukan kerja sama.
Ini sebenarnya tidak terlalu buruk, yang buruk adalah jarak jauh itu...
Karena perjalanan kami telah habis dengan mengobrol, aku hampir tidak sadar kami telah sampai di stasiun. Tidak sempat menikmati langit senja yang indah, Amakusa-san berbalik padaku untuk pamit.
"Terima kasih sudah mengantarku, Tsugumi-san. Senang bertemu denganmu, kita akan bertemu lagi minggu depan di hari Kamis. Itu mungkin akan menjadi penantian yang lama, tapi tidak masalah, penantian itu akan terbayarkan bukan?"
"Fufufufu..."
"Kenapa? Kau tertawa..."
Sekarang aku sangat tahu mengapa aku tertawa kepadanya setelah ucapan perpisahan itu. Pemikiran yang logis menggambarkan dirinya.
"...tidak, aku hanya baru menyadari dengan jelas kalau kau adalah seorang penulis. Aku menertawai diriku sendiri karena baru saja menyadarinya, lebih tepatnya aku terlambat menyadari itu, ahahaha....."
Kata-katanya dalam berpamitan padaku itu diselip sedikit oleh kalimat bijak, itulah mengapa aku baru sadar kalau menyadari dia adalah seorang penulis. Mungkin saja dalam novel yang ditulisnya itu mencerminkan diri dan sifatnya.
Amakusa-san tersenyum tipis dan mengangguk sekali, kemudian dia melambaikan tangannya untuk menuju kereta. Aku membalas lambaiannya juga sambil melihatnya menghilang dari mataku sepenuhnya.
*********
"Aku pulang,"
"Hatori? Selamat datang....hari ini lebih terlambat dari biasanya, apa ada yang terjadi?"
Sambutan dari ibu sambil meletakkan sapu yang baru saja dipakainya, ibu bertanya padaku kenapa aku pulang terlambat.
Memang tidak seperti biasanya aku pulang lebih terlambat dari ini, sudah pukul setengah tujuh.
Aku tersenyum dan menjawabnya setelah aku menghampiri ibu.
"Amasawa-san membuat proyek baru untukku, pekerjaanku menjadi lebih mudah karena proyek itu nantinya. Tapi mau bagaimanapun juga, pekerjaan adalah pekerjaan, sesulit apapun aku harus melakukannya."
"Syukurlah.....aku mungkin terlalu mengkhawatirkanmu, Hatori. Sebagai pengingat saja, masa SMA tidak selalu lancar sesuai rencana, kau harus memperhatikan dirimu sendiri juga,"
"Aku mengerti. Tidak perlu khawatir, aku selalu memperhatikan dalam menempatkan diriku dengan baik, terima kasih, bu."
Setelah ibu meninggalkan aku di tempat tadi, aku juga pergi ke kamarku untuk berbenah.
"Oh, *Aniki. Kau sudah pulang? Selamat datang, hari ini lebih larut kurasa."
t/n * : Aniki = Salah satu cara memanggil kakak laki-laki
"Kau bukannya juga baru datang, Hitomi?"
Hitomi, adik laki-lakiku tiba-tiba keluar dari kamarnya dan menemukanku baru tiba di rumah. Dia sepertinya baru saja mandi, aroma sabun masih tercium dari tubuhnya yang agak basah.
Maksudnya mungkin untuk mencidukku, tapi aku mengatakan hal yang sebaliknya. Entah apa itu benar atau tidak, aku hanya asal mengatakan itu padanya.
"Masih satu minggu pertama, tahun ketiga tidak mudah, Aniki. Hari ini terlalu banyak yang terjadi sehingga aku menjadi terlambat pulang,"
Puk! Aku memukul pelan kepala adikku ini, dia sedikit agak pendek dariku untuk saat ini.
"Ughh...apa yang kau lakukan?"
"Terima kasih sudah bekerja keras, Hitomi."
"Kau terlalu baik, Aniki. Jagalah dirimu juga, pekerjaan itu penting tapi untuk sekarang lebih pentingkan sekolahmu dulu..."
"Akan kuingat itu..."
Aku segera memasuki kamarku melepaskan adikku untuk pergi, menutup pintu perlahan dan meletakkan tas sekolah di atas kursi belajar.
Merebahkan tubuhku di atas kasur, aku melihat ke arah langit-langit kamarku. Memikirkan apa yang dikatakan ibu dan Hitomi tadi tentangku.
𝘔𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘬𝘩𝘢𝘸𝘢𝘵𝘪𝘳𝘬𝘢𝘯𝘬𝘶, 𝘺𝘢...
𝘈𝘬𝘶 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘱𝘦𝘳𝘯𝘢𝘩 𝘣𝘦𝘳𝘱𝘪𝘬𝘪𝘳 𝘬𝘢𝘭𝘢𝘶 𝘢𝘬𝘶 𝘪𝘯𝘪 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘳𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘣𝘢𝘪𝘬, 𝘢𝘬𝘶 𝘩𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘪𝘯𝘨𝘪𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘢𝘯𝘵𝘶 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘮𝘢𝘮𝘱𝘶𝘢𝘯𝘬𝘶 𝘴𝘦𝘯𝘥𝘪𝘳𝘪. 𝘛𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘢𝘥𝘢 𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩𝘯𝘺𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘳𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘢𝘳𝘢𝘯 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘢𝘪𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘮𝘱𝘦𝘳𝘩𝘢𝘵𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘫𝘶𝘨𝘢...
Beep...
Ponsel yang ada di dalam sakuku bergetar, aku meraihnya dengan tanganku masih dalam kondisi merentangkan tubuhku di kasur.
Mengoperasikannya untuk membuka ponsel, aku melihat ada notifikasi pesan yang tertulis *𝘴𝘦𝘯𝘥𝘦𝘳, Amasawa-san.
t/n * : sender = nama pengirim
Beberapa angka berjajar saat aku membuka pesan itu, lalu di bawahnya memberikan informasi bahwa itu adalah nomer ponsel dari partner kerjaku, Amakusa-san.
Membalasnya singkat dengan terima kasih dan beberapa kalimat yang harus kukatakan, aku segera mengirimnya agar dia tidak terlalu menunggu lama untuk balasanku.
Kemudian, aku memperhatikan lagi angka-angka yang berjajar rapi di atas pesan Amasawa-san.
Dalam hatiku aku merasa harus menyimpannya untuk kebutuhan, tapi aku belum pernah menyimpan satupun nomor seorang gadis selama ini, jujur saja ada gengsi tersendiri dalam diriku. Apalagi ini pertama kalinya aku akan menyimpan nomor seorang gadis bahkan dia bukan gadis yang sudah lama kukenal, dia baru saja bertemu denganku hari ini dari tempat yang jauh pula.
Di dalam ponselku hanya ada nomor-nomor orang yang terlibat denganku dalam pekerjaan, keluarga, dan beberapa temanku dan itu semuanya adalah laki-laki.
Jadi, apakah akan kusimpan atau tidak?
Jawabannya adalah.....
Lupakan dulu, biarkan aku menyegarkan diriku dengan mandi sekarang. Pikiranku harus jernih untuk memutuskan ini.
Permulaan proyek ini sudah membuatku berpikir keras rupanya.
*******
Menutup buku sketsa yang berada di atas meja belajar, aku baru saja menyelesaikan sebuah gambar pesanan seorang klien, dia memintaku untuk memberikan jasa menggambar untuk dijadikan ilustrasi di posternya.
"Besok, aku harus menemuinya dulu untuk menetapkan gambar ini sebelum mencetaknya."
Dari tadi setelah mandi, aku sama sekali belum membuka ponselku dan mulai berkutat bersama alat tulis dan buku sketsa. Sebenarnya itu untuk melupakan tentang nomor telepon Amakusa-san, tapi ternyata setelah menggambar aku masih memikirkannya.
Aku menggaruk pelan rambut di kepalaku, hal ini ternyata lebih sulit untuk orang sepertiku.
"Baiklah....aku menyerah, aku akan memikirkannya lagi sekarang dan tidak akan melarikan diri lagi."
Meraih ponselku setelah memasukkan buku sketsa ke dalam tas, aku mulai mengotak-atik pesan Amasawa-san. Tinggal menekan angka yang berderet itu, sebenarnya aku tinggal memasukkan nama orang yang memiliki nomor tersebut. Itu langkah praktis untuk menyimpan kontak melalui ponsel pintar.
Jari-jariku tertahan lagi saat akan menekan deretan angka itu, diriku belum siap menekan angkanya. Menyedihkan!
𝘈𝘱𝘢 𝘪𝘯𝘪 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘵𝘦𝘳𝘮𝘢𝘴𝘶𝘬 𝘮𝘢𝘴𝘢 𝘮𝘶𝘥𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘣𝘪𝘤𝘢𝘳𝘢𝘬𝘢𝘯? 𝘔𝘦𝘯𝘨𝘢𝘱𝘢 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘵𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘢𝘭𝘢𝘶 𝘪𝘯𝘪 𝘮𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘵𝘢𝘱𝘪 𝘬𝘦𝘯𝘺𝘢𝘵𝘢𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘢𝘯𝘨𝘢𝘵 𝘴𝘶𝘭𝘪𝘵! 𝘈𝘬𝘶 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘦𝘥𝘪𝘩𝘬𝘢𝘯.
Ini mungkin juga yang dibicarakan ibu tadi, masa muda tidak selalu lancar dan faktanya benar. Sama sekali bukan keahlianku untuk mengurus masa mudaku dengan baik, karena ini juga adikku mengkhawatirkanku.
Sudah, sudah, cukup. Aku akan menekannya dan segera menyimpan nomor itu. Hanya menyimpannya tidak akan menyakiti siapapun, kan?
Satu.....
Dua...
Tiga...
Beep.... Beep...
"Eh...? Amasawa-san lagi? Kenapa lagi sekarang?"
Aku malah membuka notifikasi pesan itu, isinya :
𝘔𝘢𝘢𝘧, 𝘛𝘴𝘶𝘨𝘶𝘮𝘪-𝘴𝘦𝘯𝘴𝘦𝘪. 𝘕𝘰𝘮𝘰𝘳 𝘈𝘮𝘢𝘬𝘶𝘴𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘪𝘵𝘶 𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘥𝘶𝘢 𝘥𝘪𝘨𝘪𝘵 𝘣𝘦𝘭𝘢𝘬𝘢𝘯𝘨𝘯𝘺𝘢, 𝘢𝘬𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘪𝘳𝘪𝘮𝘬𝘢𝘯𝘮𝘶 𝘯𝘰𝘮𝘰𝘳 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘣𝘦𝘯𝘢𝘳.
Yahh...sekarang aku mengerti kenapa mengulur waktu itu memiliki manfaat, kenyataan tidak selalu sesuai ekspetasi. Sekarang aku harus menyiapkan mentalku lagi dari awal....!