Berita itu benar-benar membuat kepalanya sangat sakit.
"Apa yang dilakukan akan pecundang itu, bagaimana bisa dia melukai menantuku!" Teriak pak Pratama, dengan wajah merah dan gigi bergerak.
"Dim, bisakah kamu membawa kakak pergi dari sini?" lirih Kania, matanya hampir merah seluruhnya karena menangis berhari-hari.
"Kakak ingin pulang?" tanya Dimas.
"Ayo kita pergi dari sini, dah hidup di kota lain bersama Khaira."
"Kak?" Dimas tak percaya, Kakaknya yang kuat itu meminta hal yang tidak ia pikirkan sebelumnya.
Dimas benar-benar dibuat tak berkutik sama sekali, ia memikirkan kata-kata kakaknya yang tidak langsung ia jawab itu.
Damar akhirnya datang ke kamar Kania, laki-laki itu tampak amat kusut, sepertinya ia juga tidak dalam keadaan baik-baik saja, dan itu memang.
Dimas keluar dari ruangan itu, bagaimana pun juga ia mengerti Kania kini adalah seorang istri dari seorang lelaki.