17. Pengakuan
Herra pulang ke rumahnya dalam keadaan lesu. Kejadian itu terlalu bertubi-tubi. Setelah ia mengetahui berita kematian Tuan Rayan, ia harus dilimpahin kembali dengan berita kematian dua karyawan di perusahaannya. Benar-benar membuat kepalanya rasanya mau pecah saja.
Yang menjadi pertanyaan untuknya adalah mengapa orang yang meninggal itu adalah orang yang sudah mengusiknya. Pertama, Tuan Rayan yang ingin melecehkannya. Kedua, dua wanita itu yang baru saja memfitnahnya. Bohong jika ia bilang tidak menyangkut pautkan masalah itu dengan Rizhan. Sejak tadi ia sangat khawatir kalau Rizhan adalah pelaku dari dua kejadian pembunuhan itu. Karena rasa traumanya akan perlakuan Rizhan pada kejadian Dara waktu itu yang membuatnya semakin curiga pada pria itu. Ia perlu menanyakan semua hal ini pada Rizhan. Dalam hatinya sangat berharap kalau Rizhan bukanlah pelaku yang melakukan semua itu. Semoga saja!
Herra membuka pintu apartemennya. Ia sepertinya merasa kalau Rizhan tidak ada di dalam apartemen. Herra menghela napas kasar. Ia berjalan menuju arah dapur untuk menyegarkan tenggorokannya. Herra juga sedari tadi tidak ada meminum air putih. Mungkin itu yang menyebabkannya sedikit pusing sekarang ini.
Seketika kegiatan meneguk air itu berhenti ketika melihat sebuah jam yang tergeletak di dekat rak piring. Herra mendekati jam tangan itu dan meraih nya. Ia merasa familiar dengan jam tangan yang sedang ia pegang saat ini.
"Seperti pernah liat. Tapi, di mana yah?" gumam Herra seraya memikirkan tentang jam tangan itu.
Herra langsung melebarkan matanya saat mengingat jam tangan itu. Ia melihat dengan teliti jam tangan itu. Ia sangat mengingat di mana terakhir kali melihat jam tangan seperti yang ia pegang saat ini.
"Aku mengingatnya. Ini jam tangan milik salah satu wanita itu. Tapi, kenapa ada di sini? Atau...."
Jantungnya seketika berdetak dengan cepat. Bahkan tangannya langsung gemetar. Apakah dugaannya benar kalau Rizhan yang menyebab dua kecelakaan itu? Herra berusaha membuatnya dirinya sedikit tenang. Air matanya mulai menumpuk. Buru-buru ia hapus. Ia harus tenang saat ini. Ia perlu menanyakan semua hal ini pada Rizhan. Itu benar! Harus!
"Rizhan! Kamu di mana?!" teriak Herra
"Hai, Herra. Kamu udah pulang?" tanya Rizhan yang muncul di belakang Herra dengan keadaan santai.
Herra membalikkan badannya dan menatap dengan pandangan yang sulit diartikan. Tapi perasaan marah lebih kentara di wajahnya saat ini.
"Rizhan, boleh aku tanya sesuatu?" pintar Herra
"Boleh. Tanya aja," jawab Rizhan dengan santai.
"Kamu ke mana saja seharian ini?" tanya Herra yang berusaha bersikap tenang.
"Aku di sinilah dari tadi pagi. Emang kenapa?" tanya Rizhan dengan wajah bingung.
Herra berdecih. Ternyata Rizhan berbohong padanya. Ternyata benar-benar dia yang melakukan semua itu!
"Kamu ternyata berbohong padaku Rizhan," tukas Herra seraya menatap penuh luka pada Rizhan.
"A-Apa maksudmu Herra?! Aku enggak ngerti," timpal Rizhan dengan pandangan terkejut.
"Rizhan, kamu mengikutiku seharian ini kan?" selidik Herra sambil memicingkan matanya itu.
"Mana mungkin. Kamu kan enggak memanggilku. Bagaimana bisa aku mengikutimu?" sanggah Rizhan mengalihkan pandangannya dari Herra.
"Kamu bohong! Kamu kan yang menyebabkan kecelakaan yang terjadi pada Tuan Rayan dan dua karyawan di perusahaanku," geram Herra dengan tatapan marah. Sungguh kali ini ia yakin jika Rizhan adalah dalang di balik semua kejadian yang terjadi.
"Kok kamu malah menuduhku sih Herra?! Aku enggak ada melakukan semua itu," sanggah Rizhan yang tetap kekeuh pada pendiriannya.
"Terus ini apa?" tanya Herra seraya menunjukkan sebuah jam tangan yang ia yakini sebagai milik dari salah satu karyawan wanita yang sudah Mengganggunya. Ia sudah melihat jam tangan itu saat di toilet. Makanya Herra tahu hal itu.
"Oh, jam tangan itu aku temuin di kamarmu Herra," jawab Rizhan santai kembali.
"Rizhan! Kenapa kamu semakin berkilah?! Kamu ngaku aja. Kamu kan yang membunuh mereka?" selidik Herra dengan tatapan yang semakin marah.
Rizhan menundukkan kepalanya sebentar lalu menatap wajah Herra. Terlihat rahang Rizhan yang jadi mengeras.
"Iyah, aku yang melakukannya," ungkap Rizhan akhirnya sambil menatap wajah Herra dengan serius.
Herra menatap dengan pandangan terkejut. Walaupun ia tahu kalau jawaban ini yang akan keluar, tapi tetap saja ada sedikit harapan dalam hatinya agar bukan Rizhan yang melakukan itu semua. Matanya menjadi melebar sempurna kala mendapatkan jawaban akhir dari Rizhan.
"Kenapa Rizhan?! Kenapa?! Kenapa kamu harus melakukan semua ini?!" pekik Herra dengan air mata yang sudah tak terbendung lagi.
Tentu saja ia sangat kecewa dengan sikap Rizhan. Padahal Rizhan sudah berjanji untuk tidak akan melakukan semua itu lagi. Tapi Rizhan kembali mengingkarinya. Bagaimana hatinya tak sakit coba ketika kembali dibohongi olehnya. Hatinya sangat sakit saat ini.
"Aku melakukan itu semua untukmu," jawab Rizhan dengan tatapan serius.
"Untukku?! Kamu bilang itu untukku?! Rizhan, aku udah pernah bilang padamu untuk berhenti melakukan semua itu. Aku enggak suka jika kamu sampai mencelakai orang," murka Herra dengan wajah yang memerah.
"Aku enggak bisa Her. Aku sangat kesal saat mereka menganggumu. Apalagi tua bangka itu yang seenaknya menyentuh tanganmu. Aku enggak suka. Dua perempuan itu juga yang menghinamu, aku enggak suka," tukas Rizgan dengan tatapan penuh amarah yang sangat kentara.
Herra sangat terkejut dengan penuturan Rizhan. Rizhan sudah benar-benar berubah. Dia bukan Rizhan, teman khayalannya yang dulu. Ini benar-benar sudah kelewatan batas.
"Aku tau niatmu baik untuk menolongku. Tapi aku sangat enggak suka jika kamu menganggap enteng soal nyawa manusia. Aku enggak apa-apa dengan itu. Karena aku tau pasti ada balasan untuk orang yang menjahati kita. Enggak perlu kita yang menghukumnya," papar Herra dengan nada lirih.
"Tetap aja aku enggak suka. Siapa saja yang berani macam-macam denganmu, akan habis di tanganku," desis Rizhan dengan tatapan tajamnya yang sangat menusuk.
"Enggak Rizhan! Kamu benar-benar udah berubah. Kamu bukan Rizhan ynag pertama kali aku kenal. Aku sangat kecewa denganmu. Kamu tidak memenuhi tugasmu sebagai temanku. Lebih baik aku menghentikan ini semua," tukas Herra dengan tatapan kecewa dah terluka yang mendalam. Ia tak suka jika Rizhan bersikap seperti ini. Membunuh orang seenak hatinya saja.
Rizhan memandang dengan tatapan terkejut pada penuturan Herra. Tubuhnya bahkan menegang mendengarkan kalimat yang dikeluarkan oleh Herra.
"Enggak boleh Herra! Kamu enggak boleh melakukan hal itu. Kamu tau aku sangat menyayangimu. Aku melakukan ini semua untukmu," tahan Rizhan dengan tatapan sedih dan terluka.
"Maaf Rizhan. Aku enggak kuat lagi. Mending kita akhiri ini semua, sebelum ada orang yang menjadi korban lagi," tolak Herra segera mengambil ponselnya.
Namun....
To be continued....