"Mama mau bicara," Nawa, Mama Olivia memanggil anaknya yang sedang sibuk berbincang dengan para tim organezer lain.
Meski sibuk, Olivia akhinya menghampiri Mamanya. Ia di bawa ke lorong yang cukup jauh dari sana. Sang papa mengikuti dengan wajah yang sama-sama sedih melihat kekacauan keluarga Arseno saat ini
"Mama dan Papa sangat-sangat berharap kamu bisa membantu keluarga Arseno, Sayang," ucap Mama Nawa dengn lembut sembari mengelus pundak putrinya.
"Aku dan tim sedang memikirkan itu, Ma. Kami akan lakukan sesuatu agar keluarga Arseno tidak menanggung malu," kata Olive dengan nada berat.
"Nak." Hasan, Papa Olive duduk di samping putrinya dengan gerakan pelan. "Selama ini keluarga Arseno sangat baik pada keluarga kita. Apalagi almarhum Om Tio kan?"
Benar, mereka sangat baik. Tapi Olive tidak mengerti kenapa orang-orang baik seperti keluarga Arseno harus dapat musibah seperti ini.
"Dulu kamu dan Rafael saling mencintai," ujar papa Hasan menyinggung masa lalu Olivia dengan nada tercekat. "Kalian kenal satu sama lain. Harapan Papa kamu bisa melapangkan hati dan menjalani pernikahan dengan Rafael."
Olivia mematung demi mendengar pengutaraan Papanya yang sungguh tidak di duga. Papanya tau bagaimana Olivia bersedih, kecewa dan terluka. Bagaimana ia bisa menerima pernikahan ini.
"Sayang, Mama sama Papa mohon sekali. Ini bukan hanya untuk membalas kebaikan keluarga Arseno pada kita. Tapi ini juga untuk Tante Carina. Penyakit jantungnya kambuh lagi mendengar berita ini."
"Olive!"
"Olive!"
"Olive!"
Haruka dan beberapa staf lain berlarian ke arahnya. Haruka dengan nafas tersengkal mengguncang Olivia dengan panik.
"Di luar. Di luar ada banyak wartawan. Mereka memaksa masuk. Gimana nih Olive?"
Wartawan? Bagaimana wartawan bisa datang? Dan kalau di lihat dari paniknya tiga stafnya ini, wartawan yng datang sepertinya banyak.
"Mereka berhasil masuk sampai mana?" tanya Olivia ikut panik.
"Mereka masih di luar. Di tahan staf lain. Aduh, gimana nih Olive?"
"Mau apa sih mereka di sini? Gimana mereka bisa tau kalau di sini lagi ada masalah."
Olivia berdiri dengan gestur tubuhnya yang tampak sangat panik juga. Semua urutan persiapan mereka gagal total.
"Nak."
****
Rafael melepas jasnya. Ia hendak menukar pakaian karena ia tau sudah tidak ada lagi harapan. Mungkin ia bisa menghindari masalah ini paling lama satu minggu. Mendekam di pulau pribadinya mungkin.
Setidaknya ia bisa berfikir alasan apa yang bisa ia berikan pada media dan mengistirahatkan drinya juga.
"Kak, pernikahannya udah mau di mulai." Gina menghampiri Rafael.
"Kakak udah bilang pernikahannya batal!" geram Rafael menghampiri Gina dengan tatan tajam dan tangan mengepal marah.
Kali pertama seorang Rafael Arseno nampak sangat-sangat marah pada adiknya tercinta. Karena saat ini pikirannya yang kacau.
"Pernikahannya di lanjutkan kak," kata Gina. "Itu...."
Gina mundur beberapa langkah memperlihatkan Olivia, yang cantik dengan balutan gaun pengantin dan make up super cepat para stafnya yang beramai-ramai membantu agar riasan sempurna dalam waktu singkat.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Rafael dengan mendesis.
****
Semua sudah terjadi. Secara singkat, Olivia di nikahi Rafael. Pernikahan yang berdurasi kurang dari satu jam dengan beberapa susunan acara. Akad nikah yang di berlangsung secara tertutup.
Kurang dari setengah jam lagi resepsi akan di mulai. Pengantin di minta masuk ke kamar untuk beristirahat sejenak.
Berdua dalam ruangan ini. Dengan Rafael yang sejak tadi tak mengucapkan sepatah katapun. Setengah mengucapkan ijab Kabul, tak ada kata maupun sebersit senyum yang di lemparkan pria itu.
Mungkin andai tidak ada mamanya, maka Rafael akan menolak tegas keputusan gila Olivia. Tapi melihat kondisi mamanya, serta permohonan yang begitu tulus dari wanita yang telah melahirkannya. Rafael tak mampu lagi berkata tidak.
Ia tau keputusan awal menghentikan pernikahan ini akan menjadi bom bardir bagi reputasi keluarga. Mamanya menerima keputusan itu dengan berat hati. Lalu beliau cuma meminta untuk mengganti mempelai wanitanya.
Seharusnya ini menjadi titik penyelesai masalah. Tapi sayangnya wanita yang di pilih mamanya adalah Olivia. Semua tampak berbeda setelah gadis ini yang menjadi mempelai wanitanya.
"Apa yang kau inginkan dari ini semua?"
Sejak tadi Olivia hanya menunduk. Kemudian mendongak ketika merasakan Rafael ada di sampingnya. Pria itu bertanya dengan nada dingin.
"Aku hanya ingin menolong saja..."
"Aku tak suka di tolong olehmu."
Saat ini mata Olivia bertabrakan dengan Rafael. Saling beradu pandang. Sebersit air mata hendak lepas dari pelupuk matanya. Olivia segera membuang wajah.
"Aku tidak berniat menolongmu. Ini hanya untuk Tante Carina."
"Sejak dulu kau tidak pernah berubah. Selalu mau menjadi tumbal."
Setidaknya perkataan Rafael yang berubah. Olivia tau Rafael tak pernah mengatakan itu padanya. Namun kehidupan sudah berbeda. Ia juga mengerti status mereka saat ini benar-benar tidak cocok untuk menjalin penikahan.
Bagaimanapun mereka sepasang 'mantan' kekasih. Namun nahas sekali mereka berakhir di pernikahan yang sama.
"Lupakan saja. Selanjutnya akan kita pikirkan bagaimana cara berpisah dengan baik."
"Tapi masalahnya, tidak ada perpisahan yang menjadi baik-baik saja. Kau lihat bagaimana sikapmu padaku setelah kita berpisah?" Rafael tersenyum miring menatap pada Olivia. "Aku rasa, tidak akan ada perpisahan setelah ini."
****
Rencana setelah pernikahan, Rafael hendak mengajak istrinya berbulan madu di pulau pribadinya. Dan rencana itu tak seluruhnya gagal. Karena Rafael benar-benar datang ke sana dengan istrinya. Meski niat awal membawa Falencia, tapi yang datang ke tempat ini bersamanya adalah Olivia.
Hal ini bukan semata menjalankan rencana bulan madu yang sudah di susun sejak awal. Sebenarnya ini di lakukan juga untuk menghindari banyaknya pertanyaan yang akan di lontarkan pada mereka.
Mengenai mengapa calon mempelai wanitanya berbeda.
Mengistirahatkan pikiran mereka di tempat ini untuk beberapa saat adalah ide bagus sebelum nanti di brondong banyak pertanyaan saat kembali ke kota.
Olivia meletakkan kopernya di dekat pintu. Di belakangnya Rafael menyusul. Sejujurnya Olivia tak boleh heran Rafael ada dalam satu kamar dengannya. Mereka suami isteri!
Tapi terlalu berat untuk Olivia berdiam diri satu ruangan dengan Rafael. Ia akhirnya memilih keluar meninggalkan Rafael yang tak menghiraukan dirinya juga.
Saat resepsi selesai, mereka langsung pergi kemari. Hingga tidak ada waktu untuk beristirahat. Sejujurnya sangat nyaman kalau merebahkan tubuh sekarang. Apalagi beberapa hari ini dirinya kekurangan istirahat karena bertugas menyusun penikahan sempurna kliennya.
Yang pada akhirnya malah menjadi acara pernikahan dirinya.
Olivia dengan hafalnya menyusuri vila sederhana di dekat pulau pribadi ini. Villa yang di bangun dengan sederhana namun sungguh luas.
Jangan bilang ia tak tau seluk-beluk tempat ini. Dulu ia sangat sering kemari. Dulu, sebelum pada akhirnya dirinya yang memutuskan tak akan datang lagi.
Dan seperti dulu, ia sangat suka memandangi laut dari balkon belakang villa, menatap pemandangan yang jarang di lihat di tengah kota. Hamparan bintang di atas langit biru pekat dengan sejauh mata memandang laut yang melingkupi keseluruhan pandangan.
Bersambung....