Chereads / Buat Aku Hamil / Chapter 17 - Bab 16

Chapter 17 - Bab 16

Aku sangat penasaran dengannya. Jika aku bisa membaca pikirannya mungkin aku sedikit mengerti tentang dirinya. Tunggu. Mengapa aku ingin mengerti tentang Bianca? Itu bukanlah urusanku dan aku tak harus mengerti tentang dirinya. Tapi mengapa aku ingin sekali mengetahui segala hal tentang dirinya. Aku yakin aku hanya penasaran. Ya aku hanya penasaran, aku bukan tertarik padanya.

Getaran hp di atas meja membuyarkan semua lamunanku. Bianca meraih hp miliknya itu. Dia menatap lama ke arah layar yang menampilkan nama sang penelpon.

Motherfucker calling...

Aku mengernyitkan keningku. Motherfucker calling? Motherfucker itu artinya brengsekkan? Tanyaku tak yakin pada diriku sendiri. Kenapa nama id penelpon itu bernama brengsek. Siapa sebenarnya orang yang tengah menelpon Bianca?

Bianca terdiam cukup lama melihat layar hpnya. Dia memberiku isyarat untuk menghentikan nyala hairdryer yang berisik. Dengan tarikan nafas panjang Bianca mengangkat telpon itu.

"Kenapa?" Aku menatap dan menelitinya. Suara Bianca begitu dingin nan ketus tersurat rasa tak suka dari perkataannya.

Hening sejenak membuat aku penasaran dengan apa yang dikatakan sang penelpon.

"Aku sibuk," jawabnya singkat padat dan jelas. Terlalu malas untuk memanjangkan kalimatnya.

"Haruskah?" Aku tau pertanyaannya ketara sekali begitu acuh dan tak peduli.

"Baiklah, aku akan datang," ucapnya kesal. Dan langsung mematikan hpnya. Bianca terdiam sebentar. Tubuhnya sedikit berguncang dan dengan sadisnya dia melempar keras hp itu. Melempar ke arah depan.

Ponsel itu membentur lantai cukup keras dan hancur berantakan. Baterai ponsel itu terlepas dan terpental jauh.

Aku terkejut bukan main dengan apa yang baru saja terjadi. Apa gadis itu tak waras dia baru saja melempar keras hp apple 6. Hp terbaru yang sangat mahal. Dan kurasa hp itu tak akan bisa berfungsi lagi mengingat begitu kerasnya hp itu membentur lantai.

"Brengsek!" Geraman pelan dengan penekanan penuh di setiap hurufnya membuat aku terdiam membisu. Bianca, dia sedang marah besar dan aku tak mau dia melampiaskan kemarahannya kepadaku. Bahunya berguncang menahan emosi yang baru saja keluar.

"Dasar ular berbisa brengsek. Aku tak akan membiarkan semuanya berjalan seperti keinginanmu. " Desisnya tajam. Lalu mengalihkan pandangannya kepadaku. Menatapku sinis tak terbaca.

Aku melihat pancaran emosi di dalam matanya. Kami saling bertatapan. Dan apa itu? Aku seakan melihat sebuah kepedihan dan luka di dalam sorot matanya yang begitu dalam. Apa aku tak salah lihat. Lalu dia mengalihkan tatapannya dan mulai berdiri membelakangiku.

"Bereskan semuanya dan jangan lupa 'pekerjaan'mu," ucapnya dingin dan pergi menuju kamarnya. Meninggalkanku dengan semua pemikiran pelik dalam otakku.

Sebenarnya apa yang baru saja terjadi? Siapa yang baru saja menelponnya? Motherfucker? Mengapa Bianca memberikan nama brengsek untuk orang itu? Mengapa Bianca begitu marah dan kesal menerima telpon dari orang itu?

Namun satu yang memberikanku informasi. Bahwa orang dengan nama kontak Motherfucker(brengsek) itu adalah seorang pria. Ya, aku samar samar mendengar suara seorang pria di sambungan telpon Bianca tadi. Siapa pria itu? Apa yang sudah dia lakukan hingga Bianca begitu marah dan dengan sadisnya melempar hp mahal miliknya.

Alarm di hpku berbunyi. Alarm jam sepuluh , jam kerjaku. Entah harus bagaimana raut wajahku saat ini. Sejak pagi aku sudah menantikan jam kerjaku ini. Bercinta begitu panas dan menggairahkan bersama Bianca. Tapi mengingat Bianca dalam keadaan emosi beberapa menit yang lalu membuat aku takut jika gadis itu akan melampiaskan kemarahannya kepadaku. Sebelum Gadis itu bertambah marah aku harus segera ke kamarnya.

.......

Kini aku sudah duduk di atas ranjang Bianca. Walaupun aku sudah sering bercinta dengannya namun selalu saja kecanggungan dan ke gugupan menyerangku di awal jam kerjaku. Aku tak mungkin langsung menyerangnya begitu saja. Aku menunggu dia membiarkan aku memulai pekerjaanku. Menunggunya berbaring terlentang di hadapanku sambil menaikan gaun tidurnya.

Namun sejak tadi dia terus menatapku. Membuat aku bingung harus bagaimana. Aku sedikit takut pada tatapannya mengingat amarahnya beberapa saat yang lalu. Aku takut dia akan menendang atau melemparku keluar dari apartemen ini. Menjatuhkanku dari apartemen tinggi di lantai 8 gedung ini.

"Dengar aku ingin malam ini kau bekerja tanpa henti hingga jam 12 malam," ucapnya dingin seperti biasanya.

"Maksudmu?" tanyaku bingung.

"Bercinta dengan beronde-ronde panjang hingga jam 12 malam. Memenuhiku dengan semua sperma hangat milikmu. Kau mengerti?" Itu tak terdengar seperti sebuah permintaan tapi seperti sebuah perintah dari seorang atasan kepada bawahannya.

"Ya," jawabku pelan. Astaga mendengar kalimat vulgar keluar dari mulutnya saja membuat aku bergairah.