Ada jenis orang di dunia ini yang dapat mencapai posisi baru seiring waktu. Tentu saja Mia pun juga, jika menepiskan rasa malunya, dia bisa menetapkan batasan baru kapan saja.
Mia merasa dalam hal cinta, yang dipentingkan laki-laki ada di bagian bawah tubuh untuk mengukur dalamnya hubungan. Mia memikirkan bagaimana caranya agar Petra bisa setuju…. Namun pada akhirnya, Mia menghela napas. Ketika masih belum berhasil membujuk Petra untuk membantunya, dia merasa akan berada dalam suasana hati yang buruk sepanjang hari.
Mia mengambil susu dan menyeruputnya, memikirkan bagaimana harus membujuk Petra untuk membiarkan dia berpartisipasi dalam rancangan untuk Grup Kaisar. Tapi setelah memikirkan beberapa rencana, dia menemukan jalan buntu.
Petra menyeruput kopinya, dan matanya menatap tajam ke arah Mia yang tenggelam dalam pikirannya. Sudut-sudut bibir tipisnya melengkung membentuk senyum tipis.
"Menungguku mengantarmu berangkat kerja, ya?" Petra meletakkan cangkir kopinya dan bertanya dengan tenang, alisnya melengkung naik.
Mia segera mengubah ekspresinya. "Aku akan menyetir sendiri…."
"Aku tidak peka?" Wajah Petra tampak agak dingin.
Mia menggerakkan sudut mulutnya, beranjak, dan pergi ke kursi di depannya. Setelah duduk di samping Petra, dia mengecup sudut bibir Petra dan berkata dengan nada manja, "Aku yang tidak lihat-lihat."
"Ya, sudah," jawab Petra.
Senyum di bibir Mia semakin lebsr, tapi ada kesan licik di dalam matanya. Pria ini benar-benar membuat orang geli.
"Masih memikirkanku?" Petra melihat kilatan perasaan di dalam mata Mia dan tiba-tiba bertanya dengan aneh.
"Uh…." Mulut Mia berkedut. Dia berkata sambil tersenyum, "Kamu berpikir terlalu jauh!"
Tatapan Petra berubah semakin dalam dan lekat menatap mata Mia.
"Kau bermain lama sekali tadi malam, dan kakiku masih terasa sakit." Suara Mia lembut, namun tidak mengandung makna terselubung. Dia hanya menghela napas. "Tapi aku sudah berusaha keras untuk menyenangkanmu, dan kau sama sekali tidak membantu pekerjaanku."
Petra mencium bibir Mia yang sedikit cemberut, dan suaranya yang keluar dari bibir tipisnya terdengar dalam, "Kau mau aku berjanji padamu untuk mempertimbangkan rancanganmu?"
"Ya!" Mia mengangguk dengan cepat, matanya dipenuhi semangat.
Petra tersenyum kecil, dan matanya tampak sedalam danau purba berusia ribuan tahun, sekilas tampak seperti tidak berujung. "Nggak mau!"
"..." Mia tidak bisa berkata-kata, "Kamu mau main-main denganku, seperti main-main dengan buah khuldi.... Menurutmu itu keputusan yang bagus?"
"Semua proyek yang masuk ke Grup Kaisar melalui proses awal. Kalaupun kamu mau diperlakukan secara khusus, aku harus punya alasan...." Mata Petra tampak dalam dan tak berdasar. "Aku mau meloloskanmu, tapi apa alasannya?"
Mia tidak berbicara.
"Kalau tidak, Bu Petra…. Aku bisa mengadukanmu." Senyum di bibir tipis Petra merambat ke matanya. "Kamu tidak perlu mengundurkan diri lagi, dan rancangan untuk seluruh gedung klub sudah akan kuserahkan padamu. Bagaimana?"
" ... " Mia menggelengkan kepalanya dengan tergesa-gesa ketika mendengarnya, lalu tersenyum lebar dan berkata dengan menyindir Petra, "Sistem di Grup Kaisar tidak dapat ditembus!"
Petra tersenyum miring. Dengan senyum yang semakin dalam, dia sedikit membelokkan tubuhnya dan mengambil dasi di sebelahnya, lalu memberi isyarat pada Mia.
Mia menghela napas diam-diam, dengan cekatan mengambil dasi itu dan mulai mengikatnya di leher Petra. Melihat jakun pria itu, dia tidak sabar ingin mempererat ikatan dasinya dan mencekiknya!
Tentu saja, dia hanya bisa memikirkan hal itu dengan diam….
Petra menikmati bantuan Mia. Dia lalu melirik Mia dengan santai dan berkata dengan tenang, "Aku tidak akan kembali selama dua hari ke depan…."
"Hmm!" Mia masih menjawab dengan patuh.
"Lusa, aku akan menjemputmu untuk makan bersama kakak perempuanku…" lanjut Petra.
Mia sedikit mengernyit, "Kenapa ke sana lagi?"
Petra menatap Mia dengan tatapan yang dalam. "Kamu sepertinya tidak mau sekali pergi ke tempat Kakak?" Itu pertanyaan, tapi jawabannya sudah pasti.
Mia tidak mengubah ekspresinya. "Aku tidak suka cara mereka melihatku.…" Dia tidak berbohong. "Meskipun aku melakukannya demi uang, orang-orang seperti mereka…. Aku suka kalau mereka tidak terlalu banyak tanya." Dia selesai mengikat dasi Petra, dan suaranya dipenuhi kesan riang.
Kata-kata itu jelas kembali membuat Petra senang. Petra pun melanjutkan dengan pelan, "Suka atau tidak suka, kau tetap harus pergi ke sana. Tidak ada cara lain."
Mia mendongakkan pandangan. "Kenapa?" Kalau dia tidak ingin pergi, dia tidak bisa menolak?
Petra berbalik dan mengambil ponsel yang diletakkan di satu sisi meja, lalu berkata dengan santai, "Wira pulang kemarin…. Dia ingin bertemu denganmu, bibinya yang terkenal!"
Wajah tenang Mia seketika membeku, dan pupil matanya melebar. Napasnya mulai terengah tak terkendali, dan bahkan tangannya yang menggantung mulai sedikit gemetar.
Petra berbalik untuk melihat ada apa dengan Mia. Dia sedikit mengernyit dan bertanya, "Ada apa?"
Mia langsung kembali tersadar dan bergegas menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa…"
"Kenapa wajahmu berubah begitu? Tidak enak badan?" Petra mengernyit dan menatap Mia dengan tatapan tajam, seolah ingin melihat semuanya yang ada dalam dirinya.
Mia diam-diam menelan air liur, menutupi semua emosinya tadi. "Bukannya kamu sendiri yang minta semalam…." Suaranya agak jengkel.
Tiba-tiba, rasanya Mia bersyukur telah mengenal dengan Petra selama lebih dari setahun. Perasaan apapun dapat langsung berubah menjadi kesenangan untuk menyenangkannya.
Benar saja, Petra mencium Mia dan berusaha menepiskan kekesalannya. "Kalau kamu bilang kamu sedih karena aku tidak akan pulang hari ini, aku akan lebih bahagia."
Mulut Mia berkedut. "Lalu kalau aku benar-benar berkata begitu, apakah menurutmu aku terlalu serakah?"
"Yah, mungkin." Petra mengangkat alisnya. "Tapi, aku tetap merasa sangat bahagia." Dia memberi senyum yang memesona, lalu melepaskan Mia dan berjalan keluar.
Jalannya sama seperti ketika dia datang….
Petra lahir dengan sifat superior, bukan hanya karena identitasnya sebagai anggota keluarga terpandang dan pewaris dari Grup Kaisar, tetapi juga karena dia ibarat seorang legenda di Jakarta.
Dengan identitas, pendidikan, penampilan, uang yang dimilikinya, orang seperti itu secara alami lupa bagaimana menempatkan orang lain di hadapan mereka, dan hanya tahu caranya membuat orang lain mengikuti jejak mereka.
Mia tidak bisa memikirkannya, dan dia duduk di sofa dengan tubuh sedikit lemas….
Hidungnya sangat tergelitik, dan matanya tampak bengkak…. Sesuatu berangsur menghalangi penglihatannya dan mengaburkan seluruh dunia di matanya.
Mia meringkuk kakinya, memeluk lengannya, membenamkan wajahnya di dalam dekapannya.
Apakah ada orang yang jika disebut namanya saja akan terasa sakit?
Wira. Nama ini dulu identik dengan kebahagiaan dan masa lalu Mia. Tapi dua tahun lalu, dari malam ketika dia kehilangan segalanya, nama itu menjadi rasa sakit yang tak tersentuh.
"Wira, ternyata menunggu tidak semudah yang kuduga. Maaf, aku sudah menemukan orang lain dalam hidupku…. Kita putus saja!"
Tidak ada yang tahu betapa sulitnya dia mengirimkan pesan itu, dan rasanya menusuknya seperti pisau. Pisau yang menusuk jantungnya, sehingga dia hampir tidak bisa bernapas karena kesakitan.
Air mata yang panas mengalir dari matanya, perlahan-lahan membasahi pipi dan mengalir ke sudut mulutnya, dan rasanya benar-benar asin.
Tubuh Mia mulai gemetar. Meskipun dia sudah menduga hari itu akan datang sejak lama, dia tidak tahu bagaimana dia akan menghadapinya.
Sungguh hubungan yang konyol. Mantan kekasihnya menjadi keponakan suaminya?
Sepanjang hari, Mia tidak tertarik dengan apa yang dia lakukan, wajahnya lesu, dan matanya sedikit merah. Suasana seluruh tim hari ini menjadi sedikit tertekan karena Mia yang bersikap hening.
"Fira, kamu coba mengobrol dulu, sana…." Layla tidak tahan dengan suasananya dan berkedip pada Fira untuk menanyakan apa yang terjadi.
Fira buru-buru menggelengkan kepalanya dengan wajah menolak. "Tidak, ah, Kak Mia sepertinya bisa membekukan orang sampai mati hari ini."
"Aku tidak tahu apa yang terjadi," Layla meletakkan tangannya di pipinya. "Semua orang sudah lihat, sampai staf OB juga."
Andini melihat melalui kaca ke arah Mia, yang berada di ruang kerja tim desain dan sedang termenung, tenggelam dalam pikirannya sendiri. "Menurutku… Kak Mia sedang putus cinta."
"Sst." Semua orang melihat ke arah Andini. Matanya membelalak, seolah dia tahu apa yang terjadi pada Mia.
Andini duduk tegak dan menatap ketiga orang itu dengan gugup. "Aku—aku hanya menebak…."
Mereka tidak berkata apa-apa lagi, saling melirik, kemudian mengedikkan bahu. Sebenarnya, sikap Mia hari ini memang seperti itu. Sejak pagi itu, Mia tampak seperti orang yang patah hati, atau orang yang dicampakkan.
Namun, suasana hati Mia saat ini sebenarnya tidak berbeda dengan orang yang patah hati. Rasa depresi yang telah dihindarinya selama hampir dua tahun tiba-tiba meledak berkat nama yang dilontarkan Petra pagi ini.
Mia tidak tahu bagaimana dia bisa pulang kerja. Dia keluar dari lift seolah-olah jiwanya melayang pergi. Dia bahkan tidak melihat apa-apa, dan dia turun ke lantai dasar, bukan tempat parkir bawah tanah.
Dia mengikuti orang-orang keluar dari lift. Ketika berdiri di luar gedung kantor, dia tanpa sadar mendongak ke arah langit. Cuaca baik-baik saja pagi itu, dan tiba-tiba menjadi suram seiring hari, seolah badai akan datang….
Seattle, Amerika adalah kota hujan. Kota ini dapat bermandikan hujan selama lebih dari setengah tahun.
Berdiri di sebuah bangunan putih kecil bergaya barat, Wira memperhatikan gerimis air hujan. Sebersit kesan tak acuh muncul di wajahnya, dan bahkan secercah rasa melankolis.
"Tiba-tiba sekali kamu mau pulang. Kenapa? Tidak betah?" Temannya, Aryo, membuka pintu dan melihat punggung Wira yang tampan. Dia bersandar di pintu dengan tangan disilangkan di dadanya.
Wira menyipitkan pandangannya dan mengeluarkan tangan yang terkepal dari saku celananya. Sudah ada cincin ekstra di telapak tangannya. Sebuah cincin emas putih dengan pola yang tidak rumit. Ada huruf "M" di bagian dalam cincinnya.
Ada kesedihan di matanya yang perlahan terbuka. Wira tiba-tiba mengepalkan tangannya, dan dengan erat membenamkan cincin itu di telapak tangannya, di dekat pembuluh darah terdekat yang mengarah ke jantungnya.
Merasakan aura yang tidak biasa dari temannya, Aryo mengerutkan kening, "Kenapa? Tidak mau pulang?" Dia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Atau… takut pulang?"
"Yo, aku masih ingat kejadian di bandara saat kita datang ke sini dulu…." kata Wira. Terdengar rasa sakit di dalam suaranya, yang serak. "Mungkinkah... semua perasaan itu hilang karena jarak?"
Aryo menghela napas. "Sungguh. Aku tidak percaya Mia berpindah hati dengan begitu cepat. "Saat itu, di kampus, sebagai mahasiswi arsitektur, siapa yang tidak kenal Mia? Yang dingin dan angkuh seperti bunga di tengah salju, yang tidak memperhatikan siapapun dan memandang siapapun…."
Tapi wanita seperti itu menjadi lebih hangat karena Wira….
Hubungan mereka sangat terkenal, dan keduanya adalah orang yang sangat berpengaruh. Mereka berdua dingin dan senyumannya jauh, tetapi ketika keduanya bersama, semua orang merasa bahwa mereka dilahirkan untuk satu sama lain.
Dalam waktu kurang dari setahun, Mia berkata bahwa dia jatuh cinta dengan orang lain dan meminta putus dari Wira…. Tanpa ada ruang untuk mengelak, teleponnya dimatikan, dan Mia mengganti nomornya. Hal ini membuat Wira sangat bingung.
Wira masih ingat, ketika hujan deras di Seattle hari itu, dia telah memesan tiket pesawat untuk kembali ke Indonesia seperti orang kehilangan akal, tetapi untunglah membuat orang lain bertanya-tanya.
Tidak peduli rasanya menyakitkan atau sulit, dia harus kembali.