Naura tersenyum seraya menggelengkan kepalanya perlahan. Menyesap sedikit teh hangat miliknya. "Bukan Mas Raihan yang mengajak makan di warung. Tapi memang aku yang lebih suka makan di tempat seperti ini. Tapi nggak jarang juga Mas Raihan mengajakku makan di resto atau cafe yang ingin dia datangi. Ya, kami memang senang mencoba tempat-tempat makan yang kelihatannya enak," jelas gadis tersebut.
"Jadi, kalian sering ke tempat makan begini. Dekat juga kamu sama Abangku, yah? Naksir, yah?" canda Rico sambil tertawa kecil.
Naura sontak saja menggelengkan kepalanya keras. "Enggak kok!" serunya tanpa sadar.
Rico seketika menghentikan tawanya, mendengar jawaban Naura. Ada perasaan lega yang menghinggapi hatinya. Hingga ia tersenyum tipis. Menertawakan Naura yang spontan menjawabnya.
Apakah itu bisa di artikan jika gadis tersebut tak memiliki perasaan kepada Raihan?
Bolehkah ia berharap sedikit saja? Jika gadis di depannya ini memiliki perasaan cinta itu terhadapnya?
Melihat senyum Rico yang seolah menertawakannya. Naura malu sekali dan menjadi salah tingkah. "Oh, itu, ehm, ah, yang penting aku nggak suka. Aku hanya menghormatinya sebagai anak Tante Ratna dan kakak kamu aja. jadi, jangan menyebarkan gosip," ancam gadis tersebut berpura-pura galak.
Rico terkekeh geli seraya mengangguk patuh. "Siap komandan. Beres kalau sama aku." Laki-laki tersebut membuat gerakan hormat kepada Naura yang menyebabkan gadis itu cemberut.
Keduanya pun makan dengan tenang. Di iringi canda tawa dan obrolan ringan seputar kegiatan mereka selama ini.
Rico hanya ingin mengenal kembali sosok gadis yang telah menjelma menjadi pribadi yang dewasa. Meski Rico tahu jika sifatnya yang terkadang kekanak-kanakan itu tak bisa di hilangkan.
"Setelah ini mau ke mana lagi?" tanya Rico yang menjalankan mobilnya, pergi dari warung nasi kuning tempat mereka sarapan.
"Tidak. Kita pulang saja. Aku masuk nanti jam dua belas siang. Mau istirahat dulu. Memang kamu mau ke mana setelah ini?" tanya Naura sambil menoleh ke arah Rico yang fokus menyetir.
"Aku paling ke kantor Bang Rai. Mau melihat-lihat saja. Apa kamu mau ikut?" tawar Rico sembari menoleh sekilas.
"Tidak. Aku mau pulang saja. Lagian apa kata Mas Raihan nanti kalau tahu kita datangnya barengan? Karena aku belum cerita ke dia kalau kita temenan," tolak Naura sambil menggeleng.
Rico mengangguk pelan. "Ya, sudah. Biar aku saja yang menjelaskan kepada Abang kalau kita ini teman saat aku pindah ke sekolahmu. Walau cuman sebentar. Nggak apa-apa, kan? Kamu nggak berpikir kalau Bang Rai cemburu padaku, kan?" terka laki-laki tersebut.
Naura spontan saja menggelengkan kepalanya. "Tentu saja tidak. Siapa aku sampai di cemburuin sama Mas Raihan. Ya, nggak mungkin lah," sahutnya seraya tertawa kecil.
Gadis tersebut tak ingin besar kepala mendengar kata-kata Rico barusan. Dan laki-laki tersebut juga ikut terkekeh. "Iya juga, sih. Karena Bang Rai itu cinta mati sama mantannya. Buktinya sampai saat ini juga belum dapat penggantinya. Padahal udah berapa tahun. Sebelum aku kuliah, deh kayaknya," timpal laki-laki itu dengan tatapan yang fokus ke depan.
Sebab jalanan muali ramai dengan orang-orang yang berangkat bekerja. Dan ia juga harus segera ke kantor. Jika tidak ingin Papanya akan marah.
Sebenarnya Rico tahu apa maksud Sang Papa yang memintanya untuk datang ke kantor hari ini. Itu karena beliau ingin mengenalkan dirinya kepada semua orang di kantor.
Sebab selama ini, Rico memang tak pernah muncul di hadapan para koleganya dan orang-orang kantor juga tak banyak yang tahu jika dia adlah adik dari pria kebanggan papanya.
"Baiklah. Aku antar kamu pulang dulu. Baru setelahnya, aku ke kantor. Padahal mau liburan itu istirahat. Tapi Papa masih memintaku untuk datang ke kantor. Toh, aku juga nggak ngapa-ngapain di sana," celetuk Rico setelah mereka lama terdiam.
Mendengar Rico mengeluh, Naura hanya bisa menggelengkan kepalanya. "Masih saja seperti itu. Katanya mau jadi anak kebanggan orang tua. Ya, siapa tahu memang papa sama Mas Raihan sedang ingin mengenalkan kamu pada dunia kerja. Biar nanti pas kamu kerja , nggak kaget." Hibur gadis tersebut seraya tersenyum manis. Mencoba membesarkan hati laki-laki ini.
Mendengar penuturan dari gadis di sampingnya, Rico mengangguk sembari tersenyum. Sejak dulu, Naura yang selalu membesarkan hatinya. Saat semua orang tak ada yang percaya pada kemampuannya.
Lantas bagaimana ia tidak jatuh cinta pada gadis seperti ini? Gadis yang selalu berpikiran positifdan yakin pada kemampuannya. Selalu memberinya motivasi dan yang terpenting, ia tak pernah menilai hartanya.
Karena dulu, Rico memang menutupi siapa dirinya dari Naura. Mengaku hanya anak satpam yang kurang mampu.
Ia hanya ingin tahu seperti apa gadis manis seperti Naura sebenarnya. Apakah sikap dan sifanya itu asli atau hanya di buat-buat saja agar bisa dekat denganya?
Sama seperti yang dulu selalu di lakukan oleh cewek-cewek di sekolahnya dulu. Mereka hanya mendekatinya karena harta semata. Juga karena mereka tahu siapa Papanya yang cukup di segani di kota ini.
Saat Naura akan membuka pintu mobil, Rico menahan pergelangan tangannya. "Na, nanti malam aku jemput pulang kerja, yah? Kita jalan-jalan sambil cari makan malam. Tapi kalau kamu capek, ya, sudah lain kali saja," tawar laki-laki tersebut dengan sorot mata penuh harap.
Naura bingung, karena ia sudah memiliki janji dengan Raihan akan datang ke cafe yang baru saja di buka. Milik teman pria tersebut.
"Maaf, yah. Tapi akui sudah punya janji dengan Mas Raihan. Dia mengajakku ke cafe temannya yang baru saja di buka. Lusa kita kan, akan ketemu. Jadi, nggak apa-apa kan, kalau besok kita nggak ketemu?" jelas gadis tersebut dengan nada bersalah.
Ia juga tidak bisa membatalkan janjinya dengan Raihan. Sebab pria tersebut telah membuat janji dengannya beberapa hari yang lalu. Saat Raihan masih berada di Jakarta.
Rico tersenyum kecut. Mengerti dengan keadaan gadis tersebut. Sebab ia juga tak bisa memaksanya untuk membatalkannya.
"Baiklah. Karena lusa waktumu bersamaku lebih banyak. Aku langsung pergi, yah. Sudah di tunggu sama Papa. Have a nice day, Nana," pamitnya sembari mengusap lembut dan penuh sayang pincak kepala gadis tersebut.
Naura mematung, mendapatkan usapan lembut di rambutnya. Detak jantungnya tak lagi bisa ia kendalikan. Terlebih lagi dengan kedua pipinya yang pastinya memerah saat ini.
"I-iya. Kamu hati-hati di jalan. Aku masuk dulu," pamit Naura yang langsung keluar dari mobil Rico dengan menyembunyikan wajahnya. Membuat Rico mengernyitkan kedua alisnya, heran dengan sikap gadis tersebut yang terburu-buru begitu. Seolah menghindarinya.
Ia sangat malu saat ini. "Semoga saja dia tidak melihat wajahku yang memerah. Ah, panas sekali rasanya!" gumamnya sembari mengibaskan tangannya di depan wajah.
Rico hanya terkekeh melihat tingkah Naura yang ia yakin pastinya salah tingkah akibat ulahnya tadi. "Apa aku boleh besar kepala, Na? Semoga nggak bertepuk sebelah tangan," harap laki-laki tersebut yang masih menatap punggung Naura dari dalam mobilnya.
Setelah tak terlihat lagi, Rico menjalankan mobilnya untuk menuju ke kantor.