Chereads / Menikahi Mertuaku / Chapter 3 - 3 - Imsomnia ( Craig Davis )

Chapter 3 - 3 - Imsomnia ( Craig Davis )

*******

Remember telling my boys that I'd never fall in love, love, love, love

You used to think I'd never find a girl I could trust, trust, trust, trust

And then you walked into my life and it was all about us, us, us, us

But now, I'm sitting here, thinking I messed the whole thing up, up, up, up

[Craig Davis - Imsomnia]

********

.

Sandy kadang menderita imsomnia, ia tak bisa tidur karena banyak beban pikiran dan kadang ketergantungan dengan pil tidur. Ia membutuhkan sex untuk membuat tubuhnya nyaman dan rileks, bukan semata hanya nafsu saja. Sesudah mengalami pelepasan atas kerja kerasnya, ia menjadi rileks dan akhirnya bisa tertidur tanpa pil.

Ia hanya membutuhkan wanita-wanita itu untuk menuntaskan hasratnya saja, ia jarang mengajak mereka tidur bersama sampai keesokan paginya. Ia merasa tak aman jika mengajak mereka tidur, seringkali ia mengusir wanita yang telah digunakannya.

Bukankah perkerjaan mereka memang seperti itu. Dipanggil--dipakai--dibayar--pergi. Dan ia selalu memakai pengaman jika berhubungan dengan mereka. Bagaimanapun kebersihan nomor satu.

Dan malam ini, ia juga belum bisa tidur. ia memutuskan untuk pergi ke dapur, ia berencana untuk mengambil botol wine yang tersedia di cellar kecil, yang berada di samping dapur.

Rumah itu sebagian besar lampunya dimatikan, tentu saja karena ini sudah menunjukkan jam 02.00 pagi. Ruangan dapur pun seharusnya dalam keadaan gelap karena lampunya mati. Namun Sandy melihat bahwa lampu di ruangan dapur itu menyala.

Ia mengira apakah salah satu pelayan terbangun? Atau hanya Kiran yang berada di dapur untuk mengambil camilan?

Sandy tak ambil pusing, mungkin ada penghuni rumah yang masih terbangun di sepertiga malam ini dan mengalami susah tidur seperti dirinya.

Sandy melongok ke ruangan dapur tapi tak ada seorangpun disana. Dia mengumpat karena menuduh pelayan lupa mematikan lampu. Ini bukan masalah pemborosan listrik, tapi masalah pelayannya tidak disiplin—mereka semua bergaji besar, masa mereka lalai menjalankan tugasnya.

Sandy merasa dia harus menegur seseorang nanti pagi.

Ia kemudian menuju ruang cellar mini, dan menemukan sebotol red wine favoritnya dan segera pergi dari cellar.

Saat dia akan mematikan lampu dapur, dia melihat pintu samping dapur sedikit terbuka—pintu samping dapur ini terdapat teras yang langsung menuju kolam renang. Dan dia melihat lampu teras juga menyala.

Wah.. ini sudah keterlaluan. Pelayan yang mana yang sudah sangat kurang ajar telah melalaikan tugasnya?

Sandy berjalan ke arah teras, tapi dia menemukan tak seorang pun disana. Dia hanya melihat onggokan handuk dan jubah mandi yang terletak di pinggir kolam.

Apakah ada yang berenang di jam segini? dahi Sandy mengerut

Dan benar saja, dia melihat sosok yang tengah berenang di kolamnya. Lampu-lampu dasar kolam renang menerangi sosok itu dan itu adalah anatomi tubuh milik seorang wanita.

Sandy segera mengenal wanita itu, itu adalah Renjana.

Sandy menyingkirkan tubuhnya sedikit ke balik tirai teras, dia tak berniat mengintip—dia hanya penasaran dan merasa aneh, untuk apa gadis ini berenang malam-malam sendirian di jam segini.

Ren tampak tak menyadari bahwa Sandy berada di balik tirai. Dia menyudahi acara renangnya, dan dengan santai naik ke atas kolam.

Untung saja airnya hangat, karena kolam ini diatur dengan sistem pengatur suhu yang canggih, yang bisa mengatur tingkat kehangatan air sesuai temperatur udara. Jakarta memang tak pernah dingin, jadi suhu air kolam cukup nyaman digunakan pada jam berapapun.

Gadis itu berdiri di teras dengan bebas, rambut yang panjangnya di bawah bahu itu basah. Gadis itu hanya memakai baju renang two piece—pakaian itu otomatis mempertontonkan bentuk tubuh gadis itu secara gamblang.

Sandy menahan nafas melihat bentuk tubuh gadis itu. Dia memiliki bentuk tubuh yang sesuai dengan seleranya. Gadis itu mempunyai tinggi yang standar. Kulitnya putih mulus seperti susu, tampaknya gadis ini juga suka berolah raga karena otot di lengan, paha dan perutnya tampak kencang.

Yang membuat Sandy takjub adalah ukuran buah dadanya yang proporsional, tak besar tapi tak kecil juga, buah dadanya membulat kencang dan sekal. Apakah bentuk sekal itu karena masih berusia muda?

Sandy kadang bermain dengan gadis seusia Ren tapi buah dadanya tak sekencang itu—apa mungkin mereka adalah gadis-gadis yang sering dipakai beberapa pria sehingga terlihat kendor.

Dan pinggulnya membentuk kurva yang bagus disana, serta bokong yang mempunyai pipi yang membulat penuh, pinggangnya yang ramping membuat bentukan pinggul dan bokongnya itu sempurna.

Sebagai pria yang normal, ia menelan ludah. Mengintip Ren saja sudah membuat naga-nya bereaksi, sial!

Ren melakukan peregangan dengan menarik tangannya ke atas lalu digoyang kanan dan kiri, yang membuat anugrah wanita yang dimilikinya semakin menyembul jelas, dan yang lebih kurang ajar bahkan Ren membungkuk—membentuk sudut 90 derajat yang membuat pipi bokongnya mengeras.

Gilaa... Sandy sudah membayangkan jika dia mengerjainya dengan posisi seperti itu.

Sandy bersyukur bahwa Ren berpakaian menutupi anugrah yang dimilikinya tadi pada saat pertemuan keluarga. Dia hanya berpakaian seperti mahasiswa pada umumnya—memakai jeans dan t-shirt lalu cardigan. Saat makan malam, dia mengenakan celana joger lalu kemeja putih dengan ukuran yang medium, jadi tak terlalu ketat tapi tak terlalu kebesaran. Ternyata di balik pakaian yang dikenakannya dia menyimpan pesona tubuhnya.

Sandy mengakui bahwa paras gadis itu jelita, ia keturunan Turki tapi tidak terlalu bergurat khas orang sana, mungkin karena ayahnya pribumi asli. Membuat perpaduannya ini sangat menawan, ia memiliki wajah yang anggun klasik, cantiknya tidak membosankan dan penambah daya tariknya adalah lesung pipi di pipinya.

Sandy mempunyai interest sendiri pada wanita yang mempunyai lesung pipi. Dia pernah mendapati kencan dengan wanita yang mempunyai lesung pipi dan wanita itu dikencaninya cukup lama.

Jika saja Ren memutuskan untuk menjadi selebriti maka dia akan masuk ke jajaran daftar artis tercantik se-tanah air, masalahnya parasnya itu mempunyai nilai jual.

Apa yang kurang dari Ren? Wajah cantik, tubuh seksi dan otak cerdas.

Sandy mengeram cemburu karena Kiran sangat beruntung mendapatkan Ren, apapun status mereka sebagai sahabat atau pacar, tapi Kiran sudah beruntung kenal dengan Ren.

Sandy memperdalam posisi persembunyiannya kala Ren mendekati teras. Dia berjalan sambil mengenakan jubah mandinya. Sandy nyaris berdecak kecewa karena kehilangan pemandangan indah dari tubuh gadis itu.

Dia duduk di kursi malas teras lantas menuangkan cairan coklat yang masih mengepul dari termos ke sebuah mug, dia meniup-niup pelan cangkirnya sambil mengeratkan tautan jarinya di sekeliling mug—seperti sedang menghangatkan jari-jarinya yang mendingin.

Gadis itu bergumam seperti sedang bersenandung sebuah lagu lalu menyeruput kembali mug-nya dengan nikmat.

Entah pikiran dari mana, Sandy tiba-tiba ingin bergabung disana dan mengobrol dengan gadis itu.

Dia berjalan mundur pelan-pelan menuju tengah dapur. Dia membuka kulkas dan menutupnya dengan keras. Bahkan dia membuka lemari dan menutupnya dengan keras. Tujuannya agar Ren mendengar kegaduhan itu dan mengira bahwa Sandy baru saja datang ke dapur.

Dan benar saja sesuai dengan perkiraan Sandy. Gadis itu telah berdiri di ambang pintu teras, dia mengeratkan jubah mandinya, berusaha menutupi keseluruhan permukaan kulitnya yang basah.

Sandy menoleh dan pura-pura terkejut, dia memicingkan matanya sebentar menatap ke arah Ren berdiri

"Kau habis berenang?" tanya Sandy

"Maaf, kupikir jam segini tak ada orang, jadi aku menggunakan kolamnya"

"Jam segini? Kenapa?"

"Aku terkena jetlag, jadi aku tak bisa tidur. Aku membutuhkan aktivitas yang melelahkan agar aku letih dan tertidur. Apakah aku menganggu tidur Bapak?"

Sandy tersenyum tipis "Tidak, aku bahkan belum tidur. Aku harus meminum pil, agar tidur cepat dan malam ini kurasa aku tak membutuhkan pil. Aku sedang memilih antara minum wine atau coklat panas, agar membuatku mengantuk" kilahnya.

"Oh.." Ren membulatkan mulutnya.

"Apakah Bapak mau minum coklat panas? Aku sudah membuatnya, dan menyimpannya di termos. Apakah Bapak mau minum itu?" tawarnya sopan

Tentu saja—batin Sandy. Sandy sebenarnya tak begitu menyukai coklat, tapi kali ini dia mentolerirnya

Melihat ayahnya Kiran hanya diam tak menjawab tawarannya. Ren mengambil inisiatif "Sebentar aku ambilkan" tukas Ren cepat berbalik ke teras lagi.

Sandy cepat menyusulnya ke teras "Tak usah diambilkan, aku yang datang ke tempatmu"

"Oh.." Ren tampak ragu

Sandy menyodorkan mug-nya yang kosong dan Ren cukup tanggap, dia menuangkannya di mug Sandy.

Ren masih berdiri, ia merasa canggung—apakah harus duduk, berdiri saja atau harus permisi naik ke kamarnya

"Duduklah. Tak baik jika minum sambil berdiri" suruh Sandy tanpa menatap Ren—agar Ren tidak merasa kikuk.

Sandy mengambil tempat di samping kursi malas Ren yang dihalangi oleh sebuah meja kecil.

Sandy melirik dari sudut matanya bahwa Ren sudah duduk di kursi malasnya. Posisi duduknya tampak tegak sambil memegang erat mugnya.

"Rumahnya besar" ucap Ren, mengedarkan pandangannya ke sekitar area. Ren membuka suara—memulai obrolan.

"Ini adalah rumah peninggalan kakek dan neneknya Kiran. Kiran lahir dan tumbuh disini" jawab Sandy.

"Kiran bercerita bahwa kakek neneknya sekarang tinggal di Surabaya" ucap Ren

"Ya, semenjak aku didapuk untuk menjadi pimpinan perusahaan, orang tuaku memutuskan untuk pensiun dan kembali ke kota kelahiran ibuku"

"Hmm..." Ren mengangguk-angguk.

"Jadi yang tinggal di Indonesia hanya nenek dan kakekmu?" tanya Sandy

"Iya"

"Mereka tinggal dimana?" tanya Sandy.

"Mereka tinggal di Bandung sekarang. Nenek dari Bandung, kakek Semarang—ya begitulah"

"Kau tak mengunjungi mereka?"

"Mungkin besok, Kiran akan mengantarku ke Bandung"

"Apakah Kiran tertidur?"

"Kiran belum pulang"

"Heh?"

"Kiran sedang hangout bersama teman-temannya"

"Teman yang mana?"

"Katanya teman SMP-nya. Mungkin mereka reuni" Ren mengangkat bahu tanpa beban

"Kau tak marah, ditinggal Kiran sendirian di rumahnya sendiri? Bagaimanapun kau adalah tamu, apakah aku harus menegurnya?"

"Oh..tidak, Jangan Pak Shankara—"

"Sandy saja" potong Sandy, jika orang memanggilnya dengan nama Shankara—ia berasa bicara dengan karyawan atau kolega bisnisnya

"Pak Sandy" ralat Ren.

"Hmm.." Sandy mengangguk

"Tak perlu menegur Kiran, ini bukan salahnya. Kiran meminta ijin sebelum aku tidur, aku pikir aku akan mengantuk tapi ternyata tidak. Jadi ini bukan salahnya" jelas Ren

"Kau tidak meneleponnya untuk meminta dia kembali pulang?"

"Tidak. Anggap saja ini adalah toleransi karena besok Kiran mengantarku ke Bandung"

"Apakah Kiran akan menginap disana?"

"Kiran bilang sih, iya.. mungkin sehari atau dua hari. Tenang saja, aku tak akan menahannya lama disana, jika saja itu yang Bapak khawatirkan"

"Tidak. Bagiku asal aku tahu dia berada dimana, itu sudah cukup, Kiran sudah besar dia mampu menjaga dirinya sendiri, dan aku yakin Kiran tak menjerumuskan dirinya ke hal yang merugikan dirinya sendiri"

"Tidak, Pak. Kiran tak seperti itu, dia bersih. Aku selalu bersamanya di Stanford, jadi aku tahu"

"Ya, aku juga tahu. Aku bisa membedakan mana yang junkies—mana yang bukan. Walaupun sekarang banyak jenis narkotika yang tak terdeteksi, tapi Putraku tak mungkin menggunakannya"

Ren mengangguk

"Apakah benar yang dikatakan Kiran, bahwa kau itu hanya temannya?"

"Bersahabat tepatnya, Pak. Kami dekat tapi hanya sebatas teman"

"Baru kali ini Kiran membawa teman perempuannya ke rumah"

"Kadang Kiran tak menganggapku perempuan" seloroh Ren sambil menahan tawa.

"Kenapa begitu?"

"Entahlah, mungkin aku selalu memarahinya dan sedikit cerewet jadi dia tak melihatku sebagai perempuan semestinya"

"Mungkin Kiran mencari sosok ibu darimu" sela Sandy.

"Oh... Ibunya Kiran dimana?"

"Di Inggris. Dia harus tinggal disana, aku tak suka dia berada di dekat Kiran" jawab Sandy mendengus. "Apa Kiran pernah cerita tentang ibunya"

"Pernah tapi hanya sedikit. Kiran hanya mengatakan bahwa ia tahu ibunya siapa, tapi tak mengenalnya"

"Baguslah. Kiran tak perlu mengenalnya karena dia itu bukan ibu yang baik. Dan tak baik untuk Kiran sendiri" ucap Sandy. Ren menangkap nada jengkel di suara Sandy.

Ren hanya diam, ia tak tahu bagaimana menanggapinya karena ia tak mau ikut campur dalam masalah keluarga, apalagi menyangkut mantan istri ayahnya Kiran.

Ren sebenarnya tahu cerita tentang ibunya Kiran dan Ren juga tahu bahwa keluarga Kiran melarang keras Kiran untuk menghubungi ibunya, penuturan Sandy membawa perspektif sendiri bagi Ren. Seolah Ren memahami bahwa ayahnya Kiran seperti trauma membaut komitmen baru dengan memiliki istri.

"Bukankah ibumu tinggal di Turki?"

"Iya" angguk Ren

"Mengapa ibumu meninggalkanmu disini? Maksudku berkaca dari ibunya Kiran"

"Oh.. tidak. Itu hal yang sangat berbeda. Ibuku harus pergi ke Turki selain karena masalah kewarganegaraan dan juga sulit untuk beradaptasi disini sepeninggal ayahku. Jadi itu alasan utamanya"

"Kau pernah mengunjunginya?"

"Belum diberi kesempatan untuk kesana. Lagipula aku harus menyelesaikan kuliahku. Tapi kami saling memberi kabar melalui telepon atau videocall"

Dan topik ini membawa Sandy dan Ren mengobrol panjang di teras itu, mengobrol banyak hal, dari mulai masa kecil Ren dan masa kecil Kiran.

Dibalik sikap dinginnya, Ren menilai Sandy adalah orang yang menyenangkan untuk diajak ngobrol.

Usia mereka hanya terpaut 17 tahun jadi obrolan mereka tak seperti orang tua ke anak, tapi lebih merupakan obrolan antar orang dewasa—walaupun Ren masih memanggilnya dengan sebutan Bapak atau Pak, itu lebih baik daripada Sandy dipanggil Om, Sandy bergidik jika dipanggil seperti itu. Kata itu kerap kali berkonotasi negatif

Dan Sandy sama sekali tak terlihat tua di usianya yang akan mencapai 40-an. Dia terlihat tegap, tubuhnya fit and firm dan wajahnya juga tampan—untuk ukuran pria. Dia memiliki wajah yang enak dilihat dan sangat pria, dengan sedikit menambahkan jambang yang sengaja tak dicukur habis. Tipe pria dalam iklan rokok yang sering dilihat Ren.

Pantas saja wanita-wanita mengejarnya, sudah tampan, maskulin, crazy rich pula—apa kekurangan Sandy? Pria semacam Sandy pasti memiliki banyak koleksi perempuan cantik yang tinggi semampai ala model-model atau artis-artis papan atas.

Sandy merasa takjub bahwa dia bisa mengobrol selama ini dengan lawan jenisnya, tanpa gadis ini bersikap centil atau genit, bersuara manja dan seakan-akan mengharap sesuatu darinya. Gadis ini tertawa kecil menanggapi obrolan Sandy yang terasa lucu baginya, dan tawanya itu menggemaskan, deretan gigi mungil-mungil dan dua gigi kelinci, semakin menyempurnakan paras gadis ini.

Seandainya dia wanita bookingan, tentu Sandy akan menyimpan dia untuk digunakannya dalam jangka waktu panjang—karena tipe gadis ini sangat langka.

Obrolan mereka terhenti kala suara kokok ayam yang entah darimana terdengar, dan saat itu Ren menguap. Dia tampak alami dalam sikapnya, bahkan dia meregangkan lehernya yang pegal.

"Tidurlah, kelihatannya kau sudah mengantuk"

"Humm... kurasa aku punya 3 jam lagi sebelum Kiran menyeretku ke mobil" kekehnya "Bapak belum mengantuk?"

"Ya, kurasa aku punya lebih banyak jam darimu, aku punya 5 jam sebelum pegawai memborbardirku dengan telepon dan pesan dari kantor"

Ren tertawa "Tapi aku masih bisa memejamkan mataku selama 3 jam lagi di mobil untuk tidur" balasnya tak mau kalah—membuat Sandy tersenyum tipis. Gadis ini senang berargumen.

"Kiran belum pulang juga, aku khawatir dia tidak tidur. Berbahaya jika menyetir sambil mengantuk. Kalian ke Bandung diantar supir saja, jika perlu mobil disana—suruh Kiran ambil di dealer atau supir kembali ke Jakarta pakai travel" saran Sandy santai.

"Akan kutanyakan pada Kiran, apakah akan pakai supir atau tidak"

"Pakai supir! ini membuatku tenang. Aku tak ingin kalian kenapa-kenapa karena memaksakan diri" tegas Sandy.

"Baiklah. Terima kasih atas obrolannya"

"Terima kasih atas coklatnya"

Ren tersenyum mengangguk lalu berlalu dari sana menuju kamarnya.

Sandy menertawakan dirinya sendiri, mengapa ia mudah sekali berterima kasih hanya untuk secangkir minuman coklat. Ia sama sekali jarang mengucapkan terima kasih, justru orang-orang yang sering berterima kasih padanya.

Gadis itu telah membuatnya keluar dari jalur yang semestinya—padahal hanya sepele, tapi sangat bersifat prinsip untuk Sandy.

Dan yang paling membuatnya harus mengutuk diri sendiri bahkan dia lupa merokok!!

Saking asyiknya mengobrol dengan gadis itu dia melupakan rasa sakau karena candunya terhadap nikotin, padahal Sandy adalah perokok berat. Dia dan rokok tak bisa dipisahkan tapi gadis itu membuatnya lupa.

Apakah ini hal baik atau hal buruk?

.

.

.

Jangan lupa vote dan komen ya...