"Bapak kenapa masuk nggak ketuk pintu dulu!" teriak Sea yang membelakangi Banin.
Tubuh polos itu kini hanya tertutup sebagian oleh selimut yang di sambar oleh Sea dengan sembarang tadi. Sedang Banin mencoba menenangkan jantungnya yang berloncatan ingin keluar dari cangkangnya.
"Ma-maaf, Sea. Aku tidak tahu kalau kamu habis mandi. Lagian pintunya nggak dikunci."
Sea mendenguskan hidungnya kesal mendengar Banin yang menyalahkan dirinya. Sudah jelas-jelas dia yang salah masuk kamar orang tidak ketuk pintu.
"Aku cuma mau kasih kamu baju ganti," ucap Banin sambil membalikkan badan.
"Bapak balik badan, ya. Jangan ngintip!" Sea berjalan lurus ke arah Banin dan mengambil baju ganti pemberian Banin.
Tubuhnya masih ditutupi oleh selimut putih yang ia sambar dengan sembarang tadi. Ketika tangan Sea akan mengambil baju yang diberikan oleh Banin, tangan mereka tak sengaja bertemu.
Banin tersentak sesaat ketika dia merasakan betapa hangatnya sentuhan jari mungil Sea menyentuh telapak tangannya yang besar. Dan yang membuatnya lebih heran lagi, ketika tangannya menyentuh kulit tangan Sea, dia tidak merasakan reaksi apa-apa.
Seperti yang pernah di rasakan ketika dia bersentuhan dengan orang lain. Dia pasti akan merasakan reaksi alergi gatal-gatal yang begitu sangat.
"Ajaib! Gadis ini ternyata bukan gadis sembarangan. Aku tidak merasakan alergi yang biasa menyerangku ketika aku bersentuhan dengan orang lain." Hati Banin berkat-kata sambil terheran-heran.
Siapa sebenarnya gadis ini? Sea memakai baju yang sudah diberikan oleh Banin. Baju kemeja milik Banin yang agak kedodoran tapi tampak seksi di mata Banin. Cowok itu mengerjab liar mana kala matanya terbentur pada paha yang hanya separuh tertutup oleh kemeja miliknya.
Dia menelan saliva dengan susah payah. Entah kenapa tenggorokannya terasa kering. Ada yang terasa aneh pada dirinya. Tidak biasanya dia deg-degan begini menghadapi seorang gadis.
Apalagi gadis biasa seperti Sea. Nggak mungkin banget dia menyukai gadis kampungan seperti dia. Secara dia ada Presiden Direktur di Stars Group. Mana mungkin memilih sembarang wanita.
Sea merasa risih ditatap begitu intens oleh Banin. Dia membuang muka menyembunyikan debar jantungnya yang tak teratur setiap kali matanya terbentur dengan mata biru itu.
"Kalau sudah ganti bajunya, ayo makan malam dulu," ucap Banin yang langsung meninggalkan Sea sendiri di kamarnya.
"Ihh! Dasar Aneh! Pertama ketemu doang baik. Ke sininya sudah kayak orang kesurupan setan." Sea menggerutu tak karuan melihat kenyataan tentang sifat bosnya yang menurutnya tidak normal itu.
Sea melirik sekilas ekspresi datar muka Banin, lalu kembali disuapkan nasi itu ke mulutnya. Hari sudah larut, jam sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari.
Tapi di ruang makan itu masih ada aktifitas langka yang dilakukan oleh dua makhluk berlainan jenis itu. Aktifitas yang lumayan bikin orang meradang. Makan malam yang bukan aktifitas seperti orang pada umumnya kalau jam segini mereka sibuk di ranjang.
Dan Sea baru paham kalau laki-laki yang menjadi bosnya ini selain galak, judes, dingin dan angkuh ternyata seorang penggila kebersihan. Dirinya yang mantan OB aja nggak terlalu memperhatikan soal kebersihan, lha ini orang satu ini, sebentar-sebentar harus di bersihkan dan dilap. Bikin capek saja.
Setelah selesai membersihkan dan merapikan meja makan, Sea menghempaskan tubuh lelahnya di kamar. Rasanya capek banget, padahal hanya duduk nungguin bos mancing. Dan segera dia melelapkan diri agar besok dia bisa bangun tepat pukul 7 karena harus buatin sarapan bos.
Sedang Banin merasakan ada yang aneh dengan dirinya. Entah kenapa semenjak dia dekat dengan gadis ini, dirinya ada yang berbeda. Berdekatan dengan Sea dua tidak pernah merasakan pengaruh alergi gatal-gatal yang selalu menyerangnya mana kala dia bersentuhan kala dengan orang lain.
Banin gelisah dan membola-balikkan badannya. Entah kenapa bayangan Sea tiba-tiba muncul di benaknya.
"Ih, ngaco ini pikiranku! Kenapa tiba-tiba mikirin dia mulu sich? Nggak-nggak, ini ada yang salah. Pasti ada yang salah," ucapnya berkali-kali mengelak kata hatinya.
Lalu Banin bangkit dari tempat tidurnya untuk turun ke bawah. Diliriknya kamar Sea yang sudah tertutup rapat. Ruang tamu yang sudah menggelap dan hanya di sinari lampu sudut yang bertengger di sudut-sudut ruangan tamu itu. Terlihat temaram dan damai sekali.
Banin menghenyakkan tubuhnya di sofa lalu menyalakan televisi. Matanya sama sekali tak mau terpejam. Setiap terpejam bayangan Sea mendatangi daya imaginasinya.
****
Sea tampak terganggu sekali dengan suara berisik itu. Dia melirik jam yang ada di atas nakas. Baru jam 3 kurang. Lantas dia bangkit dan baru menyadari kalau ada suara berisik dari arah ruang tamu. Seperti seseorang yang sedang menonton tv.
Tanpa mengenal takut, Sea mengambil tongkat bola kasti dan mulai membuka pintu pelan-pelan. Perlahan dia berjalan mendekati ruang tamu. Dan memang benar adanya, tv itu nyala. Ada seseorang yang sedang duduk menonton.
Tanpa berpikir panjang Sea memukulkan tongkat itu ke punggung pria yang sudah duduk di ruang tamu itu.
"Bukk! Bukk! Kena kamu! Kamu maling, ya?!" teriak Sea sambil terus memukul ke arah punggung orang itu.
"Aaaa!" Pria itu tak kalah keras berteriak mendapat pukulan di punggungnya dengan sekuat tenaga. Dia lalu menarik tongkat yang ada di tangan Sea.
Sea yang masih memukul membabi buta itu di tarik dan ditangkap lalu didekap erat sekali oleh Banin, sehingga mereka terjerembab di sofa panjang itu.
"Sea! Kamu ingin membunuhku, ya?" teriaknya lagi dengan nada pertanyaan.
Dan alangkah terkejutnya Sea, ternyata orang yang diserangnya adalah bosnya sendiri.
"Maaf, Pak. Saya kira maling," ucap Sea dengan polosnya.
"Mana ada maling nonton tv, Sea!" Mulut Banin menggerutu namun tidak melepaskan dekapannya pada Sea. Sea sendiri merasa heran, kenapa reaksinya begitu reflek dan spontan menggerakkan tangannya tadi.
Perlahan Sea melepaskan diri dari dekapan pria yang menjadi bosnya itu. Ada debar jantung yang sangat liar menggelora di dadanya. Demikian juga Banin.
Entah mengapa tiba-tiba dia merasa sering deg-degan kalau bersentuhan dengan Sea. Apalagi Sea dalam dekapannya. Rasanya tubuhnya bergetar hebat. Padahal dirinya tahu betul kalau bersentuhan dengan kulit lain, alerginya akan kambuh lagi. Tapi ini?
Bahkan Sea dalam dekapannya pun dia tidak merasakan efek apa-apa. Boro-boro kambuh, gatal pun enggak. Sea mengompres punggung kekar Banin. Ada bekas memar pukulan tongkatnya tadi.
"Maafkan saya, Pak," desisnya Sea sambil terus mengompres punggung itu dengan air hangat. Sesekali tangan kecil nan lembut itu meyentuh kulit Banin. Menimbulkan galenyar dan desir seperti disengat listrik di dada Banin.
"Akh! Apaan ini? Kok ada perasaan lain di hatiku. Ini apa?" tanya Banin pada diri sendiri. Banin segera saja membalikkan badan untuk mematahkan galenyar di tubuhnya. Mata mereka beradu. Hembusan napas itu menyatu. Entah setan apa yang merasuki dirinya sehingga dia sebegitu dekat dengan Sea.
Bibir itu, akh!
____
BERSAMBUNG