"Brengsek!"
Sean menyadari bahwa pesanan ini adalah jebakan yang dibuat oleh keluarga Wangsa. Merekalah yang sudah menjebaknya untuk datang kemari.
Kuncoro bergegas menghampiri Sean dan berteriak padanya, "Buka semua pakaian dan topimu!"
Sean tampak bingung dan bertanya, "Apa maksudnya?"
Pada saat ini, Sandi yang wajahnya terluka ikut datang dan menyahut, "Apa maksudnya? Apakah kamu tahu siapa dia? Dia adalah atasanmu! Direktur Perwakilan Kami Antar di Jakarta, Kuncoro Mangun!"
Kuncoro mendengus dingin dan berkata, "Kalau kamu tidak percaya, aku akan menyuruh Manajer Sapto yang mempekerjakanmu itu untuk meneleponmu."
Tak lama kemudian, Manajer Sapto menelepon Sean.
"Sean, bagaimana bisa kamu menyinggung Direktur Kuncoro? Kamu sudah dipecat olehnya!"
Sean tertawa mencibir. Dia tidak menyangka bahwa karier pengiriman makanannya akan berakhir seperti ini. Sejujurnya, dia suka mengantarkan makanan karena bisa bertemu dengan semua jenis orang, juga untuk melatih temperamen dan kebiasaan seseorang. Sean ingin mengakhiri karier pengiriman makanannya dengan sempurna, tetapi justru dihancurkan begitu saja oleh si bajingan Kuncoro ini.
Kuncoro berteriak pada Sean lagi, "Cepat buka bajumu! Aku sudah memecatmu!"
Pakaian, topi, dan sepeda motor yang Sean gunakan saat ini berasal dari Kami Antar. Karena Sean sudah dipecat, dia tidak berhak untuk menggunakan semua barang itu lagi.
"Baik," jawab Sean singkat.
Sean menunjukkan ekspresi tegas di wajahnya dan di depan semua orang, dia melepas seragam pengantar makanan berwarna kuningnya.
"Hahahaha! Dia seperti seekor anjing!" hina Sandi yang tertawa terbahak-bahak.
Jayanata juga berkata dengan penuh amarah, "Barang tidak berguna! Bukankah tadi kamu masih begitu liar? Berani-beraninya kamu memukul anakku! Biarkan aku melihat perilaku liarmu sekarang!"
Pada saat ini, Sean merupakan karyawan Kuncoro sehingga mau tidak mau, dia harus mematuhi kemauan Kuncoro.
Setelah melepas seragamnya, Sean meninggalkan pakaiannya di atas sepeda motor dan berkata, "Bos Kuncoro, dengar-dengar posisimu sebagai direktur perwakilan Kami Antar akan jatuh tempo tahun ini, kan?"
Kuncoro tertegun sejenak, lalu menyahut, "Apa urusannya denganmu?"
Sean tersenyum dan berkata, "Kamu tidak perlu pergi ke Jakarta Pusat untuk membahas pembaruan kontrak karena kamu tidak akan menjadi perwakilan Kami Antar lagi."
Sean memiliki beberapa kesan terhadap Presiden Direktur Kami Antar yang selalu ingin berkenalan dengan keluarga Yuwono, tetapi selalu saja ditolak oleh kakeknya. Hanya dengan menyapa presiden direktur tersebut, seseorang yang bernama Kuncoro Mangun ini akan langsung menghilang dari Jakarta.
Kuncoro menaruh harapan untuk menjadi perwakilan Kami Antar di Jakarta untuk menghasilkan uang. Perkataan Sean ini membuatnya menjadi sangat marah.
"Kamu ini apa, hah?! Kamu bilang aku tidak akan bisa menjadi perwakilan Kami Antar lagi? Apa kamu tahu seberapa kuat hubunganku dengan Presiden Direktur Kami Antar?" kata Kuncoro, "Saat itu, tidak ada yang optimis dengan perkembangan layanan pesan-antar. Akulah yang mengeluarkan uang untuk bertindak sebagai perwakilan Kami Antar di Jakarta dan menyelamatkannya! Kali ini, aku akan mengeluarkan sepuluh miliar!"
Sean tersenyum dingin dan berkata, "Bahkan jika kamu mengeluarkan seratus miliar pun, kamu tidak akan menjadi perwakilan Kami Antar. Coba saja jika tidak percaya."
Kuncoro benar-benar kesal karena apa yang dikatakan Sean hingga tidak mampu berkata-kata, "Kamu…!"
Pada saat ini, Nenek Wangsa tiba-tiba menyahut, "Sean, dasar kamu tidak berguna! Sudah, jangan bicara omong kosong! Awalnya, kamu bersalah karena sudah selingkuh dari Giana. Sesudah itu, kamu memukul cucuku! Hari ini, di depan seluruh tamu yang hadir, aku akan menghukummu dengan adat keluarga!"
"Kamu! Apa kamu berani masuk?!" bentak Nenek Wangsa lagi.
Sean mendengus dingin dan menjawab, "Kenapa tidak berani?!"
Sean melirik pintu masuk Hotel Marriott. Selain keluarga Wangsa yang berkuasa, terdapat banyak tamu yang datang untuk menghadiri pesta ulang tahun Nenek Wangsa.
Sean tahu bahwa tamu-tamu ini adalah tokoh terkemuka di Jakarta. Terlepas dari pemerintahan ataupun Tanah Abang, tidak peduli itu pengusaha ataupun seniman, mereka semua memiliki kekuasaan yang tidak bisa dibayangkan oleh orang biasa. Namun, Sean tetap tidak takut menghadapi orang-orang terhormat ini.
Bukankah mereka hanyalah kalangan kelas atas kecil di Jakarta saja? Seekor naga tidak akan bisa dipermainkan oleh seekor udang! begitu pikir Sean.
Sean melangkah dengan tegas dan mengikuti keluarga Wangsa ke lobi hotel.
Karena Nenek Wangsa sedang merayakan ulang tahunnya, dia memesan seluruh hotel sehingga tidak ada orang luar yang berada di aula, kecuali para pelayan. Bahkan, setelah Sean masuk, para pelayan itu pun menghindar.
Nenek Wangsa menduduki kursi yang berada di tengah ruang tamu. Walaupun tubuhnya hanya setinggi seratus enam puluh sentimeter, penampilannya benar-benar berwibawa. Setelah duduk, Nenek Wangsa berseru, "Bajingan! Masih tidak berlutut?!"
Sean melihat sekeliling selama beberapa saat, kemudian menjawab, "Kenapa aku harus berlutut?"
Nyonya besar keluarga Wangsa itu pun berkata, "Tiga tahun lalu, kamu masuk menjadi bagian keluarga Wangsa kami. Kamu juga pernah berjanji dengan mulutmu sendiri bahwa begitu kamu melakukan sesuatu yang menyakiti keluarga Wangsa, kamu akan menerima hukum adat keluarga Wangsa-ku! Aku tanya padamu, apa janjimu pada saat itu masih bisa diperhitungkan?"
Sean menegakkan tubuhnya dan menjawab, "Tentu saja apa yang aku, Sean Yuwono, katakan bisa diperhitungkan!"
"Bagus! Ambil penggaris naga raksasa keluarga Wangsa-ku!"
Dengan perintah dari Nenek Wangsa, Jayanata segera menyerahkan 'penggaris naga raksasa' yang sudah disiapkannya. Penggaris naga raksasa ini merupakan peninggalan nenek moyang keluarga Wangsa yang terbuat dari logam dan lebih besar dari penggaris biasa.
Awalnya, penggaris ini hanya digunakan sebagai alat ukur. Tetapi, penggaris ini kemudian menjadi alat untuk hukum adat keluarga. Jika ditampar dengan benda ini, setidaknya akan sakit selama tiga hari.
Nenek Wangsa memegang penggaris naga raksasa di tangannya dan berkata, "Bagus kalau kamu mengakuinya! Panggil orang untuk menamparnya untukku sebanyak dua puluh kali!"
"Baik!"
Jayanata yang ingin melampiaskan kemarahan atas putranya menjadi orang pertama yang melangkah maju. Namun, Jayadi menyambar penggaris naga raksasa itu.
"Bu, akulah yang bertanggung jawab untuk mendisiplinkan menantuku, jadi biarkan aku sendiri yang menghajarnya!" kata Jayadi.
Begitu Jayadi mendapatkan penggaris naga raksasa, Lana menyambar penggaris itu dan menyahut, "Akulah yang selalu menamparnya selama ini, jadi biar aku yang melakukannya!"
Beberapa orang berebut untuk menghajar Sean. Akan tetapi, seseorang yang sama sekali tidak disangka oleh Sean adalah istrinya, Giana, yang ternyata juga angkat bicara.
"Dia adalah suamiku, jadi biar aku yang memukulnya!" seru Giana.
Tangan lencir dan putih Giana yang selama tiga tahun ini tidak pernah dipegang oleh Sean kini mengambil penggaris naga raksasa itu.