Chereads / PERJALANAN MENEMBUS KABUT / Chapter 5 - SELALU MELIBATKAN ALLAH

Chapter 5 - SELALU MELIBATKAN ALLAH

Sayup-sayup masih ku dengar suara ibu memanggil namaku.

"Ana!" panggil ibu. Suaranya begitu teduh dan menenangkan, membuatku semakin pulas tidur di atas bilik bambu milik paman.

Suara ibu bersahutan dengan suara paman yang sedang melantunkan sholawat di mushola. Seperti nyanyian pengantar tidur, dua suara itu semakin membuatku malas untuk membuka mata.

Suara ibu tiba-tiba menghilang, begitupun suara lantunan sholawat. Suasana menjadi hening dan sepi.

Aku menggeliat lalu mengucek mataku, lalu terduduk di tepian bilik. Aku merasa sangat haus, bahkan ketika bajuku masih basah kuyup, keringatku masih terus bercucuran. Dengan malas dan terus-menerus menguap, aku melangkah ke arah meja dan mengambil segelas air.

Aku tidak menghabiskan air minum itu, membiarkannya tetap tersisa setengah gelas, lalu kembali ke bilik bambu dan mulai melanjutkan mimpiku.

*

Ternyata ibu ikut sholat berjamaah di surau samping rumah paman.

Setelah mendengar azan, ibu mengurungkan niatnya untuk segera masuk ke rumah paman. Ibu lebih memilih ikut sholat berjamaah dan berdoa meminta kepada Allah agar segera dipertemukan denganku.

Ibu selalu menggantungkan setiap masalahnya hanya kepada Allah, kenapa ibu tidak langsung masuk? mungkin saja bisa langsung bertemu denganku, tapi bisa saja tidak menemukanku di dalam. Ibu tidak pernah mengambil keputusannya sendiri, ibu selalu melibatkan Allah dalam setiap urusannya. Begitupun dalam hal mencari aku ini, ibu sudah mencari kemana-mana, ke rumah tetangga dekatku, dan tempat-tempat lainnya. Tapi aku tidak ditemukan di manapun, maka ibu berpikir mungkin juga aku tidak ada di rumah paman. Bagaimana tidak, rumah kami cukup jauh dan jalannya sangat terjal dan sulit, jadi bagaimana mungkin gadis sekecil aku bisa bisa sampai di rumah paman sendiri.

Setelah selesai sholat zuhur, ibu segera berdiri kembali dan melaksanakan sholat sunah.

Paman juga tidak langsung pulang ke rumah, dia memberitahu salah satu santrinya kalau nanti sore tidak mengaji dulu alias libur. Karena mungkin paman harus mengantarku pulang ke rumah, kalau tidak orang rumah akan khawatir kalau sampai sore aku tidak pulang.

Ibu telah selesai sholat sunnah, lalu kembali berdoa sebentar. Menengadahkan kedua tangannya ke langit, tanpa berucap sedikitpun. Hanya air mata yang terus meleleh di sudut mata ibu.

Setelah selesai melipat mukena dan meletakkannya kembali ke dalam lemari, ibu bergegas keluar dari dalam surau.

Kebetulan paman juga sudah selesai memberitahu para santrinya, ibu dan paman keluar dari surau secara bersamaan tapi dari arah yang berbeda. Namun akhirnya bertemu di depan pintu dapur paman

"Assalamualaikum," sapa ibu.

Paman sedikit terkejut dengan kedatangan ibu, "Waalaikumusalam, loh kamu Yuk? udah dari tadi?" tanya paman.

Ibu tersenyum teduh namun tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya, "Baru aja Mul," jawab ibuku.

"Masuk Yuk," tawar paman. Yuk adalah panggilan paman ke ibuku yang berarti ayuk atau kakak. Paman kemudian melanjutkan ucapannya, "Brindil juga ada di dalam," imbuh paman.

Wajah ibu yang sedari tadi tegang, terlihat sedikit lega. Ibu menghela nafas sambil bergumam, "Alhamdulillah."

Paman membuka pintu dapurnya lalu masuk kedalam, ibu pun juga mengekor di belakang paman. Karena desain rumah zaman dulu yang tidak terlalu tinggi, ibu dan paman harus sedikit menunduk saat masuk ke dalam dapur.

"Jangan dimarahin lo Yuk, kasihan," ucap paman sembari berjalan.

Ibu menggeleng, "Enggak Mul, Ana kalau dimarah malah ngelawan," tukas ibuku sembari tertawa kecil.

*

Aku merasa ada yang duduk di sampingku, terdengar decitan bilik bambu yang sedang ku tiduri dan hentakan yang menambah sedikit beban.

Tangan halus dan lembut membelai rambut keriting ku dan aku sangat mengenalnya. Perlahan aku mulai membuka mataku, berbalik ke arah wajah ibu yang teduh, cantik, dan putih berseri bak seorang bidadari tak bersayap.

"Ibu," gumamku pelan.

Ku lihat ibu mengangguk lalu tersenyum ke arahku.

"Bangun dulu ya An, bajumu basah," ucap ibu sembari memegang bajuku. Sepertinya bajuku sudah sedikit kering, mungkin karena aku tertidur cukup lama sampai tidak terasa bajuku kering dengan sendirinya.

Aku beranjak bangun dari tidurku dan duduk di samping ibu. Ku sapu kedua mataku menggunakan tangan mungilku.

"Iya," jawabku pendek, aku masih di fase antara sadar atau belum sepenuhnya sadar. Tapi ingatanku cukup baik, aku ingin mengatakan tentang ayah pada ibu. "Bu, tadi, tadi Ana lihat Bapak," ucapku dengan polos.

Ibu terlihat sedikit terkejut, namun tidak lama. Ibu kembali tersenyum ke arahku.

"Iya, Bapak lagi kerja. Bapak 'kan dagang ke kota, bukannya tadi pagi Bapak pamit?" ucap ibu dengan nada yang sangat tenang.

Aku tidak pernah mampu menggambarkan seperti apa kelembutan dan kesabaran ibuku. Seorang wanita yang begitu bersahaja, bersikap baik kepada siapapun dan tidak pernah sekalipun kudapati ibu marah kepada siapapun. Sulit, bahkan ribuan rangkaian kata terindah yang bisa aku tuliskan tidak akan pernah mampu mendeskripsikan seperti apa kebaikan ibuku.

Bukan aku namanya kalau tidak membantah, "Ana lihat Bapak!" sentak ku, "Bapak gak kelja, Bapak dilumahnya Mbok lastli!" ucapku dengan khas kecadelanku.

Sekarang aku benar-benar melihat perubahan di wajah ibu. Sebuah kecemasan yang begitu dalam namun masih tetap berusaha tenang. Mungkin ibu berpikir, aku tidak mungkin berucap bohong. Berulangkali aku melihat ibu menelan salivanya. Namun akhirnya tetap saja ibu tidak menunjukan reaksi marah atau menanyaiku lebih lanjut, ibu malah mengalihkan pembicaraan kami.

"Sekarang pamit sama Pak Lek An, kita harus segera pulang. Bajumu basah dan pasti yang lain masih khawatir mencarimu," ucap ibu. "Yuk, pamit sama Pak Lek, kita pulang," ajak ibu.

Aku mengangguk patuh, namun belum sampai aku berpamitan, paman lebih dulu berkata untuk mengantar kami berdua pulang ke rumah.

"Biar aku antar Yuk, sudah hampir maghrib. Biasanya babi hutan sering melintas," ujar paman.

Ibu menyetujui ucapan paman dengan mengangguk. Lalu setelah paman selesai mengunci semua pintu dan jendela rumahnya, kami segera berangkat pulang ke rumahku.

**

Rumah itu nampak tua dan sepi, terasnya yang terbuat dari kayu juga mulai lapuk dimakan rayap.

Mbok Lastri langsung naik ke teras rumah itu, rumah mbah Surip, dukun terkenal di daerah kami. Dari gerak-geriknya, mbok Lastri terlihat sangat bebas dan santai saat mengetuk pintu rumah itu, menunjukan ia sudah sangat terbiasa datang ke tempat itu.

Bau kemenyan mulai tercium, keluar dari celah pintu kayu yang sudah banyak lubang di sana sini.

"Kulonuwon (permisi dalam bahasa jawa)," ucap Mbok Lastri.

Kriieett.... nggekkk... pintu terbuka sendiri, tanpa ada angin atau seseorang yang membukanya.

Mbak Sri, Mas Hadi, dan Mbak Asiyah saling berpegangan tangan dengan erat. Keringat mulai mengucur membasahi dahi dan punggung mereka. Mbak Sri malah gemetaran kakinya, rasa takut mulai menghampiri mereka. Mungkin ini adalah pertama kalinya mereka mendatangi tempat itu, itupun tanpa sepengetahuan ibu. Jika ibu tahu, mungkin saja ibu bisa marah. Ibu melarang keras, kami anak-anaknya untuk datang ke tempat perdukunan seperti itu. Kata ibu, sholat kami tidak akan diterima selama 40 hari jika pergi ke dukun dan sebagainya.

"Ayo masuk," ajak Mbok Lastri.

Ketiga kakakku mengekor di belakang Mbok Lastri dengan kaki gemetar.

To be continued...