Ketiga kakakku mengekor di belakang Mbok Lastri dengan kaki gemetaran. Apalagi setelah melihat seorang kakek bongkok dengan tongkat kayu melengkung dan sangat mengkilap sebagai penyangga tubuhnya. Pakaiannya serba hitam dengan blangkon coklat sebagai penutup kepalanya.
Ya, dia adalah Mbah Surip. Dukun sakti dan terkenal di kampung kami. Dia sangat dipercaya masyarakat sekitar untuk menuntaskan segala permasalahan dari yang baik sampai yang buruk, menyantet dan me-melet misalnya.
Mbah Surip terkekeh, giginya hitam dan keropos, membuat siapapun yang melihatnya akan bergidik ngeri. Belum lagi kalungnya yang berliontin tengkorak kepala kucing yang semakin menambah keseraman pada penampilannya.
"Ono opo Nduk?" tanya Mbah Surip yang artinya dia menanyakan kedatangan Mbok Lastri dan ketiga kakakku ke sana.
Mbok Lastri mengajak ketiga kakakku duduk bersimpuh di bawah kaki dukun Surip. Sebagai tanda penghormatan dan sopan santun.
"Ngeten Mbah (begini Mbah)," ucap Mbok Lastri memulai pertanyaannya dengan bahasa jawa halus. "Kulo badhe tanglet, anu mbah, em," mbok Lastri mulai terbata-bata.
"Uwes, uwes. Aku wes ngerti opo seng arep mbok takokne, saiki muliho. Momonganmu wes meh teko ngomah (Sudah, sudah. Saya sudah tahu apa yang mau kamu tanyakan, sekarang kamu pulang. Anak yang kamu cari sudah hampir sampai di rumah)," ucap Mbah Surip.
Mbok Lastri mengerti maksud Mbah Surip, Mbok Lastri segera pamit untuk pulang dan mengajak ketiga kakakku untuk mundur perlahan tanpa berbalik arah ataupun bangun dari duduknya.
"Mundur ya, nanti kalau sudah sampai di luar baru boleh berdiri," ucap Mbok Lastri mengajari ketiga kakakku.
Ketika ketiga kakakku sudah sampai di luar terlebih dahulu, Mbah Surip menghentikan langkah Mbok Lastri.
"Tunggu Nduk! enek seng arep tak omongne (Tunggu Nak! ada yang mau saya bicarakan)," ucap Mbah Surip.
Mbok Lastri nampak bingung, namun tidak berani bertanya.
"Kowe ojo langsung bali (Kamu jangan langsung pulang)," lanjut Mbah Surip. "Omongono bojomu kon melok bali, nek ora bakal enek geger geden (Bilang suamimu suruh ikut pulang, kalau tidak akan ada masalah besar)," ucap Mbah Surip lagi. Lelaki tua itu mengambil sebuah kantung yang sangat usang, sebernarnya berwarna hitam, namun karena usianya yang sudah sangat tua mungkin, kantung itu berubah coklat kemerahan. "Gowo iki, sebaren neng pekarangan omah (Bawa ini, taburkan di halaman sekitar rumah)," ucap mbah Surip lagi sembari menyerahkan kantung itu ke Mbok Lastri.
Tidak ada yang tahu tentang kantung itu kecuali Mbak Asiyah. Karena dia sangat penasaran dan mengintip lewat celah pintu.
Setelah selesai bertransaksi dan Mbok Lastri memberikan imbalannya, akhirnya Mbok Lastri diizikan pulang oleh Mbah Surip.
"Kalian pulang duluan ya? Mbok lagi ada perlu sebentar," ucap Mbok Lastri kepada ketiga kakakku.
"Mau kemana Mbok?" tanya Mbak Asiyah penasaran.
"Sudah lah Is, pulang sana. Kata Mbah Surip sebentar lagi adikmu pulang ke rumah," tukas Mbok Lastri.
Mbak Sri dan Mas Hadi hanya diam saja, mereka tidak terlalu peka dan tidak pernah menaruh kecurigaan apapun pada Mbok Lastri. Akhirnya Mbak Is mengalah dan memutuskan untuk segera kembali ke rumah.
Lalu mereka berpisah di depan rumah mbah Surip, Mbok Lastri ke arah barat sedangkan ketiga kakakku pulang ke rumah.
**
Di sepanjang jalan, Mbak Asiyah diam saja. Pikirannya masih tertuju pada kantung yang diberikan oleh Mbah Surip kepada Mbok Lastri.
"Apa isinya?" gumamnya penasaran.
"Mikir apa Is?!" tanya Mbak Sri ketus. Mbak Sri memiliki karakter keras dan mudah tersinggung. Jika berbicara nada suaranya terkesan ketus.
Mbak Is menghela nafas, "Enggak Mbak, hanya kok Is penasaran sama kantung yang diberikan Mbah Surip ke Mbok Lastri ya?" ucap Mbak Is, mengungkapkan keraguan dan kecurigaannya pada Mbok Lastri. "Sepertinya Mbok Lastri itu sedikit aneh dan mencurigakan, dia suka main dukun ya Mbak?" imbuh Mbak Is lagi.
"Halah Is, Is... penasaran amat?! mungkin dia lagi cari jodoh atau memang ada hajat apa gitu! kamu mbok ya gak usah ngurusin hidup orang!" tukas Mbak Sri ketus.
Mbak Is sedikit kesal dengan ucapan Mbak Sri, apa salahnya jika menaruh curiga pada Mbok Lastri? toh nyatanya Mbak Is memang melihat Mbok Lastri akrab dan diberi sesuatu oleh Mbah Surip, dukun itu.
Tetapi Mbak Is tidak melanjutkan perdebatan mereka, dia lebih memilih mengalah agar tidak terjadi perselisihan.
Tiba-tiba Mas Hadi melihat sesuatu dari kejauhan.
"Loh! bukannya itu Bapak ya?!" pekiknya sambil menunjuk ke arah seseorang yang sedang menuntun sepedanya.
Mbak Sri dan Mbak Asiyah menoleh secara bersamaan.
"Iya, benar!" tukas Mbak Sri. "Haduh! gawat ini! habis lah brindil! cari masalah aja sih si brindil ini!" gerutu Mbak Sri sambil berulangkali menepuk keningnya sendiri.
"Ya kita gak usah ngomong lah Mbak," sahut Mbak Is.
Mbak Sri melotot ke arah Mbak Is, "Bagaimana mungkin gak ngomong? ya aku tetap ngomong lah sama Bapak! nanti kalau Bapak dengar dari orang lain, bisa-bisa kita juga kena marah. Aku gak mau kena marah Bapak!" ketus Mbak Sri.
Mbak Is masih berusaha membelaku, "Mbak! Brindil itu adik kita juga, kita harus saling melindungi," tukas Mbak Is.
Mbak Sri tetap tidak mau mengalah, dia selalu merasa bahwa dia lah yang tertua dan semua pendapatnya harus dituruti oleh adik-adiknya. Sebenarnya selisih umur ketiganya tidak terlalu jauh berbeda, bahkan mereka terlihat seperti teman sebaya. Tapi tetap saja, Mbak Sri adalah yang tertua dan merasa pendapatnya paling benar.
"Mangkanya jadi anak mbok ya gak usah nakal, gak usah aneh-aneh!" gumam Mbak Sri masih dengan nada ketus.
"Ana gak nakal Mbak! wajar lah, dia 'kan masih kecil kalau dia berbuat kesalahan, bukan berarti dia nakal," sangkal Mbak Is membelaku.
"Sudah! sudah! itu Bapak sudah dekat!" sela Mas Hadi, melerai perdebatan dua kakak perempuanku.
Mbak Sri membuang muka dari arah Mbak Is lalu menghambur ke arah Bapak.
"Pak!" panggil Mbak Sri.
Bapak tidak menunjukkan ekspresi apapun, bahkan tidak menjawab panggilan Mbak Sri.
"Bapak, kok gak jadi ke pasar? kenapa?" tanya Mbak Sri dengan nada manja, terlihat sekali dia sedang cari muka.
Masih hening, tidak ada jawaban. Hanya kedua bola mata Bapak yang mengarah pada ban sepedanya yang kempis, mengisyaratkan kalau sepedanya bocor.
Mas Hadi menawarkan diri untuk menggantikan Bapak mendorong sepeda dan Bapak menyetujuinya.
Mbak Is mengendus-enduskan hidungnya, dia mencium aroma yang tidak asing bagi indra penciumannya.
Aroma yang sama saat masuk ke rumah Mbah Surip, Aroma dupa. Tidak salah lagi, sekarang aroma itu tercium dari baju Bapak dan juga sepedanya.
**
To be continued...