"Nah, mari kita minum."
Adolf kemudian mengambil cangkirnya dan menatap Miya dan Snow.
Miya agak ragu, dia bertanya, "apakah kita akan minum di sini?"
"Jangan khawatir, girl, kamu hanya akan mabuk ringan, kamu tidak akan kacau hanya karena minum anggur ini," jawab Adolf.
Setelah mengatakan itu, dia meminum anggur di cangkirnya. Dia minum seperti orang kehausan, hanya butuh sedetik baginya untuk menghabiskannya.
"Ahhhh..."
Wajahnya langsung memerah setelah dia meminum anggur itu.
"Lihat, bahkan manusia fana seperti ku tidak mabuk sama sekali," ucapnya sambil menunjuk wajahnya.
Tentu saja, itu hanya apa yang dia katakan. Faktanya, suaranya terdengar bergetar saat dia berbicara.
"Aku merasa sangat nyaman." Dia melanjutkan. "Oh, sepertinya ada dao di depan ku!"
"..."
Miya dan Snow saling memandang.
Setelah mengangguk pada satu sama lain, mereka kemudian mengambil cangkir di depan mereka.
Mereka mulai meminumnya dan melakukannya secara pelan.
Meski begitu, wajah mereka masih memerah dengan cepat.
Tapi sementara wajah mereka memerah, mata mereka tampaknya menjadi lebih tajam. Mereka tampaknya melihat sebuah jalan lebar di depan mereka di mana mereka dapat dengan mudah melewatinya.
"Ini hampir seperti keadaan samadhi yang legendaris," ucap Miya dengan suara pelan.
Dia meminum anggur itu sekali lagi, menyebabkan efek yang dia rasakan meningkat drastis.
Dia tampaknya sudah melupakan sensasi mabuk di tubuhnya.
Namun, saat dia hendak menutup matanya, Adolf tiba-tiba menepuk pundaknya.
Dia menatapnya dengan ekspresinya bertanya, "ada apa?"
"Jangan berkultivasi, lebih baik rasakan sensasi mabuk yang luar biasa ini."
"..."
"Apa yang baru saja dia katakan?" Tanya orang-orang.
"Meskipun sensasi mabuk yang dihasilkan anggur kesengsaraan surgawi sangat luar biasa, tapi bagaimana itu bisa dibandingkan dengan berkultivasi."
"Ya, itu terlalu membuang-buang jika seseorang minum anggur kesengsaraan surgawi hanya untuk mabuk."
"Mengapa?" Snow kemudian bertanya.
Miya juga menatapnya dengan ekspresi ragu.
"Tidak ada alasan," jawab Adolf dengan santai. "Berkultivasi itu hal penting, tapi kalian adalah manusia dengan darah dan daging, emosi dan keinginan, kalian tidak harus meletakkan semuanya ke kultivasi, kalian juga harus menikmati hidup kalian."
Sambil mengatakan itu, dia menuangkan anggur yang tersisa ke cangkirnya dan cangkir mereka.
"Ayo minum sekali lagi, setelah ini, kita akan jalan-jalan ke pinggiran kota sambil menikmati angin."
"Ajaran sesat macam apa ini?" Tanya seorang junior.
"Dia melarang Fairy berkultivasi saat dia berada dalam kondisi terbaik untuk berkultivasi, bukankah itu terlalu banyak. Apakah dia ingin menunda kultivasinya?"
"Tidak heran dia masih manusia fana di usianya, dia memang pemalas."
"Aku tidak peduli jika dia pemalas, tapi mengapa dia ingin Fairy mengikuti kebiasaannya."
Pada saat ini, bahkan murid-murid sekte bulan ungu yang baru saja ditraktir makan olehnya mulai menunjukkan ketidaksenangan kepadanya.
Namun, Gray yang berdiri di belakang Adolf tiba-tiba mengatakan sesuatu yang membela Adolf.
"Saya setuju dengan pendapat tuan muda Adolf," ucapnya.
"Jika saya memiliki kesempatan untuk minum anggur kesengsaraan surgawi, saya juga akan memilih menikmati sensasi mabuk dari anggur itu."
"..."
Kata-kata Gray dan kata-kata Adolf secara alami dipandang berbeda oleh orang-orang. Bagaimanapun, yang pertama adalah anggota keluarga Acherron sementara yang terakhir hanya manusia fana, jadi seorang leluhur kemudian bertanya pada Gray, "apa alasan anda mengatakan itu?"
Tentu saja, dia bertanya dengan sopan, dia tidak mencoba menghakiminya tapi benar-benar ingin bertanya kepadanya.
Sebelum Gray menjawab, Adolf tiba-tiba berbicara.
"Pak tua, mengapa anda masih bertanya, bukankah saya sudah mengatakannya sebelumnya. Ini adalah untuk menikmati hidup."
"Kamu..." Leluhur itu tersipu karena dimarahi oleh Adolf.
Sebelum dia bisa memarahi balik Adolf, Gray tiba-tiba menimpali. "Itu juga yang saya pikirkan."
"..."
"Huh," biksu tua yang dari tadi berdiri diam tiba-tiba mendengus. "Banteng kecil, dengan wawasan mu yang sempit itu, bagaimana kamu bisa memahami kata-kata tuan muda, mereka terlalu mendalam untukmu, lebih baik kau diam."
"Kamu..." Leluhur yang disebut banteng kecil oleh biksu tua itu tidak bisa menahan gemetar.
"Siapa kamu?" Tanya-nya dengan mata melotot.
Dia dikenal sebagai Leluhur Banteng di wilayah timur, sekarang seorang biksu yang tampak seperti pengemis menyebutnya banteng kecil, jika dia tidak menghajar biksu tua itu, murid-muridnya mungkin akan meragukan reputasinya.
Biksu tua itu menatapnya dan menunjukkan ekspresi meremehkan. "Banteng kecil, lebih baik kau duduk diam di sana, biksu ini tidak menghajar mu hanya untuk memberi gurumu wajah."
Saat si banteng kecil melihat mata biksu itu sekali lagi, dia tiba-tiba merasakan perasaan yang berbeda, untuk sesaat, dia merasa seolah-olah sedang menatap dua matahari.
"Aku..."
Ekspresinya membeku, menyebabkan murid-muridnya bingung.