"Sayang, sarapan dulu?" tanya Novita saat melihat Marsell yang melangkahkan kakinya langsung tanpa melihat ke arah meja makan.
"Sarapan dulu sebelum pergi ke Sekolah," ujar Doni sambil memperhatikan anaknya dengan tatapan yang penuh dengan keseriusan.
Marsell tersenyum kecil. "Sekarang mengajak sarapan, padahal semalam seolah membenci sebab ketahuan sedang bersama dengan selingkuhan?" tanya Marsell sambil terus menatap Novita dengan tatapan yang begitu merendahkan.
"Maksud kamu apa bicara seperti itu?" tanya Doni dengan tatapan yang kebingungan mendengar kalimat yang sudah anaknya ucapkan.
"Lebih baik Papah tanya sendiri sama Istri Papah yang selalu Papah banggakan. Marsell hanya ingin mengingatkan, jangan terlalu percaya sama seorang pelacur."
Plak!
Baru selesai berucap, Marsell sudah langsung mendapatkan sebuah tamparan yang cukup keras dari Papahnya. Doni merasa tidak terima dengan apa yang sudah anaknya ucapkan, karena kalimat itu merupakan kalimat yang menghina istrinya.
"Jaga mulut kamu!" bentak Doni dengan tatapan yang begitu tajam dipenuhi dengan sebuah emosi di dalamnya.
"Dari pada jaga mulut, mending jaga Istri Papah biar dia gak sama selingkuhannya terus."
Setelah mengucapkan kalimat ini, Marsell langsung melangkahkan kakinya meninggalkan Papahnya yang masih berdiri dengan tatapan yang tanda tanya sebab tidak mengerti kenapa anaknya berbicara seperti ini.
*****
"Masih pagi, jangan makan mie." Marsell berucap tepat di samping Prisya yang memang baru saja memesang satu porsi mie.
Prisya langsung melirik ke arah di mana Marsell berada. "Lo kok ada di sini?" Prisya merasa begitu tanda tanya sebab pagi ini sudah bertemu dengan Marsell di Kantin.
"Mau sarapan," jawab Marsell dengan nada bicara yang cukup datar.
"Kakaknya mau pesen apa? Untuk mie yang tadi gimana?" tanya gadis yang bekerja sebagai pelayan Kantin.
"Jangan mie, ganti bubur aja."
"Gak, gue gak mau bubur! Ganti sama lontong sayur aja, jangan bubur." Prisya sangat tidak ingin untuk sarapan dengan bubur, tapi Prisya lebih malas berdebat dengan Marsell.
"Kakak juga sama mau lontong sayur?" tanya gadis itu.
"Nasi goreng aja," jawab Marsell.
Gadis itu menganggukkan kepalanya dengan begitu sopan. "Baik Kak, ditunggu ya." Sebuah senyuman mengiringi kalimat gadis itu.
Prisya melangkahkan kakinya dengan langkah yang begitu kesal menuju ke tempat duduk, Prisya memandang Marsell dengan tatapan yang masih penuh dengan kekesalan. Suasana hati Prisya sedang tidak baik.
"Gak usah marah, gue gak mau kalau nanti lo sakit." Dengan penuh keseriusan, Marsell menatap Prisya dengan tatapan yang terlihat kalau dirinya memang tidak ingin kalau Prisya sampai sakit hanya karena sarapan dengan mie.
*****
Deru napasnya sudah semakin keras, amarah yang ada dalam dirinya semakin lama terbendung maka akan semakin dahsyat dia meluapkannya. Banyak hal yang bisa memuaskan itu.
Tatapan mata Marsell begitu serius pada handphone memperhatikan sebuah foto yang ada di layarnya. Foto itu adalah alasan yang membuat deru napas Marsell menjadi tidak lagi beraturan.
"Argh!" geram Marsell sambil mengacak-acaknya dengan asal dan penuh dengan rasa frustrasi yang mengelilingi pikirannya.
Glek
Dengan seketika Prisya menelan salivanya dengan begitu kasar sebab dia merasa kaget saat mendengar Marsell yang berteriak dengan suara yang terdengar begitu frustrasi, Prisya tanda tanya akan hal yang membuat Marsell berteriak seperti itu.
"Lo kenapa?" tanya Prisya dengan nada bicara yang cukup santai.
Marsell melirik ke arah di mana Prisya berada. Dengan tatapan yang begitu intens, Marsell terus memandangi Prisya dengan sebuah perasaan kesal dan juga marah yang sekarang sedang bergejolak di dalam hatinya dan bertengkar dalam pikirannya.
"Gak papa," jawab Marsell dengan nada bicara yang begitu datar.
Ada sesuatu hal yang sekarang sedang Marsell rasakan, tapi tidak ingin untuk Marsell ungkapkan. Mendengar jawaban Marsell, membuat Prisya sama sekali tidak percaya, terlebih melihat ekspresi Marsell yang seperti itu.
Semakin lama Prisya malah semakin tidak yakin, karena saat Prisya memperhatikan Marsell dengan tatapan yang penuh dengan tanda tanya dan ingin mengetahui apakah Marsell berbohong atau tidak, Marsell malah membuang muka.
"Gue memang belum begitu lama hadir dalam kehidupan lo, tapi gue cukup tahu kalau sekarang lo sedang ada masalah. Ada apa? Masalah apa yang sekarang tengah lo pikirkan?" tanya Prisya dengan nada bicara yang penuh dengan kelembutan.
Marsel kembali memalingkan wajahnya, menatap Prisya dengan begitu dalam. "Lo gak akan selingkuhin gue kan?" tanya Marsell dengan begitu serius sambil memperhatikan Prisya secara menyeluruh.
Alis Prisya mengernyit bingung, kenapa Marsell mendadak bertanya seperti ini. "Selingkuh?" Prisya merasa aneh dengan hal ini. "Gue belum ada niat untuk selingkuh, memangnya kenapa?"
Dengan cukup santai Prisya mengatakan dirinya belum memiliki niat untuk berselingkuh. Sampai saat ini sebuah tanda tanya dalam diri Prisya masih terus berkeliaran, sebab dirinya merasa bingung kenapa Marsell menanyakan hal ini padanya.
Suasana hati Marsell sedang bercampur dengan penuh kekesalan sebab dirinya mendapatkan kabar kalau Mamah tirinya sedang jalan bersama dengan pria yang lain. Marsell memang tidak peduli dengan Novita, tapi Papahnya masih suami sah dari Novita.
"Kenapa-kenapa? Cerita sama gue, jangan dipendem sendiri." Prisya benar-benar merasa kalau sekarang Marsell memang sedang ada masalah.
Marsell melirik ke arah jam tangannya. "Sebentar lagi masuk, mending sekarang lo ke kelas." Marsell berucap setelah menyadari kalau waktu istirahat sudah habis. Sekarang Marsell dan juga Prisya tengah berada di Rooftop.
"Kenapa cuma gue yang disuruh ke Kelas, memangnya lo mau ke mana?" Prisya merasa bingung mendapatkan sebuah saran dari Marsell yang seperti ini.
"Gue masih ingin di sini," jawab Marsell dengan nada yang cukup datar. Suasana hati dan pikirannya benar-benar sedang jauh dari kata normal, sehingga dirinya sedang merasa malas untuk ke Kelas mengikuti pembelajaran seperti biasanya.
"Kalau lo masih mau di sini, ya gue temenin." Prisya tidak ingin meninggalkan Marsell di Rooftop sendiri, apalagi saat dirinyatahu kalau sekarang Marsell sedang ada sebuah masalah.
Dengan santai Marsell menggelengkan kepalanya. "Gak perlu, gue bisa di sini sendiri. Lo ke Kelas, belajar sana. Akan jauh lebih baik kalau lo memilih untuk belajar, dibandingkan dengan lo memilih untuk menemani gue di sini." Marsell sedikit menjelaskan agar Prisya mau menuruti apa yang sudah dirinya bicarakan.
"Kalau lo tahu akan jauh lebih baik kalau belajar, kenapa lo memilih untuk tetap di sini?" tanya Prisya sambil memperhatikan Marsell dengan cukup serius.
Mendapatkan pertanyaan seperti ini membuat Marsell terdiam, Marsell merasa terjebak di dalam kalimat yang sudah dia ucapkan. Memang apa yang sudah Prisya ucapkan benar dan kalimat itu juga berasal dari kalimat Marsell sendiri.
"Kenapa diem?" tanya Prisya sambil terus memperhatikan Marsell sambil menunggu jawaban akan alasan yang membuat Marsell berucap seperti itu.