"Dia cewek yang waktu itu dicium sama most wanted kita kan?" tanya salah satu siswi yang sedang bergosip.
Salah satu teman siswi itu menganggukkan kepalanya. "Iya, tapi gue penasaran sama hubungan mereka. Mereka itu pacaran?" tanya lanjut temannya yang merasa penasaran dengan hubungan Prisya dan juga Marsell yang belum ada kejelasan publik.
"Kalau iya, hebat tuh cewek bisa dapetin Marsell."
Kepala salah satu siswi itu mengangguk. "Iya, banyak orang yang ngejar Marsell tapi ujungnya yang mendapatkan Marsell dia."
Di mata mereka ada yang menganggap kalau Prisya itu beruntung bisa mendapatkan Marsell, tapi di mata yang lain ada yang membenci Prisya sebab bisa mendapatkan cowok yang menjadi incaran mereka.
"Tapi kalau dia memang ceweknya, kok mau ya sama Marsell? Dia kan anaknya badboy, sering buat ulah dan sebagainya."
Mata siswi itu langsung melotot tajam. "Memangnya siapa yang gak mau sama Marsell dengan tampang dia yang seperti itu? Masalah badboy itu kan udah wajar?" Memang banyak cewek yang memandang kalau Marsell itu cowok idaman, meski termasuk badboy.
"Lo semua lagi ngomongin gue?" tanya Prisya dengan begitu tenang saat dirinya baru saja mendengarkan pembicaraan mereka.
"Eh—h iya. Lo pacarnya Marsell?" tanya orang itu dengan nada yang penuh dengan sebuah rasa penasaran.
Mendapatkan pertanyaan itu membuat Prisya langsung melangkahkan kakinya meninggalkan mereka. Tidak ada niat dalam diri Prisya untuk menjawab pertanyaan mereka, karena ada berbagai pikiran yang kemungkinan akan muncul saat dirinya menjawab pertanyaan itu.
Di mana saat ia mengatakan kalau Marsell bukan pacarnya, mereka pasti akan bertanya-tanya kenapa dirinya bisa sampai dicium oleh Marsell dan kalau dirinya mengatakan memang pacarnya Marsell, dirinya juga tidak tahu apakah Marsell memang benar tidak punya pacar atau bisa saja ada pemikiran yang mengatakan kalau dirinya tidak tahu malu pacaran di tempat umum.
Cukup membingungkan untuk Prisya.
*****
Pembelajaran sudah dimulai sejak tadi, kuping Prisya terbuka lebar, tapi pemikirannya tertutup rapat untuk materi pelajaran.
Pikiran Prisya sekarang tengah memikirkan kehidupannya yang dia rasa begitu sunyi sampai akhirnya ia menjadi memikirkan apa yang sudah dia dengar dalam beberapa hari ke belakang dan juga tadi pagi.
Cinta itu hanya membuat pikiran menjadi berantakan, banyak masalah yang datang saat sudah melibatkan cinta ke dalam kehidupan.
Jari tangan Prisya mencoretkan pulpen di atas kertas bagian paling belakang bukunya. Semakin lama dirinya semakin mengenal cinta dari sudut pandang yang negatif, karena mungkin belum ada sebuah nilai positif yang dia dapatkan dari cinta di waktu sekarang.
Apa yang dirasakan akhir-akhir ini tentang sesuatu hal makan akan membuat pikiran yang demikian juga dalam pandangan kita, begitu juga dengan Prisya sekarang. Apakah mungkin kalau Prisya akan bisa memandang cinta dari sudut pandang yang positif?
"Kantin yuk," ajak Deta pada Prisya yang sampai sekarang belum ingin bergerak dari tempat duduknya.
Sampai saat ini Prisya belum mempunyai niatan untuk keluar. Prisya menggelengkan kepalanya. "Kalian duluan aja gih, gue lagi males ke Kantin."
"Oh, ya udah. Mau kita bawain sesuatu gak?" tanya Deta dengan nada yang cukup santai.
Kepala Prisya menggeleng. "Gak usah, makasih. Nanti kalau gue pengen, gue bakalan ke Kantin." Prisya memang tidak bisa memastikan apakah dirinya akan terus diam di dalam kelasnya atau pada nantinya akan memilih untuk pergi ke Kantin.
"Ya udah deh kalau gitu, kita duluan."
'Ya."
Mereka akhirnya melangkahkan kaki meninggalkan Prisya di dalam kelasnya. Merasa malas melakukan sesuatu hal, akhirnya Prisya memilih untuk bermain dengan ponselnya. Prisya memilih untuk bermain sebuah game online yang terdiri dari 5 pemaian yang akan memainkan 1 hero.
"Hai cewek," goda anak cowok yang baru saja berjalan mendekat ke arah di mana Prisya berada.
Prisya mengabaikan apa yang sudah mereka katakan. Prisya sadar kalau mereka tengah memperhatikan dirinya, tapi dirinya tidak ada niat untuk memperhatikan balik mereka. Prisya lebih fokus memainkan game-nya, terlebih sebentar lagi timnya akan memenangkan pertandingan ini.
Cowok itu dengan seketika mengambil handphone Prisya. "Hei, kalau gue lagi ngomong dengerin. Jangan malah fokus sama game lo," ujar cowok itu sambil tersenyum ke arah prisya.
"Balikin handphone gue," ujar Prisya dengan nada yang cukup terdengaar datar.
"Gak, nanti kalau dibalikin lo gak akan mendengarkan gue yang lagi bicara. Sekarang kita ke Kantin yuk," ajak cowok yang bernama Fikri.
"Balikin handphone gue!" ketus Prisya. Di sini Prisya sudah kehabisan kesabarannya sebab barusan ia mendengar kalau hero yang semula ia mainkan sudah mati sebab tidak ada yang memainkannya.
Fikri memperhatikan Prisya dengan tatapan yang mengandung rasa suka di dalamnya. "Gak usah naik gitu dong nada bicaranya," ujar Fikri dengan nada yang begitu santai.
Fikri memang sering mengganggu anak-anak cewek, terlebih dirinya sudah kelas 12. Banyak siswi yang sudah menjadi sasarannya.
"Kalau lo mencari cewek yang bisa jadi sasaran kenakalan lo, gue bukan orangnya!" ketus Prisya.
Cowok itu melangkahkan kakinya dengan santai keluar dari kelas Prisya, tanpa mengembalikan handphone Prisya terlebih dahulu. Orang itu bersama dengan teman-temannya berjalan dengan santai keluar dari kelas ini.
"Handphone gue bangsat!" teriak Prisya dari pintu kelasnya sambil menatap punggung mereka bertiga yang sekarang tengah melangkah menjauh.
Dengan begitu santai sebuah tangan mengambil handphone yang ada di tangah Fikri yang membuat Fikri marah dan menatap orang yang ada di hadapannya dengan tatapan yang begitu tajam.
"Kembalikan handphone gue!" seru Fikri sambil menatap orang itu dengan tatapan yang penuh dengan keseriusan.
"Maksud lo handphone dia?" tanya Marsell dengan nada yang begitu santai sambil menunjuk ke arah Prisya menggunakan handphone milik Prisya. Marsell memperhatikan Fikri dengan tatapan yang datar, sangat berkebalikan dengan cara Fikri menatapnya.
"Gak usah ikut campur dengan urusan gue!" Fikri merasa begitu tidak suka dengan apa yang sudah Marsell perbuat.
Sebuah senyuman terukir di bibir Marsel. "Urusan lo? Kenapa harus melibatkan handphone orang lain?" tanya Marsell dengan nada yang sampai saat ini belum naik. Marsell masih berucap dengan nada yang begitu santai tanpa ada ekspresi takut sedikit pun di wajahnya.
"Berani ikut campur dengan urusan gue, maka lo cari masalah dengan gue!" Fikri semakin menaikkan nada bicaranya, karena memang dia sangat tidak suka kalau ada orang yang ikut campur dengan apa yang sudah dia lakukan.
"Bagi gue ini gak masalah," ujar Marsell dengan begitu enteng. Senyuman miring terukir di bibir Marsell sekarang.
Sepertinya Marsell akan menerima apa pun yang akan terjadi, karena memang dirinya yang sudah dengan sendiri ikut campur ke dalam hal ini.
Bukh
"Marsell?!"