Reka sampai saat ini masih fokus memperhatikan layar laptopnya dengan begitu fokus, dirinya menggeleng-gelengkan kepalanya merasa tidak percaya dengan video yang sedang dia perhatikan.
Beberapa waktu berlalu, Reka teringat akan sesuatu. Reka berjalan menuju ke arah kamar Prisya dengan langkah yang begitu santai. Reka terus berjalan sampai akhirnya berjalan menuju ke arah meja-meja yang ada di kamar Prisya.
Kali ini Reka berjalan dengan santai tanpa takut dirinya kepergok oleh sang pemilik kamar, karena apa? Karena sang pemilik kamar sekarang tengah berada di Sekolah dan waktu pulang juga masih cukup lama.
Tidak ada sebuah niatan yang aneh, apalagi niat untuk melakukan sesuatu kegiatan yang nantinya akan membuat Prisya rugi. Hanya ada sebuah tanda tanya yang ingin mendapatkan sebuah jawaban tanpa mengajukan pertanyaan.
Hal ini adalah salah satu cara yang bisa Reka lakukan, meski sebenarnya Reka sudah mempunyai sebuah faktor pendukung untuk langsung mempercayai akan pemikiran yang mendadak muncul dalam dirinya saat melihat sebuah rekaman CCTV beberapa hari yang lalu.
Dengan seketika Reka terdiam saat menemukan selembar foto yang ada di laci. Sebenarnya tidak satu lembar, karena masih ada 2 lembar lainnya yang berarti foto itu ada 3 lembar, hanya saja Reka sudah langsung terdiam saat melihat foto tersebut.
Reka menyisir rambutnya ke belakang menggunakan kedua tangannya bersamaan dengan dia yang menghirup napas dengan begitu dalam dan mengulangnya ke arah yang berlawanan sambil menghembuskan napasnya dengan begitu kasar.
Dari hal ini, terlihat kalau Reka begitu frustrasi dengan keadaan yang sudah dirinya ketahui. Benar-benar merasa tidak menyangka dengan hal ini, Reka terus saja menghembuskan napasnya dengan begitu kasar berharap kalau dirinya bisa membuang rasa tidak suka yang ada dalam dirinya.
"Kenapa harus seperti ini?"
Benar-benar bingung menghadapi kenyataan yang dia ketahui dan hal ini menjadi faktor pendukung dari apa yang semula sudah dia anggap benar, tapi masih ada sebuah harapan kalau hal itu bukan hal yang sebenarnya.
*****
"Kamu tidak usah bersikap seolah kamu lebih baik dari anak saya!" tekan Novita saat baru saja dia menghampiri Marsell yang tengah duduk dengan tenang dan akan menikmati sebuah minuman dingin yang baru saja dia ambil dari dalam kulkasnya.
Dengan begitu malas, Marsell menatap orang yang merupakan Mamah tirinya. "Gue memang lebih baik dari anak lo, karena anak lo itu mewarisi sikap dari lo yang tidak mungkin punya sikap yang baik." Marsell menjawab dengan nada yang begitu datar.
"Baik dari sisi mana? Bahkan saya sangat tidak ingin punya menantu seperti kamu, terlebih punya anak seperti kamu. Adanya saya di sini untuk Mas Doni, bukan karena adanya kamu. Hm, mungkin kalau sekarang adanya saya di sini untuk kekayaan Mas Doni."
Ternyata dua orang yang sekarang tengah berhadapan sama sekali tidak ada sebuah rasa suka satu sama lain, bahkan mereka begitu membenci satu sama lain dan sangat tidak menginginkan kehadiran mereka.
Saat di depan Papahnya Marsell, Novita memang bisa bersikap seolah dirinya adalah Ibu yang baik untuk Maarsell, tapi saat di belakang sama sekali dia tidak mempunyai perasaan seperti itu dan tidak akan terus-terusan berpura-pura seperti itu.
Di mana Novita, anak laki-laki yang begitu baik di pandangannya adalah anak kandung. Orang yang pada waktu itu sudah beradu mulut dengan Marsell, sampai kapan pun di mata Novita anaknya jauh lebih baik dari pada Marsell.
Rasanya hal ini cukup masuk akal, sebab anak laki-laki yang Novita bela adalah anak kandungnya. Anak yang merupakan darah dagingnya yang keluar dari rahimnya, tapi berbeda dengan Marsell.
Kalau di mata Doni, Marsell itu adalah anak kandungnya, tapi karena otak Doni sudah termakan omongan Novita dan sudah berulang kali melihat Marsell secara terang-terangan menyatakan bahwa dirinya tidak suka dan tidak akan menghormati Mamah tirinya, maka sejak itu juga Doni yang mengabaikan Marsell.
*****
Malam tiba, seperti biasa Marsell akan lebih memilih untuk pergi di Rumah mencari ketenangan di mana pun dia mendapatkannya. Tidak jarang jika Marsell lebih memilih untuk datang ke Bar saat suasana hatinya sedang tida karuan, tapi kalau otaknya sedang merasa cukup tenang dirinya akan memilih untuk pergi ke Basecamp.
Kali ini Marsell masih melajukan motornya tanpa tujuan. Pikirannya masih belum memberikan sebuah keputusan akan sebuah tempat yang nantinya dijadikan sebagai tujuan akhir dari perjalanan malamnya.
Pikirannya sedang kosong memikirkan hidupnya yang terasa hampa, terlebih saat dirinya teringat akan sosok seseorang yang begitu berarti dalam hidupnya, sehingga sekarang dia begitu meninggalkan sebuah kenangan yang mendalam di hati Marsell.
Drtt ckit!
Dengan seketika Marsell langsung menarik tuas rem depan serta menginjak rem belakangnya bersamaan dengan memainkan koplingnya. Pikiran Marsell yang kosong membuat dirinya merasa begitu terkejut saat ada sebuah mobil berwarna hitam yang berhenti tepat di depannya.
Beberapa saat memperhatikan mobil tersebut sambil menetralkan perasaannya, Marsell akhirnya merasa tidak asing dan mendadak teringat akan seseorang. Alasan yang membuat Marsell kaget bukan semata-mata karena orang itu berhenti tepat di depannya, tapi karena pikirannya sedang sangat kosong yang membuat dirinya merasa jauh lebih kaget lagi.
Seorang cowok bertubuh tinggi yang sekarang menggunakan hoodie warna hitam turun dari mobil yang membuat sebuah amarah dalam diri Marsell terpancing dan menjadi meninggi dengan seketika.
Dengan perasaan yang penuh amarah, Marsell melepas helm full face-nya dan langsung turun dari motor yang kemudian melangkahkan kaki menuju ke arah di mana cowok yang cukup dia kenali.
"Ada apa lagi lo sama gue? Sekarang mau apa?!" tanya Marsell dengan ekspresi yang langsung berubah penuh dengan kekesalan.
Kedua bola mata Marsell terus menatap cowok yang berada di hadapannya dengan tatapan yang begitu serius. Rasa tidak suka yang ada dalam diri Marsell terhadap cowok yang berada di hadapannya tidak bisa untuk dia sembunyikan dalam mimik yang tersenyum.
Sejuknya angin malam tidak terasa bagi Marsell, karena suasana hatinya sekarang tengah merasakan sebuah hawa panas sebab dirinya yang tengah merasakan yang namanya emosi.
"Gue cuma mau ngingetin sama lo untuk tidak masuk terlalu jauh ke dalam hidup gue," ujar cowok itu dengan menggunakan nada bicara yang cukup santai, tapi penuh dengan sebuah keseriusan yang ada.
Dengan seketika sebuah senyuman miring terukir di bibir Marsell, senyuman itu terlihat begitu jelas dan cukup untuk membuat Marsell menyadari kalau Marsell sekarang tengah merendahkannya dan sama sekali tidak menanggapi kalimat yang sudah dia ucapkan dengan serius.
"Lo tidak bisa melarang gue, bahkan gue akan terus berusaha untuk membuat hidup lo hancur berantakan. Gue tidak terima dengan semua yang sudah terjadi. Nyokap lo hadir dan membuat keluarga gue hancur, gue tidak akan diam saja dengan semua yang sudah terjadi."
Mendengar penjelasan ini membuat pikiran cowok itu menjadi sedikit gelisah, tapi dirinya malah bingung dengan sebuah hal. Ada sebuah tanda tanya yang begitu besar saat Marsell mengatakan tentang hancurnya keluarga dia saat kehadiran Mamahnya ke dalam sana.
Apa dia akan membalaskan hal ini melalui ...?
"Kenapa diam? Lo takut kalau gue sampai berhasil menghancurkan kehidupan lo?"