Brukh
Buku-buku yang semula tengah siswi bawa jatuh berserakan di lantai. Orang yang semula membawa buku tersebut menaikkan pandangannya dan memperhatikan cewek yang sekarang tengah menatap iba buku-buku yang sudah jatuh berantakan, tapi tidak ada sebuah rasa ingin mengambil buku-buku tersebut saat melihat siapa orang yang semula sudah membawa buku tersebut.
"Lo sengaja nabrak gue?!" tanya orang itu dengan menggunakan nada yang begitu tinggi. Amarahnya langsung memuncak sekarang terlebih melihat bagaimana ekspresi tidak berdosa yang sudah Prisya tunjukkan sekarang.
"Sebenarnya gue gak sengaja nabrak lo, tapi kalau lo mau nganggap gue sengaja juga gak masalah." Prisya berucap dengan nada yang begitu enteng, sambil menatap rendah Nayla.
Benar-benar semenjak kejadian di mana dirinya tahu kalau Nayla adalah saudara tirinya, Prisya hanya akan memilih untuk terus mengikuti permainan Nayla, bahkan semakin ke sini Prisya bisa lebih mudah untuk tersinggung saat dirinya berhadapan dengan Nayla.
Kedua bola mata Nayla menajam. "Ambil buku-buku gue!" Dengan penuh penekanan, Nayla berucap dan menyuruh Prisya untuk mengambil buku yang semula dia bawa yang sekarang sudah jatuh berserakan di lantai.
Dengan seketika Prisya mengukirkan senyumannya yang terlihat begitu miring. "Gue bukan babu lo!" Kalimat ini berisikan sebuah penolakan yang Prisya berikan pada Nayla dengan cukup jelas.
Semakin ke sini Nayla semakin merasakan yang namanya emosi. "Tapi lo adalah orang yang sudah membuat buku-buku gue berserakan kayak gini. Jadi, lo adalah orang yang harus bertanggung jawaban dengan semua ini!" Sama sekali tidak menurunkan nada bicaranya, Nayla masih terus berharap kalau Prisya mau menuruti apa yang sudah dirinya ucapkan.
"Gue gak akan mengambil buku-buku lo. Cukup Nyokap lo yang bisa mengendalikan Bokap gue, tapi gue tidak akan bisa dikendalikan oleh lo!" tekan Prisya. Sekarang Prisya sudah semakin terlihat kalau dirinya tengah merasakan sebuah emosi yang begitu tinggi.
Memang Prisya akan bisa dengan mudah emosi saat ada sesuatu hal yang di ujungnya menyangkut tentang keluarganya dan saat melihat Nayla, bayangan kejadian yang sudah dirinya lihat antara apa yang sudah Papahnya lakukan bersama dengan orang yang ternyata adalah Ibu dari Nayla kembali terputar di dalam otaknya.
Hal ini sebenarnya hanya menjadi faktor pendukung dari ketidak sukaan Prisya pada Nayla, karena faktor utamanya adalah kejadian di mana Nayla yang membuli dirinya. Namun, faktor pendukung tersebut malah menjadi pendukung terkuat untuk dirinya semakin membenci Nayla.
Prisya pendendam ya?
Sangat.
Prisya orangnya memang pendendam, apa saja yang sudah masuk ke dalam hatinya dan dia rasa begitu menyakitkan hatinya, maka Prisya akan memperoses ingatannya untuk tidak bisa dengan mudah melupakan orang tersebut dan rasanya ingin terus membalaskan kebencian yang ada dalam dirinya yang entah kapan selesainya.
Memang akan jauh lebih baik jika kita menjadi orang pemaaf, tapi tidak semua orang bisa dengan mudah melupakan sesuatu hal yang dirasa begitu menyisakan sebuah duka yang begitu mendalam di hati dan ini adalah hal yang menjadi faktor utama kenapa seseorang menjadi pendendam.
Seorang pendendam ada karena sebuah luka yang begitu dalam masih terpendam di dalam dada dan terus dengan sengaja atau pun tidak terus berputar diotak disertai dengan sebuah keinginan untuk membuat orang tersebut merasakan apa yang sudah mereka lakukan.
"Lo gak perlu bawa-bawa Nyokap gue di dalam pembahasan antara gue dan juga lo!" bentak Nayla yang merasa begitu tidak suka saat Prisya melibatkan orang tuanya ke dalam pembahasan mereka, apalagi Prisya begitu merendahkan orang yang sudah membuat dirinya ada di dunia.
Benar-benar merasa tidak bersalah dengan apa yang sudah dirinya lakukan, Prisya dengan begitu santai mengukirkan senyumannya. "Kenapa? Lo tersinggung saat gue berkata tentang Nyokap lo? Lo tersinggung atau lo merasa malu dengan perbuatan Nyokap lo?" tanya Prisya sambil terus tersenyum miring.
Napas yang terhembus sekarang begitu kencang, Nayla semakin merasa tidak terima dengan apa yang sudah Prisya ucapkan. "Gue gak malu, karena gue gak ngerasa kalau apa yang sudah Nyokap gue lakukan itu salah. Orang yang salah adalah Bokap lo, seharusnya lo yang malu punya Bokap kayak dia!"
"Lo anak IPA bukan?" tanya Prisya sambil terus memperhatikan Nayla dengan tatapan yang santai, tapi malah terkesan merendahkan.
Merasa begitu bingung dengan alasan yang membuat Prisya menanyakan hal ini, tapi memang dirinya adalah anak IPA, akhirnya Nayla menganggukkan kepalanya. "Iya, memangnya kenapa?" tanya Nayla yang benar-benar merasa tidak mengerti kenapa alasan Prisya malah menanyakan apakah dirinya anak IPA, padahal sebelumnya sedang membahas tentang orang tua mereka.
"Gue rasa di kelas IPA sudah lebih jauh membahas tentang reproduksi atau tentang bagaimana melakukan hubungan intim? Apakah lo gak tahu kalau melakukan sebuah hubungan intim itu terdiri dari dua alat kelamin?"
Prisya merasa begitu yakin dengan hal ini, makanya dia berani menanyakan hal ini pada Nayla secara langsung. Sebenarnya kalimat ini adalah kalimat yang membalas apa yang sudah Nayla ucapkan di mana Nayla mengatakan kalau orang tuanya tidak salah dan yang salah hanya Papahnya Prisya saja.
Kalimat yang tadi Prisya ucapkan terbilang terlalu vulgar, tapi bagi Prisya kalimat itu sudah jauh lebih baik, dibandingkan dengan kalimat yang semula berada dalam pikirannya. Di mana kalimat itu jauh lebih vulgar lagi.
Nayla terdiam sambil memikirkan kalimat yang sudah Prisya ucapkan. Apa yang sudah Prisya ucapkan memang benar dan rasanya begitu sulit untuk dirinya mengelak dari hal itu, sehingga sekarang dirinya merasa bingung bagaimana melanjutkan kalimatnya.
"Sayang, lagi apa di sini?" tanya seseorang dari arah belakang yang membuat Nayla dan juga Prisya melirik ke arah suara itu berasal.
Melihat siapa yang datang, membuat Prisya memutar bola matanya malas. Prisya merasa begitu malas saat sekarang orang yang berstatus sebagai pacarnya Nayla datang, karena Prisya sudah bisa menebak kalau orang tersebut akan membela Nayla. Hal ini cukup jelas, karena Nayla adalah pacarnya.
"Nih, buku yang aku bawa jatoh semua dan hal ini gara-gara dia!" adu Nayla sambil menunjuk ke arah Prisya dengan tatapan yang begitu tajam.
James menatap Prisya dengan tatapan yang begitu kesal dan tidak suka dengan apa yang sudah Prisya lakukan pada pacarnya. Hal ini cukup terasa wajar saja, saat ada cowok yang tidak terima terhadap suatu hal yang dilakukan pada pacarnya. Namun, hal ini berbeda.
Bedanya apa?
Bedanya entah siapa yang salah dan entah siapa yang benar, tapi James akan tetap membela Nayla. Cukup tidak adil bukan bagi orang yang sebenarnya adalah korban, tapi dirinya malah menjadi orang yang ditindas.
"Gue minta lo ambil buku-buku itu," ucap James dengan nada bicara yang santai.
Begitu santai James berucap, begitu santai pula Prisya menggelengkan kepalanya. "Gak, gue gak mau." Keputusan Prisya masih sama, yaitu tidak ingin mengambil buku tersebut.
Tatapan James berubah tajam. "Gue nyuruh lo untuk mengambil buku cewek gue!" seru James sambil terus menatap Prisya dengan begitu serius.
"Gue gak mau disuruh sama lo!" tolak Prisya dengan begitu tinggi.
"Sekali lagi, gue menyuruh lo untuk mengambil buku-buku cewek gue! Ambil sekarang juga!" seru James yang semakin menekan kalimatnya.
"Gak ada yang boleh nyuruh cewek gue!" larang seseorang yang membuat Prisya, Nayla, bahkan James melirik ke arah dari mana suara yang penuh dengan penekanan itu berasal.