Julio Sullivan.
Bahkan Louisa masih ingat dengan jelas nama itu.
Sebuah keluarga baru yang pindah di lingkungan mereka memperkenalkan putra mereka yang berumur tujuh tahun pada semua orang. Tidak memerlukan waktu lama untuk membuat keluarga itu terkenal di komplek Cheviot Hills. Tentu karena kebaikaan dan keramahan mereka. Lalu tentu saja yang paling menarik perhatian adalah putra semata wayang mereka.
"Halo... Saya Julio Sullivan." Suara lembut anak itu saat memperkenalkan diri bersama kedua orang tuanya ke rumah Louisa, terdengar dewasa dan berani.
Louisa sama sekali tak tertarik saat itu.
Tapi, Louisa tahu Julio yang juga di kenal duluĀ sebagai anak laki-laki yang membuat semua orang terpesona. Dengan wajahnya yang tampan dan manis, sifatnya yang lembut, dan seorang putra yang penurut dan cerdas. Kesempurnaan seorang anak yang diimpikan dan diinginkan semua orang tua.
Anak-anak yang pertama kali mulai tertarik dan mulai akrab dengan anak laki-laki itu perlahan mulai menjauh dan diam-diam membencinya. Tentu saja karena bahkan para orang tua di tempat itu mulai membanding-bandingkan putra-putri mereka sendiri pada anak laki-laki itu.
Kesempurnaan yang membuat orang-orang iri dan cemburu itu membuat Julio menjadi anak yang dijauhi dikalangan anak-anak di lingkungan itu. Louisa tak terlalu peduli saat itu, terlebih dengan sifatnya yang apatis dengan lingkungan itu. Di umurnya yang bahkan baru sembilan tahun dia lebih memilih bermain bersama Gerald dan sama sekali tak tertarik dengan anak-anak lain termasuk pada Julio.
Hingga pada suatu sore saat dia berjalan pulang dari les rutinnya, saat Louisa tanpa sengaja melihat perisakkan di taman bermain kompleknya.
"Bocah menyebalkan! Diam saja di rumahmu, dan jangan pernah keluar!"
"Kembali ke tempat asalmu!"
"Aku muak melihat wajahmu di sini. Kamu dan keluarga munafikmu menghalangi pemandangan, tahu!"
"Pergi dari sini!"
Awalnya dia tidak peduli dan ingin cepat-cepat pulang ke rumahnya dan bermain dengan kakaknya seperti biasanya.
"Itu! Hentikan bocah perempuan itu!"
Namun, salah seorang perisak itu melihatnya dan tanpa alasan ingin menyerangnya juga dengan alasan mereka takut Louisa akan memberitahu orang dewasa. Itu konyol. Pikirnya saat itu. Dia bahkan tak peduli sama sekali.
"Helow... Louisa Hervey apa kau masih di sini?" Sebuah telapak tangan bergerak di depan wajahnya.
Louisa berkedip. Kembali ke realitas. Pikirannya tadi terdistorsi ke masa lalu. Gadis itu menatap Yasmin, sahabatnya, yang ternyata telah duduk di kursi depannya dengan bingung. "Ha?"
"Sumpah kamu kenapa, sih, sejak masuk kelas wajahmu seperti zombie begitu," ujar Yasmin sambil mengernyitkan alisnya. Ya, biasanya gadis itu bahkan akan tersenyum lebar dan ramah ketika seseorang menyapanya.
Louisa Hervey yang dikenal sebagai anak baik dan teladan di sekolah itu. Namun, pagi ini bahkan saat Yasmin menyapanya Louisa terlihat seperti orang lain. Wajahnya yang tak tersenyum terlihat mengintimidasi, sama seperti pertama kali Yasmin melihat wajahnya itu untuk pertama kali. Yasmin ingat, dia sempat menganggap Louisa itu hanyalah gadis sombong yang terlahir dari keluarga kaya.
Setelah mengenalnya sejak SMP akhirnya dia mulai peka dan mengetahui berbagai emosi di balik wajah tanpa senyum Louisa, dan kali ini gadis itu terlihat seperti orang linglung. "Kamu bahkan terlambat. Biasanya, kan, jam 7 kamu bahkan sudah duduk dengan tertib dan belajar di meja itu."
"Aku, kan, selalu terlambat. Apa yang salah dengan itu."
"Hei! Kamu kehilangan kewarasan, ya? Kamu bilang terlambat? Kamu setiap hari sudah duduk di situ jam 7 bahkan sebelum ketua kelas datang, dan kamu bilang terlambat. Memang biasanya kamu terlambat jam berapa?" tanya Yasmin tak habis pikir.
"Jam 6," jawab Louisa menghela nafasnya. Bahkan Gerald selalu berangkat tiga puluh menit lebih awal.
Keluarga Hervey selalu mengajarkan bangun pagi dan belajar di pagi hari bagus untuk otak. Tapi, Louisa adalah yang paling sering bangun terlambat.
Yasmin tahu keluarga Hervey itu benar-benar tegas mendidik putra-putrinya. Tapi, bukankah ini luar biasa!?
Ya, anggap saja gadis paling disiplin di kelas itu memang benar-benar terlambat sekarang. Bagaiman mungkin Yasmin tak menaruh perhatian, bahkan seluruh penghuni kelas juga ingin tahu. "Baiklah anggap saja begitu. Jadi, kenapa kali ini kamu benar-benar terlambat? Dan dengan wajah begitu?"
"Aku dikejar anjing." Jawaban yang sama sekali tak Louisa pikirkan. Tapi, tidak mungkin Louisa mengatakan kalau dia bertemu dengan pemuda dari masa lalunya yang benar-benar ingin dia hindari.
"Apa?" Yasmin tak salah dengar, kan? Gadis itu langsung terbahak keras, tidak ada anggun-anggunnya sama sekali. Tawanya bahkan menarik perhatian anak-anak di kelas itu.
Louisa berusaha ikut tersenyum.
Tetapi, Yasmin menghentikan tawanya tiba-tiba, dia menatap Louisa dengan tajam. "Kamu bercanda? Kamu kira aku akan percaya? Louisa Hervey aku sudah mengenalmu lebih dari 4 tahun, oke? Kamu bahkan sama sekali tidak takut dengan anjing. Kamu pencinta binatang, ingat?"
"Iya... Tapi, yang tadi memang anjing itu tiba-tiba mengejarku."
"Tidak masuk akal." Yasmin berdecak. "Dan lagi, kalau kamu memang benar-benar dikejar anjing seharusnya kamu tidak terlambat ke sekolah."
"Ah, kalau soal itu--"
"Hei, hei, sudah tidak apa-apa, kalau kamu nggak mau memberitahuku." Yasmin tersenyum. "Aku cuman mencemaskanmu, oke? Kalau ada sesuatu yang ingin kamu ceritakan dan kamu siap menceritakannya aku siap menjadi tong sampahmu."
Yasmin bisa apa. Louisa terlihat sangat kesusahan mencari-cari alasan. Mungkin ini hal pribadi. Yasmin tersadar, dia harus mulai menghilangkan sifatnya yang serba ingin tahu. Dia benar-benar sahabat yang buruk kalau dia memaksanya terus.
"Oke," ujar Louisa lega.
Terkadang Yasmin benar-benar seperti detektif. Tak heran gadis itu dikenal sebagai sumber informasi paling akurat di sekolah. Caranya mengorek informasi benar-benar membuat orang-orang mati kutu.
*
Pukul 7 lebih 45 menit, bel masuk kelas berbunyi.
Tak seperti biasanya. Tiba-tiba Wali Kelas 11-1 memasuki kelasnya. "Semuanya duduk di kursi masing-masing."
"Hei, sekarang hari apa?"
"Rabu."
"Lalu kenapa Pak Carter masuk?"
"Mungkin ada berita darurat."
Seperti siswa-siswi lain yang kebingungan. Louisa dan Yasmin juga ingin tahu. Biasanya wali kelas akan datang di akhir jam sekolah dan itupun setiap hari jum'at untuk memberikan bimbingan pada anak-anak murid kelasnya.
Lalu kebingungan mereka seakan terjawab setelah beberapa detik setelahnya seorang pemuda berjalan mengikutinya lalu berdiri di samping Pak Carter di depan papan tulis. Membuat suasana kelas semakin heboh. Terlebih anak-anak perempuan di kelas itu.
"Murid baru?"
"Anjir, ganteng banget."
Dan kehebohan lain yang di buat anak-anak perempuan yang bahkan akan membuat telinga anak-anak laki-laki di kelas itu berdarah dan membuat muntah.
"Kalian bisa tenang, sekarang?"
Kehebohan merendah. Lalu hening. Murid kelas itu tentu tahu apa yang akan terjadi selanjutnya kalau tak mendengarkan Wali Kelas itu.
"Hari ini kelas kalian kedatangan murid baru..."
Suara Pak Carter mengambang di telinga Louisa. Bahkan ketika anak murid baru itu terlihat berbicara dengan senyumnya yang misterius, dan pandangan matanya yang tak lepas dari Louisa. Tiba-tiba detak jantungnya mulai lebih cepat.
Louisa menundukkan kepalanya. Menatap kedua tangganya yang bergetar di atas meja.
Bagaimana bisa?
Bagaimana bisa?
Bagaimana bisa?
Pertanyaan itu berdengung di pikirannya. Louisa menggigit bibirnya dengan gugup.
"Louisa! Louisa!" Seseorang menepuk-nepuk pipinya.
Louisa mendongak, menatap Yasmin yang menatapnya cemas dengan berkabut. Louisa akan menangis.
"Kamu kenapa?" Yasmin menempelkan telapak tangannya pada dahi gadis itu. "Kamu sakit? Ya ampun, wajahmu pucat banget?"
Louisa menggelengkan kepalanya. Dia mengusap wajahnya.
"Tapi, kamu sampai keringetan begini. Ayo aku antar kamu ke klinik."
"Aku nggak pa-pa, Yasmin." Louisa melirik ke depan.
Anak laki-laki itu masih berdiri di depan kelas, dan pandangan itu masih tertuju padanya.
Perut Louisa seperti ditinju. Cairan asam naik ke mulutnya. Dia segera berdiri. Tak memperdulikan orang-orang di kelas itu yang menatapnya gadis itu segera berlari keluar dari kelas dan langsung mengeluarkan isi perutnya begitu sampai di toilet.