Seharian itu Louisa terbaring di atas ranjang klinik dengan tatapan kosong. Yasmin yang membawanya dan memaksanya untuk istirahat di sana, ternyata gadis itu ikut berlari mengejarnya waktu dia mengeluarkan isi perutnya di toilet pagi tadi. Tentu Yasmin mengira kalau Louisa benar-benar tak enak badan.
Yasmin sudah kembali ke kelas, itupun karena Louisa yang memaksanya. Kalau tidak, mungkin Yasmin akan ikut menemaninya di klinik itu hingga sekarang.
Louisa mendengar jam istirahat makan siang berbunyi. Dia sama sekali tak bisa istirahat. Bagaimana dia bisa istirahat kalau wajah itu selalu melintas di kepalanya saat dia hendak memejamkan matanya.
Suasana klinik terlihat sepi dan remang-remang. Di luar sana sedang turun hujan. Hanya ada Louisa di tempat itu sekarang. Penjaga klinik sepertinya absen hari ini, lagipula jarang sekali murid di sekolah itu betah berlama-lama di klinik. Rumor yang mengatakan tempat itu berhantu cukup membuat anak-anak menjauhi tempat itu dan hanya dengan terpaksa tinggal kalau benar-benar sakit.
Suara jarum jam menemani keheningan tempat itu. Hingga samar-samar terdengar suara langkah kaki terdengar mendekati pintu.
Louisa menahan nafasnya saat suara pintu klinik terdengar terbuka dan tertutup. Suara langkah kaki itu kembali terdengar, kali ini berjalan mendekati tirainya dan berhenti. Louisa sedikit mengangkat kepalanya, dia benar-benar tak salah dengar. Kilat cahaya putih menembus ruangan remang-remang itu memperlihatkan siluet sebuah sosok itu berdiri tepat di depan tirainya, Louisa bahkan melihat sepatu hitamnya dari balik bawah tirainya.
Louisa mengigit bibirnya gugup. Sosok itu masih berdiri di sana. Suara jarum jam kembali mengisi keheningan.
Mata Louisa kembali berkaca-kaca, dan nafasnya mulai terasa sesak.
Louisa menarik nafasnya sepelan mungkin.
"S-siapa di situ?" Setelah mengumpulkan keberaniannya akhirnya satu kalimat pertanyaan itu keluar dari mulut Louisa yang bergetar.
Hening.
Sebelum beberapa saat kemudian sebuah tawa tertahan terdengar. "Pfft."
Nafas Louisa langsung terhenti. Kedua netranya menatap nanar sosok di balik tirai itu.
Louisa menunggu. Kedua tanggannya terkepal erat. Hanya menunggu detik sebelum sosok itu membuka tirai dan menghampirinya. Namun, kedua kaki bersepatu hitam itu berbalik dan kembali melangkah kearah pintu. Terdengar pintu terbuka dan tertutup untuk yang kesekian kalinya.
Air mata Louisa tahan sejak awal akhirnya tumpah. Suara isak tangis mengisi ruangan itu.
*
"Ya Tuhan! Putriku... Warren, Warren, Putri kita sudah siuman."
Louisa samar-samar melihat seorang pria yang mendekati wanita yang sedang berdiri di sebelahnya. Wajah mereka terlihat jauh lebih muda dari yang Louisa ingat terakhir kali. Ayah dan bundanya tersenyum padanya.
Thalia tak henti-hentinya mengucap syukur. Sementara Warren, ayahnya, mengusap pipi Louisa dengan lembut dan sayang melalui telapak tangannya yang lebar. Semua rasa sakit di tubuhnya sejenak terasa sirna saat itu. Itu adalah pertama kali dalam hidupnya. Tentu Louisa senang, orang-orang yang dulu mengabaikannya kini menyayanginya. Akan tetapi, sesuatu yang lebih penting terasa mengganjal di pikirannya.
Beberapa saat kemudian beberapa orang berpakaian putih memasuki ruangannya, salah satu di antaranya, seorang pria mendekatinya dan memeriksa tubuh Louisa yang terbaring lemah itu. Lalu setelahnya berbicara sesuatu kepada ayah dan bundanya. Wajah mereka berubah, mereka terlihat berdebat.
"Bunda, bagaimana dengan Julio?"
Semua mata tertuju padanya. Termasuk Thalia dan Warren yang menatap putrinya itu dengan terkejut.
"Sayang..." Thalia perlahan mendekatinya. Lalu, menggengam tangannya dengan erat. Wajahnya terlihat menyesal. "Mereka membawanya pergi."
.
.
.
Louisa menatap Yasmin yang duduk di sebelahnya sambil menatapnya dengan cemas. Terlihat jelas dia menahan berbagai pertanyaan yang pasti ingin dia utarakan pada Louisa. Sangat berbeda dengan Yasmin yang biasa Louisa kenal, dan itu sedikit membuat Louisa lega, karena Louisa sama sekali tak punya alasan untuk membohonginya.
Louisa berusaha tersenyum lebih, mencoba menghilangkan kecemasan sahabatnya itu.
Sebelum jam istirahat makan siang usai beberapa menit lagi, Yasmin datang ke klinik membawakan nampan berisi makan siang dan segelas jus tomat untuknya.
"Maaf aku terlambat membawakanmu makan," ujar gadis itu menyesal.
Louisa menggelengkan kepalanya. "Jangan dipikirkan, aku baik-baik saja." Louisa bepikir dia seperti seorang peliharaan saja.
"Bagaimana aku tidak memikirkanmu? Kamu tiba-tiba berlari keluar kelas walau ada Wali Kelas super annoying kita itu dan kamu langsung muntah di toilet. Ahh! Sudahlah! lupakan apa yang aku ocehkan tadi! Cepat makan itu!" Yasmin mendengus keras, sebelum akhirnya bergumam dengan kesal. "Sialan, ini semua gara-gara bajingan Fontaine itu."
"Kamu bertengkar lagi dengan Alexander Fontaine?"
"Iya. Si Bajingan itu mencuri payungku--tunggu, ahhh sial! Kenapa kamu ingin aku membahas bajingan itu!?"
Louisa tersenyum, mengendikan bahunya. Kemudian meminum jus tomatnya.
Yasmin menghela nafasnya. "Kamu harus menghabiskan ini. Perutmu harus diisi, oke?
"Iya, iya." Louisa mengangguk. Sebenarnya Louisa sama sekali tidak lapar. Setelah kejadian seharian ini napsu makannya benar-benar hilang.
Yasmin menatap wajah Louisa sejenak. Terlihat sembab. Yasmin yakin gadis itu habis menangis. Namun, dia tak berani bertanya. Dia membiarkan gadis itu memakan makan siangnya dengan tenang.
Tak beberapa lama kemudian bel masuk kelas berbunyi. Membuat Yasmin mendesah kesal. "Ahhh sialll!"
Louisa terkekeh.
Yasmin berdiri lalu meregangkan otot tangannya.
"Baiklah... Aku kembali ke kelas dulu. Kalau ada sesuatu yang kamu butuhkan, kamu harus langsung telepon aku." Yasmin tersenyum lebar. Sebelum menatapnya tajam. "Akan aku pastikan, aku akan benar-benar memperhatikan pelajaran dan menulis materi untukmu. Jadi, jangan cemaskan apapun. Kamu istirahat saja, oke?"
"Tidak perlu. Aku akan kembali ke kelas bersamamu."
"Iya. Tunggu... apa!?"
"Aku mau kembali ke kelas. Kurasa aku sudah merasa baikan."
"Hei, hei, hei! Kamu harus istirahat sampai benar-benar sehat!" seru Yasmin. Dia segera menahan Louisa yang akan beranjak dari ranjangnya.
"Tapi, aku sudah benar-benar sehat."
"Wajahmu masih jelek begitu."
Louisa memutar bola matanya. "Terserah... Aku mau kembali ke kelas." Dia turun dari ranjangnya lalu membasuh nampan dan gelasnya di wastafel klinik.
"Setidaknya kamu harus merapikan rambutmu dan sedikit memakai makeup, oke?"
Louisa mengabaikannya. Dia berjalan cepat menuju ke kelasnya.
"Ya ampun masa kamu mau ke kelas seperti pasien rumah sakit begini. Louisa, setidaknya kamu harus memberikan kesan keduamu dengan baik ketika anak baru itu melihatmu."
Louisa menghentikan langkahnya sejenak sebelum berjalan kembali.
Louisa benar-benar ingin melupakannya demi apapun dia juga ingin tetap berada di klinik sampai pulang dan setelahnya dia akan mengunci dirinya di kamar rumahnya. Namun, setelah itu apa? Dia tak mungkin terus-menerus menghidar, kan? Pada akhirnya dia akan tetap bertemu dengan Julio Sullivan.
Tidak usah dipikirkan Louisa Hervey! Pikirnya. Louisa hanya perlu bersikap apatis seperti dulu pada pemuda.
Louisa merasa seluruh pasang mata di kelas itu langsung menatapnya begitu dia memasuki kelas. Namun, dia berusaha tak memperdulikannya. Louisa terus berjalan menuju tempat duduknya dan hanya sedikit tersenyum pada beberapa anak yang menanyakan keadaannya.
Louisa duduk dengan tenang.
Yasmin mengusir anak-anak yang mulai mengerubungi meja Louisa dan menanyakan keadaannya. "Hei, sudah, sudah, biarkan pasien ini sendiri, oke? Kalian jangan membuatnya kembali pusing dengan pertanyaan tak penting kalian. Kalian..."
Suara Yasmin terhenti. Kesiap terdengar di sekelilingnya.
Louisa mendongakkan kepalanya. Sebuah senyum ramah menyambutnya dengan hangat.
"Kamu sudah merasa baikan, Louisa?"
Jantung Louisa berdetak lebih cepat. Tanpa dia sadari dahinya mengernyit tajam.
Sebuah kotak yang sangat Louisa kenal di letakkannya di atas mejanya. "Aku hanya ingin mengembalikan ini. Kamu menjatuhkannya di depan rumahku tadi pagi."
Tubuh Louisa tegang. Dia menatap pemuda di hadapannya itu.
"Astaga, Louisa, kamu sudah mengenal Julius?" tanya Yasmin heboh. Lalu menatap pemuda di hadapan Louisa. "Ah, iya tadi pagi kamu mengatakkan tinggal di Cheviot Hills."
"Julius?" Apa Louisa tak salah dengar?
"Iya, Julius Sullivan."
Louisa memandang pemuda itu tak mengerti. Louisa tak tahu apa yang dipikirkan pemuda itu. Kembali ke kehidupanya, dan mengganti namanya. Louisa memiliki perasaannya buruk tentang semua ini. Apalagi setelah melihat senyum itu. Pemuda itu terlihat sangat menikmatinya. Bermain-main dengan Louisa.
"Oh, ayolah kamu jangan pura-pura tak mengenalnya." Yasmin kembali menatap Louisa ingin tahu. Terlebih perhatiannya kini tertuju pada kotak berisi kue brownies di meja Louisa. "Apa-apaan ini? Lihat, kamu bahkan memberikan kue padanya. Apa hubungan kalian sebenarnya?"
Hening.
Semua orang di tempat itu seakan sepemikiran dan akan menanyakan hal yang sama seperti Yasmin pada Louisa dan mereka benar-benar menunggu jawabannya.
Pemuda itu tersenyum lebih lebar, memperlihatkan lesung di pipi kirinya. Dia akan membuka mulutnya.-- "Kami--"
"Kami teman sejak kecil." --Namun, Louisa dengan cepat memotong kalimat yang akan diucapkannya.
"Ya Tuhan! Hubungan kalian bahkan lebih dekat dari yang aku kira! Kalian mendengarnya, kan, teman-teman?"
Orang-orang di kelas semakin penasaran. Mereka mengerungi Louisa dan mulai bertanya ingin tahu.
"Pfft."
Louisa mengepalkan jemari tangannya yang bergetar di bawah meja. Dia memandang pemuda yang entah bernama Julio atau Julius Sullivan itu dengan matanya yang memerah dengan kebencian dan rasa takut.