Chereads / JULIO / Chapter 4 - perfect family portrait

Chapter 4 - perfect family portrait

Louisa mungkin tak mengenal keluarga Sullivan itu dengan baik, terlebih dengan sifatnya yang apatis dan keluarga Hervey yang juga lebih sibuk untuk memikirkan urusannya sendiri. Akan tetapi, masih tergambar jelas dalam ingatannya saat pertama kali bertemu, Nyonya dan Tuan Sullivan adalah pasangan paling mempesona dan harmonis yang pernah Louisa lihat. Ya, keluarga Sullivan merupakan sebuah keluarga yang sempurna.

Kepala keluarga mereka, Tuan Sullivan, pria dengan mata amber yang indah. Dia mungkin adalah lelaki paling tampan yang pernah Louisa temui. Sifatnya yang ramah dan bersahabat akan membuat orang kagum walau hanya dalam sekali melihat kebaikannya.

Dan Nyonya Sullivan, Louisa tak terlalu ingat bagaimana rupa wanita berambut pirang itu. Akan tetapi, senyuman manisnya dan keanggunannya dalam bertutur kata Louisa akan mengira dia terlahir sebagai putri dari sebuah keluarga bangsawan. Nyonya Sullivan yang religius bagaikan Bunda Maria bagi Louisa.

Lalu yang terakhir adalah putra semata wayang mereka, Julio Sullivan. Anak laki-laki beruntung yang terlahir dan memiliki kesempurnaan dari kedua orang tuanya.

Setidaknya itulah yang pertama Louisa pikirkan dengan melihat secara kasat mata pada keluarga Sullivan dan mungkin begitu pula dengan orang-orang. Namun, Louisa tahu pada kenyataannya semua kebaikan dan ketulusannya itu hanyalah topeng. Kini sudah hampir dua tahun sejak kepindahan keluarga itu dan dua tahun mereka bermukim di Cheviot Hills. Louisa tak tahu apa yang dipikirkan oleh orang-orang tentang keluarga itu sekarang. Akan tetapi yang jelas sekarang Louisa tahu bahwa keluarga mereka tak sesempurna kelihatannya.

Semua itu berawal saat malam itu. Gerald, kakaknya, teman bermainnya mengajaknya meneropong bintang di langit menggunakan teleskop yang baru saja dijanjikan ayah mereka. Malam itu mereka pergi ke atap rumah dan memasang teleskop itu. Gerald sama sekali tak terlihat kesulitan memasang dan merangkai semua benda asing itu bahkan sambil menjelaskan fungsi-fungsinya pada Louisa. Louisa tahu kakaknya memang sangat tertarik dengan berbagai hal berbau astronomi dan ini sangat hebat.

"Lihat, itu yang disebut sabuk orion," tunjuk Gerald pada langit yang memperlihatkan tiga bintang paling terang yang berjajar di langit. Dipegangnya teleskop yang telah dirangkainya itu dengan bangga. "Dengan alat ini, kita biasa melihat bintang-bintang itu dengan lebih jelas."

"Keren!" Louisa bertepuk tangan. Dia benar-benar ingin segera melihatnya.

"Iya, 'kan?" Gerald tersenyum lebar. "Sini, akan kutujukkan bagaimana cara melihatnya."

Geraldpun mengajarkan Louisa untuk melihatnya sambil menjelaskan makna dan legenda mitologi bintang. Gerald sedang mengatur posisi lensa ketika Louisa yang terlalu bersemangat membuat penyangga teleskopnya oleng dan hampir rubuh. Membuat tabung itu bergeser dan melihat ke arah lainnya.

"Hei, hei, pelan-pelan saja!" Gerald dengan sigap memegangnya.

Namun, dari lensa teleskop itu perhatian Louisa tertuju pada sosok anak laki-laki yang sedang berjongkok di sekitar semak-semak. Jelas-jelas itu di depan rumah keluarga Sullivan, dan anak itu adalah putra mereka, Julio Sullivan.

"Kak Gerald, bukannya itu Julio?" Louisa menoleh pada kakaknya.

"Ha?"

"Itu." Louisa menunjuk halaman samping depan rumah keluarga Sullivan, terlihat tidak terlalu jelas karena keremangan malam. Louisa menatap lensa lagi. Ini benar-benar luar biasa dia bisa melihatnya lebih dekat. Louisa mengira teleskop hanya bisa untuk melihat bintang.

"Hei, Louisa Hervey, alat ini ilegal untuk memata-matai orang terlebih tetangga."

"Sebentar, Kak. Aku hanya ingin tahu apa yang sedang dilakukan anak itu malam-malam begini," ujar Louisa ingin tahu. "Kak, bisa atur supaya aku bisa melihatnya dengan lebih dekat?"

Louisa hanya bisa melihat kepala anak itu.

"Sejak kapan kamu tertarik sama bocah Sullivan itu?"

Louisa menggeleng. Dia hanya benar-benar iseng. "Please..."

Gerald mendesah, dia tak bisa menolak keinginan adik kecilnya. "Baiklah, baiklah. Aku akan membiarkanmu karena ini pertama kalinya kamu melihat dengan teleskop."

Louisa tersenyum lebar.

Gerald mengatur fokus lensa sementara Louisa yang melihatnya.

"Bagaimana?"

"Tunggu, agak lebih jauh lagi. Nah, iya, disitu, sudah."

Louisa melihat Julio sedang bermain dengan seekor anak anjing. Oh, rupanya suara berisik anak anjing sejak kemarin itu milik anak anjing Julio.

"Teleskop itu harusnya untuk melihat bintang. Padahal cuaca sedang bagus begini."

Gumaman Gerald di belakang Louisa tak bisa memecahkan fokusnya pada apa yang Louisa lihat. Louisa mengernyitkan alisnya kala melihat Julio memegang sebuah benda mengkilat oleh cahaya rembulan. Tunggu... apakah itu sebuah pisau?

Julio memegang anak anjingnya. Dia terlihat mengelus rambut-rambutnya yang berwarna cokelat terang.

Detak jantung Louisa berdetak lebih cepat. Anak laki-laki itu terlihat membuka mulutnya, berbicara sesuatu. Lalu, beberapa detik setelahnya, nafas Louisa tertahan.

Pisau itu terangkat, untuk kemudian melayang pada tubuh lucu makhluk itu. Terlihat makhluk itu menangis terkejut dan kesakitan, akan tetapi anak itu memegangi moncongnya untuk kembali menikamnya sekali lagi dengan wajahnya yang tanpa ekspresi. Louisa menutup mulutnya. Makhluk itu telah berhenti bergerak, darah dimana-mana.

"Hei, apa yang kamu lihat?" Gerald mengernyitkan alisnya melihat ekspresi ketakutan Louisa.

Gadis itu segera menjauhi teleskop. Masih dengan menutup mulutnya, Louisa terkesiap histeris. "Ya Tuhan... Dia membunuhnya! Anak itu membunuhnya!"

"Apa?" Gerald langsung melihat ke teleskopnya, lalu pemuda itupun langsung terkejut dengan apa yang dilihatnya. Tidak ada siapapun di halaman itu, akan tetapi terlihat ceceran gelap kemerahan di rerumputannya.

Gerald tak tahu apa yang terjadi. Namun, dia segera memeluk tubuh adik kecilnya yang menggigil dan terisak. "Louisa, hei, tenangkan dirimu... Apa yang terjadi? Apa yang kamu lihat?"

Louisa hanya ingin semua ini hanyalah mimpi. Namun, itu semua terlalu nyata.

"Anak itu membunuhnya. Anak itu membunuh anak anjingnya."

Setelah malam itu Louisa tahu kalau keluarga itu tak sesempurna kelihatannya. Salah satu anggota keluarga mereka, putra satu-satunya mereka, Julio Sullivan, merupakan seorang iblis.

Lalu, puncak dari semua konflik itu terjadi pada malam hari yang mendung itu. Tragedi yang tak akan pernah Louisa lupakan seumur hidupnya. Awal dari trauma yang menghantuinya selama ini.

Seharusnya Louisa mulai mewaspadai dan menjauhi keluarga mereka setelahnya.

"Dasar perempuan murahan! Hidupku jadi hancur semua karena kamu dan anak sialanmu ini!"

Gosip miring mulai berhembus di lingkungan itu. Akhir-akhir ini mereka mulai sering mendengar pertikaian dari rumah keluarga Sullivan.

Bisnis keluarga Sullivan bangkrut, mereka terlilit banyak hutang dan rumah mereka akan disita oleh bank, dan gosip lainya. Keluarga yang sempurna itu akhirnya menjadi cacat.

John Sullivan yang dikenal ramah oleh orang-orang di lingkungan itu telah sirna. Dia kini hanya seorang pria pemabuk yang selalu pulang larut malam untuk menyiksa istri dan putranya.

Seharusnya Louisa tak memperdulikan bagaimana suara pertikaian dan apapun yang terjadi pada keluarga itu setelahnya. Seperti yang biasanya dia lakulan. Namun, entah mengapa kedua kakinya bergerak ke arah rumah itu.

"Tolong, jangan sakiti putra kita! John, maafkan aku! John!"

Teriakan-teriakan rasa sakit, permohonan maaf, dan pukulan. Louisa entah mengapa membayangkan anak anjing itu. Dia ingin menyelamatkannya.

"Tolong! Siapapun tolong! John sadarlah!"

Louisa berlari.

Menggedor pintu rumah itu dengan keras. Dia berteriak memanggil dengan panik. "Nyonya Sullivan! Nyonya Sullivan! Anda baik-baik saja!"

"TOLONG!"

"PELACUR MATILAH!"

Teriakan Nyonya Sullivan terdengar melolong keras.

"Tolong! Bantu kami!" Louisa berteriak putus asa.

Aroma terbakar memenuhi udara.

Louisa menoleh ke sekitarnya tak ada seorangpun di lingkungan itu yang keluar rumahnya untuk menolong. Tentu saja Louisa tak bisa berharap banyak, karena sudah menjadi salah satu sifat dasar manusia. Mereka akan menjauhi masalah yang kemungkinan besar akan menyeret mereka. Lalu, orang-orang yang merasa senang ketika sesuatu yang tak bisa mereka miliki hancur.

Cheviot Hills kembali hening. Teriakkan Nyonya Sullivan terhenti. Begitupun jantung Louisa yang seperti berhenti berdetak sesaat.

Louisa segera berlari ke pintu samping rumahnya. Memutar kenop pintu, dan rupanya pintu itu tak terkunci. Louisa segera membukanya. Pintu terbuka lebar.

Asap langsung menyesak keluar dari dalam rumah.

Louisa tak bisa membuka mulutnya sama sekali. Detak jantungnya semakin cepat, nafasnya terasa sesak.

Di hadapannya, isi rumah itu terlihat sangat kacau. Api yang melebar mulai memakan isi di dalam rumah itu. Lalu, dari pandangan latar api yang membakar dan semua kekacauan itu fokus Louisa terpaku pada tubuh Charlotte Sullivan yang tergeletak di lantai, menatapnya dengan pandangan kosong. Raut kesakitan dan sedih itu entah mengapa bisa Louisa lihat di wajahnya yang meleleh.

Sementara itu, John Sullivan tergeletak di sampingnya dengan leher tergorok. Putra mereka Julio Sullivan berdiri dengan sepasang tangan berlumuran darah.