Chereads / Fons Cafe #2 / Chapter 28 - Episode 67

Chapter 28 - Episode 67

Gila.

David tidak dapat menghubungi Tyas hari ini. Seperti akses untuk menelepon Tyas sudah di blokir dari ponselnya, dan hal itu membuatnya jadi tidak waras.

"Berhentilah bertindak seperti orang tidak waras, Vid!"

"Tapi sekarang sudah jam tiga sore Kris! Bahkan Tyas belum mengangkat telepon dariku sama sekali!" balas David lagi yang makin bingung karenanya. "Ayolah, aku mohon angkat satu kali ini saja, Yas! Jangan buat diriku khawatir seperti ini!"

"Tev, kenapa bisa menjadi seperti ini?" Tanya Kris pada Tevin yang dari tadi sudah tak mengerti lagi dengan apa yang dilakukan oleh bosnya. "Apa ini semua kelakuan dari Obaasan?"

Tevin mengangkat dan menurunkan alisnya, sebagai tanda bahwa memang itulah kenyataannya. Desi yang melakukan ini semua agar kehidupan Tyas tidak tenang, setidaknya, agar Tyas merasakan apa yang harus menjadi sanksinya jika dia berurusan dengan keluarga Kajima. Terlebih, Desi sebagai Ibu kandung David yang sangat menyayangi putra bungsunya itu.

Hidup yang bising, dikelilingi oleh paparazzi yang menguntitnya kemanapun ia pergi. Hidup yang penuh dengan sinar kamera dimalam hari yang mendapati dirinya sedang melakukan suatu hal yang tak lazim, dan cenderung memicu kabar burung yang sebenarnya tak benar. Begitulah yang dilakukan oleh Desi atas ketidaksukaan dan ketidaksetujuannya atas hubungan yang David dan Tyas miliki saat ini.

"Bisa di bilang begitu. Bibi Desi pernah bilang akan meluncurkan perang kepada Tyas jika mereka tidak berpisah, dan tetap memilih untuk menikah."

"Ini parah."

-----

Dalam ruang yang sama, Tyas dan Desi duduk di atas sofa yang terpisah. Saling berhadapan, dengan kontak mata yang saling bertemu. Setelah minuman datang, Desi pun mulai untuk membicarakan apa yang sudah mengganjal di hatinya ini tanpa basa-basi.

"Sampai kapan kau mau bersama dengan anakku seperti ini?" Tanyanya dengan angkuh. "Kau tahu kalau Daimon memiliki dunia yang jauh berbeda dengan dunia yang kau miliki. Seperti pekerjaan, adat dan status sosial kalian berbeda sama sekali kau tahu?"

Tyas tidak gentar sama sekali. Sebaliknya, Tyas malah merasa kekuatannya berkumpul.

"Saya tidak akan mundur, kecuali David sendiri yang mengatakan akan mundur," jawab Tyas dengan tenang, "Mengenai dunia berbeda yang Bibi katakan, sebenarnya saya tidak pernah merasa bahwa hal itu merupakan penghalang. Sebaliknya, segala sesuatunya menjadi menyenangkan karena perbedaan yang kita berdua miliki."

"Dengan hidupmu yang penuh cercaan seperti di media saat ini, kau hanya akan menghancurkan karier Daimon yang dia mulai dengan susah payah."

"Karena David memulainya dengan susah payah--sendirian, tanpa dukungan dari keluarganya--saya yakin, dia pun bisa bangkit sendiri, dengan sendirinya. Tapi kali ini, ia tidak sendirian, karena David memiliki saya yang pasti akan selalu ada untuknya."

Desi mulai menampakkan senyumnya satu sudutnya.

"Dan bagaimana dengan pekerjaan bodohmu dengan menjadi pramugari?" Tanya Desi. "Aku tidak pernah menyukai pramugari karena mereka hanya bermain dengan para pilot atau siapapun yang mereka inginkan di dalam pesawat. Dan aku sangat membenci mereka."

Tyas mengernyitkan dahinya. "Maaf, tapi apa ada hal yang mendasari Bibi mengatakan hal yang seperti itu mengenai profesi seorang pramugari?"

Desi mengangguk. Dia menunjukkan sebuah foto seorang lelaki yang berfoto bersama dengan Yasuo, Fuuka dan David. Jika diperhatikan, lelaki itu memiliki wajah yang mirip sekali dengan David. Apa mungkin lelaki itu adalah saudaranya David juga?

Namun, tak perlu berpikir terlalu lama, jawabannya pun sudah sampai di telinga Tyas.

"Ryoshi. Dia kakak laki-laki Daimon, dua tahun lebih tua dari Daimon. Menjadi pilot diusia dua puluh tahun, dan memiliki karier yang bagus sekali dalam jam terbangnya yang masih baru. Ryoshi jatuh cinta dengan pramugari yang sering berada dalam jam terbangnya, dan mereka memutuskan untuk menikah. Tapi, saat Ryoshi sudah melamarnya, dia mendapati pramugari itu sedang tidur bersama dengan co-pilot yang selalu bersamanya.

"Singkat cerita, Ryoshi depresi. Dia meminum tiga puluh pil penenang, yang berakhir pada overdosis dan meninggal. Hasil autopsinya mengatakan dia meninggal karena overdosis obat-obatan dan mereka menemukan juga luka yang sayatan di tangan kirinya. Di duga, Ryoshi menyiksa dirinya dulu sebelum menelan pil-pil itu."

Tyas tak bergeming walaupun seperti mendengarkan cerita horor yang menyeramkan. Baginya, ini bukanlah hal yang patut dia takuti. Sebaliknya, memang sebagian dari teman-teman pramugarinya memiliki kehidupan yang seperti itu.

"Jadi, apa menurutmu itu menjadi alasan yang kuat bagiku untuk membenci pramugari?"

Tyas tersenyum tulus. "Ya. Aku sama sekali tidak pernah merasa terintimidasi jika Bibi atau orang lain bisa memiliki pikiran seperti itu terhadap profesiku. Aku pun menjadi pramugari karena aku berhenti dari pekerjaan lamaku sebagai jurnalis."

Desi mengernyitkan dahinya. "Jurnalis?"

Tyas mengangguk, masih tersenyum. "Aku adalah jurnalis politik sebelum menjadi pramugari. Jika Bibi menanyakan mengapa aku memutuskan berhenti, alasannya karena aku hampir di perkosa oleh salah satu atasanku. Dan, aku trauma untuk bekerja di dalam gedung sejak itu. Makanya aku memilih untuk membuat cita-cita masa kecilku menjadi nyata."

Desi kali ini tersenyum lebar. Tidak, itu bukanlah senyum yang mengintimidasi atau meremehkan, tapi senyuman lega. "Lalu apa kau akan tetap dengan pekerjaanmu yang sekarang jika kau menikah dengan Daimon?"

"Aku sudah menulis surat pengunduran diriku melalui e-mail yang ku kirim kepada Mosca Air," jelas Tyas. "Tapi sepertinya mereka tidak mengindahkan permintaanku untuk mengundurkan diri melalui e-mail. Jadi, aku putuskan untuk kembali ke Spanyol empat bulan lagi, tepat saat masa cutiku habis."

"Empat bulan lagi adalah pernikahanmu dengan Daimon."

"Aku tahu. Tapi, aku tidak mau jika belum berhenti bekerja menikah dengan David," jelas Tyas.

"Baiklah, bagaimana kalau kalian putus dulu untuk sementara. Lalu setelah kau pulang dari Spanyol dengan status pengangguran, aku akan memberikan restuku pada kalian berdua."

"Bibi serius?"

Kali ini, Tyas melihat Desi tertawa lepas. "Oh, ayolah! Daimon itu putraku! Dia sama-sama keras kepala sepertiku, jika ada diantara kami yang harus mengalah tentu saja akulah orang yang harus mengalah."

Tyas tersenyum senang.

"Daimon bersikeras ingin kuliah desain, tapi aku membuatnya harus kuliah hukum, sehingga akhirnya dia pindah jurusan sendiri. Aku ingin Daimon untuk kuliah ke Jepang, karena aku yakin dia mampu. Tapi, dia bilang untuk apa kuliah disana jika nantinya dia akan kembali lagi dan bekerja di Indonesia."

Tyas melongos karena tak percaya dia memilih lelaki yang keras kepala spert itu untuk dinikahinya kelak. "Bagaimanapun juga, aku yakin Bibi sangat bangga pada David bukan?"

"Tentu saja. Dia putra bungsuku yang paling mirip denganku, dan aku sangat patah hati ketika dia putuskan untuk keluar dari rumah, karena sudah berhasil membangun rumah impiannya sendiri yang serba putih seperti yang dia mau." Desi terpaku melihat foto David di dalam sebuah bingkai foto yang ada di tembok. Foto David mengenakan baju serba putih, di dalam ruangan yang serba putih. "Dari dulu, David hanya menyukai satu warna, yaitu putih. Bahkan kamarnya di rumah ini benar-benar putih seperti semua keinginannya."

"Benarkah?"

"Iya. Kau boleh melihatnya kalau mau."

Begitulah cara Tyas menghabiskan sisa sorenya hari ini bersama dengan Desi Kajima yang sudah menerimanya.

-----

"Vid," panggil Carlos yang melihat David sudah mabuk berat. "Astaga, kau bau alkohol sekali! Lihatlah, Yas, bagaimana calon suamimu ini mabuk-mabukkan seperti ini!"

David langsung membuka matanya saat mendengar bahwa disana ada Tyas.

"Tyas!!" serunya dari mulut yang penuh dengan bau alkohol. "Kau datang akhirnya..."

Tyas memandang David dengan tatapan seriusnya. "Vid..."

"Apa? Kenapa kau tidak menghubungiku seharian ini? Kau tak tahu betapa aku sangat menunggu agar kau datang, atau mengangkat teleponku?"

"Maaf. Tapi, aku harus kembali ke Spanyol."

David mematung.

"Aku ingin kita berpisah sementara."