"Ini baru jam satu siang, Vid," tegur Kris, "Kau kenapa harus buru-buru sekali kemari sih?"
Jadwal penerbangan David adalah pukul tiga sore lewat dua puluh menit. Sementara, saat ini masih jam 12.50, itu bearti masih dua lebih dari waktu keberangkatan.
"Ini karena aku takut terlambat, Kris!!"
Kris mengeluh kesal. "Hei, rumahmu dan Bandara itu hanya sejengkal, David! Kau harusnya tahu kalau dari rumahmu, kau hanya tinggal masuk tol bandara dan beres. Kau bisa sampai kesini dalam hitungan menit!!!"
"Kan aku sudah bilang, aku takut terlambat..."
Akhirnya, Kris menyerah. Kalau saja dia tidak mengingat Carlos, Alex, Tatsuya, dan Leo sedang bekerja di jam-jam seperti ini, pasti Kris sudah meninggalkan lelaki berperawakan aneh, seperti David. Menggunanaka kupluk, hoodie biru dan juga jins panjang. Ah, jangan lupakan kacamata hitamnya juga.
"Kau seperti orang-orangan villa tahu," gerutu Kris.
David malah tertawa. Mereka berdua sedang duduk di sebuah restoran cepat saji, terminal 2B, sambil menunggu jadwal keberangkatan David yang masih terlalu lama itu. Tevin datang tak lama kemudian, sambil memegang dua buah frappe di tangan kanannya, dan sebuah vanilla latte favoritnya di tangan kirinya.
"Ini pesanan kalian berdua!" serunya, "Aku harus sampai terminal 2E untuk mendapatkannya. Kalian berdua menyusahkan sekali!"
Tevin mau tak mau menemani Kris untuk menemani bosnya itu disini. Astaga, seandainya saja Tevin bisa memiliki pilihan lain, dia sebenarnya malas sekali untuk menunggu disini. "Ayolah, kalian tersenyum, jangan ngambek seperti itu... Pesanlah apapun yang kalian mau, oke?"
"Yang kami mau pulang, Pak," dengus Tevin kesal, "Ini harusnya hariku dan Selvin untuk main ke mangrove. Tapi, aku merelakannya karena mengingat kau adalah bosku, Vid."
David tersenyum.
Jam-jam membosankan mereka itu pun digunakan untuk makan, nyemil, dan minum frappe ataupun latte sepuasnya. Sampai akhirnya, David baru menyadari dia harus melatih kalimat yang sudah disusunnya itu untuk disampaikan pada Tyas. "Kalian mau melihat apa yang aku sudah siapkan untuk aku katakan kepada Tyas nanti, tidak?"
Kris dan Tevin sebenarnya tidak mau-mau amat. Tapi, daripada mematahkan semangat David?
Akhirnya, mereka pun melihatnya.
Tyas, aku memang salah untuk apa yang aku katakan kepadamu tempo hari. Aku mabuk, dan kehilangan kesadaranku. Tapi aku begitu karena aku mencintaimu! Aku ingin kau selalu ada untukku, dan kau selalu bersedia untuk membangunkanku dengan senyuman-senyumanmu, mendengar tawa renyahmu sepanjang sisa hidupku. Jadi, kumohon, jangan tinggalkan aku disini sendirian, dan pergi ke Spanyol. Aku... selalu mencintaimu Tyas. Selalu.
"Ah, bodoh! Perkataanmu itu terlalu... menjijikan!" protes Kris, "Ini bukanlah plot romantis yang akan aku tonton dalam serial drama maupun film romantis jenis apapun."
"Setuju."
David menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. "Lalu kalimat seperti apa yang harus katakan kepadanya?"
Kris berpikir sejenak, tapi Tevin lebih dahulu menjetikkan jarinya.
"Aku tahu!" seru Tevin, lalu menyuruh untuk David mendekat, dan mendengarkannya. "Menurutku kau seharusnya..."
-----
Pukul 14.20.
Para penumpang sudah dipersilakan untuk masuk ke dalam pesawatnya, walaupun jam penerbangan masih satu jam lagi. David pun tak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk masuk ke dalam pesawat dengan cepat. Ah, dia hampir melupakan visa, passport dan tiket pesawatnya saat akan masuk ke boarding room. Mungkin gugup, mungkin juga karena pikirannya kacau setelah di nasehati oleh Kris dan Tevin.
"Seharusnya kau mengatakan sesuatu yang dari hati, jujur, dan apa adanya. Tidak perlu menggunakan gombalan atau kata-kata manis."
Perkataan Tevin terngiang di telinga David.
"Betul. Kalau aku menjadi Tyas--secara, Tyas bukanlah perempuan bodoh--aku akan sangat muak melihatmu, setelah apa yang kau katakan kepadaku mengenai pekerjaanku, dan diriku sendiri terutama."
Penambahan pada kalimat yang Kris ucapkan membuatnya makin serba salah. Lama-lama nyali yang dia milikipun lenyap.
Selama setengah jam berada di dalam pesawat yang belum lepas landas itu, David terus mengepalkan tangannya, dan melihat satu per satu pramugara dan pramugari yang lalu lalang di hadapannya. Dia belum berhasil menemukan sosok perempuan yang dia inginkan itu. Sosok Tyas yang ditunggunya tak kunjung datang.
"Tyas! Over here!" seru salah satu pramugari dari belakang. David menoleh dengan cepat ke sumber suara itu.
Seorang perempuan, dengan seragam lengkap seperti rekan yang memanggilnya dari belakang berjalan dengan cepat, menggunakan hak tinggi. Tubuhnya lebih kurus dari yang diingat oleh David. Seragamnya begitu serasi di tubuhnya. Rambutnya di cepol habis ke belakang, dengan rapih. Inilah yang di carinya selama ini.
Langkah Tyas terhenti saat David berdiri dari kursi penumpang. "Tyas..."
Wajah Tyas pun menampilkan ekspresi terkejut. Dia pun mematung melihat David yang sudah di hindarinya selama beberapa bulan terakhir ini.
"Apa yang kau lakukan disini?"
"Aku... Aku..." Lidah David kelu. Ada banyak hal yang ingin disampaikannya, tapi semua itu tertahan di ujung lidahnya. Dia tidak mampu mengatakan apapun.
Tyas mengamati David, mimik wajahnya mulai berubah. Dia melihat David gugup, padahal selama ini lelaki itu selalu tampil percaya diri dengan senyum dan tawanya. "Kau ingin ke kamar kecil? Tempatnya ada di depan sana--"
"Aku mencintaimu."
Akhirnya David berhasil mengatakannya.
Sebentar. Bukan! Bukan itu yang seharusnya dia katakan. Seharusnya dia meminta maaf, dan menjelaskan apa yang terjadi. Bukannya mengatakan dia mencintai Tyas. Sekarang, Tyas malah menampilkan wajahnya yang bingung, dengan menaikkan sebelah alisnya.
"Aku disini untuk meminta maaf atas kejadian tempo hari. Aku sadar itu adalah kebodohanku dan aku tidak menyadarinya dari awal. Aku kesal, aku marah pada diriku sendiri," lanjut David dengan nada yang meninggi. "Aku tidak mungkin harus mengabaikan perempuan sepertimu, Yas. Aku egois, dan mabuk-mabukkan, lalu tanpa sadar aku sudah mengatakan hal-hal yang kasar mengenaimu. Aku... Aku ingin memintamu untuk tetap tinggal. Jangan pergi ke Spanyol, atau kemanapun lagi. Tetaplah disisiku."
Tyas mengerti sekarang apa di maksud oleh whatsapp yang dikirim oleh Kris, dan Leo. Bahkan, Tatsuya, Alex dan Carlos pun mengirimkan hal yang sama kepadanya semalam. Jadi ini semua adalah rencana mereka berlima. Oh, pastinya Tevin juga ikut ambil bagian dalam eksekusi dan perencanaannya bukan?
Tidak ada air mata, ataupun kekesalan dalam wajah Tyas. Sebaliknya, kali ini dia tersenyum riang. "Tapi sayangnya, aku harus tetap ke Spanyol."
David menegang. "Kenapa? Apa kau sudah memiliki kekasih baru lagi? Seperti apa rupanya? Apa dia lebih hebat dariku? Lebih tampan? Apa dia bisa membuatmu tertawa dan tersenyum seperti aku?"
Tyas tertawa kali ini. "Tidak Depit. Aku harus pergi ke Spanyol untuk mengurus surat pengunduran diriku, yang tidak di proses Mosca melalui e-mail. Selain itu, ada teman dekatku juga yang akan menikah. Jadi, setelah semuanya beres, aku baru akan pulang, dan menjelaskan semuanya padamu seharusnya, Depit."
"De.. Pit?" David mengembangkan senyum satu sudutnya itu, melihat Tyas tak percaya.
"Ayolah, bukan hanya kau saja yang bisa menyembunyikan rahasia itu terus!" Keluh Tyas. "Tapi, darimana kau bisa tahu kalau aku adalah Caca?"
David menyeringai licik kali ini. "Sejak aku menemuimu di Pub, dan kau memberikanku kartu namamu. Astaga, aku langsung teringat pada gadis kecil dengan gigi ompong yang menangis di pinggir Pantai Pangandaran setiap harinya kala itu."
Tyas memukul David.
"Aw!" rintihnya. Tapi sejurus kemudian, David memeluknya, dan menatap Tyas lekat-lekat. "Biar aku beritahu. Alasanku menjadi komedian, adalah untuk membuat orang lain tertawa. Tapi pada dasarnya, yang paling penting adalah siapa yang menjadi pacuanku, doronganku untuk bisa membuat orang lain tertawa."
"Siapa?"
"Kau."
David mempererat pelukannya, seakan dia lupa kalau mereka sedang berada di dalam pesawat yang sebentar lagi akan lepas landas.
"Tyas! We're about to take off!" Seru Talia. "Continue your romance, when we're arrive at Spain, okay?"
Tyas tersenyum, dan melepaskan pelukan David. "Duduklah yang manis, dan biarkan aku bekerja dengan tenang."
David mengangguk, dan membiarkan Tyas bekerja sampai mereka sampai di Madrid.