Gadis muda yang membawa baki muncul dari balik pintu kamar yang terbuka. Semburat senyuman tersungging dari kedua sudut bibirnya. Kepulan asap dan aroma yang khas sup daging memenuhi ruangan berdiding serba putih tempat Alisa menjalani perawatan.
"Tuan, lihatlah apa yang aku bawa!" tutur Rahel meletakkan baki di atas meja yang berada di ruang Alisa. Sekilas ia melemparkan senyuman pada Nico yang sedang melihat ke arahnya.
Nico yang duduk pada bangku di samping ranjang Alisa memperhatikan Rahel yang nampak sibuk menyiapkan makan untuknya di atas meja.
"Dari mana kamu mendapatkan sup iga sapi sepagi ini, Rahel?" tanya Nico memperhatikan Rahel yang nampak cekatan memindahkan makanan dari atas baki.
Rahel yang sedang memindahkan nasi ke dalam piring sekilas melirik kepada Nico. "Tuan, pasti tidak akan percaya jika aku menceritakannya," ucap Rahel nampak menahan tawa, sepertinya pagi ini hari Rahel sedang berbunga-bunga.
"Ceritakanlah, Rahel, jangan membuat aku semakin penasaran?" seloroh Nico menghempaskan tubuhnya bersandar pada bangku, lalu melipat kedua tangannya di depan dada. Memperhatikan Rahel yang sudah selesai menyiapkan makanan untuknya di atas meja yang di kelilingi sofa di sudut ruangan.
Setelah selesai, Rahel berjalan mendekat ke arah ranjang, di mana bayi mungil bertubuh gembul itu nampak tengah terlelap oleh pengaruh obat bius paska dokter menanganinya beberapa jam yang lalu.
"Aku mencari sup iga sapi itu sampai ke ujung jalan, Tuan. Karena aku tau, Tuan sangat menyukai makanan itu. Ada mengentuk rumah pemilik restoran itu dan memintanya untuk memaksakan sup itu untuk Tuan," tutur Rahel tersenyum kecil.
"Mengapa dia mau menuruti permintaan kamu, jika aku yang menjadi pemilik toko itu, aku tidak akan mau melakukannya!" balas Nico setengah bercanda. Terlihat, jika lelaki itu sedang menahan senyuman.
Rahel membungkam mulutnya dengan satu tangan. "Tentu saja pemilik toko itu tidak akan menolakku. Karena aku akan membayarnya dua kali lipat." Rahel melipat kedua tangannya di depan dada seraya melemparkan senyuman manis pada Nico yang sedang menatapnya.
Nico mengulas senyuman. "Ternyata kamu cerdas juga!" ucap Nico mengangguk-angguk, lalu menautkan kedua alisnya.
"Tentu dong!" balas Rahel senang. Beberapa saat Rahel dan Nico saling bersitatap, hampir saja jantung Rahel mencelos saat tiba-tiba tatapan Nico berubah kepadanya.
"Eh, emh, Tuan, lebih baik Tuan segera makan dulu!" sergah Rahel berusaha menyadarkan dirinya dari lamunan. Gadis muda yang mengenakan kaos oblong dan celana street itu nampak gugup. "Takut keburu, dingin!" serunya.
Nico menatap sedalam mungkin pada Rahel yang nampak gelisah, beberapa kali tubuhnya melakukan gerakan yang tidak berarti untuk menghilangkan rasa kegugupan yang sedang melanda.
"Baiklah, aku akan makan dulu!" ucap Nico bangkit dari bangku setelah melemparkan senyuman kecil pada Rahel sebelum melangkahkan kakinya menuju ke arah bangku sofa yang berada di sudut ruangan.
Nico menyeruput kuah sup iga yang masih hangat. Sejenak wajahnya nampak sedang merasakan setiap bumbu yang tengah beradu dengan lidahnya. "Ehm, lumayan!" lirih Nico mengangguk-angguk. Sekilas melihat pada Rahel yang nampak senang atas pujiannya.
Kuah yang bercampur kaldu serta bumbu-bumbu yang pas serta potongan daging yang bergelimpangan di dalam kuah sup semakin membuat perut Nico keroncongan, tidak sabar ingin segera menyantapnya.
"Rahel!" panggil Nico pada gadis muda yang terduduk pada bangku yang berada di samping ranjang Alisa.
"I-iya, Tuan!" balas Rahel tergeragap. Ia sedikit terkejut dengan sorot mata Nico yang terarah kepadanya.
"Apakah kamu tidak ingin menemani aku makan?" ucap Nico menautkan kedua alisnya.
Deg!
"Aku?" Rahel mengarahkan jari telunjuknya kepada dirinya sendiri. Matanya membulat penuh membalas tatapan Nico. Seketika tubuh gadis itu gemetaran.
"Iya, kamu!" balas Nico sekilas melihat pada Rahel.
Satu tangan Nico mengambilkan nasi ke dalam piring yang berada di atas meja. "Ayolah Rahel, pasti kamu juga kelaparan sama seperti halnya denganku, kan? Semalaman suntuk kita berjaga, dan tentu itu pasti menguras tenaga," tutur Nico.
"Ta-ta-tapi, Tuan!" Rahel masih tidak percaya dengan tawaran Nico. "Sudahlah, Taun makan saja duluan, aku nanti saja," balas Rahel tidak enak jika harus makan bersama dengan majikan.
"Rahel!" Nico mendelikkan matanya pada Rahel. Gadis itupun akhirnya menyerah, bangkit dari bangku dan berjalan mendekati Nico.
Nico mengisi piring Rahel dengan kuah sup dan potongan daging. Begitu juga dengan piringnya.
"Makanlah, lumayan sih, meskipun tidak terlalu lezat tetapi cukup enak. Coba saja!" titah Nico seraya menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.
Rahel tercengang, desiran darahnya semakin mengalir deras. Jantungnya berdegup tidak teratur. Entah mengapa kali ini otaknya sama sekali tidak bisa mengendalikan hatinya.
"Rahel, ayo makan!" seru Nico menoleh pada Rahel yang tidak bergeming melihat pada lelaki itu.
"Ba-baik, Tuan!" balas Rahel terbata.
Netra Rahel tertuju pada potongan daging yang cukup besar. Ia lupa meminta kepada pemilik restoran itu agar memotong daging sapi itu dengan ukuran yang lebih kecil lagi. Karena terburu-buru, Rahel sudah melupakan banyak hal.
"Duh, mana tidak ada pisau lagi. Terus, bagaimana cara memotongnya," batin Rahel melihat pada potongan daging yang cukup besar yang berada di atas piringnya.
"Rahel, kenapa lagi?" seloroh Nico melihat pada Rahel yang hanya terdiam melihat pada makanan yang berada di atas piringnya.
Rahel meringis, dengan tersenyum getir. "I-iya, Tuan! Ini juga mau dimakan," tutur Rahel segera menyendokan nasi yang berada di atas piring lalu menyuapkannya ke dalam mulut.
Entah mengapa kerongkongan Rahel seperti tercekat. Nasi yang sudah ia telan seperti melambat masuk ke kerongkongan. Mungkin ini efek dari kegugupannya.
"Aduh, ada apa sih dengan diriku!" protes Rahel dalam hati, pada dirinya sendiri. Ekor matanya melirik pada Nico yang nampak menikmati makanan yang berada di dalam piring yang sudah hampir habis.
Satu tangan Nico meraih segelas air putih, tanda jika ia sudah menyelesaikan sarapan paginya lebih awal. Meneguk segelas air putih itu hingga tandas.
"Rahel, kok sudah?" Sekilas Nico yang mengusap sudut bibirnya dengan tisu, melirik kepada piring Rahel yang masih penuh. Beberapa potongan daging tidak berkurang sedikitpun dari atas piring itu.
"Rahel, kenapa tidak dimakan dagingnya?" Nico menaikan kedua alisnya, mengalihkan tatapannya dari piring Rahel lalu pada gadis itu secara bergantian.
Wajah Rahel meringis, "Aku, itu ...!" ucap Rahel terbata. Mengigit bibir bawahnya, menatap pada Nico, memasang wajah meringis.
Sekilas Nico membuang wajahnya dari tatapan Rahel, "Ukuran dagingnya terlalu besar, ya!" tutur Nico tersenyum kecil.
Rahel mengangguk lembut, sorot matanya sama sekali tidak berkedip melihat pada lelaki yang menyabar piring dari tangannya.
"Sini aku bantu potongin!" tutur Nico tersenyum kecil, lalu memotong daging yang berada di piring Rahel.
Cekriet!
Suara derit pintu yang terbuka membuat Rahel dan Nico terkejut.
"Rahel, Mas Nico!" Wanita yang muncul dari balik pintu yang terbuka itu nampak terkejut melihat ke arah Nico dan Baby sitter Alisa.
____
Bersambung ....