Yang berlalu lalang sudah seperti angin yang berhembus tanpa ada bekas, antara perasaan dan fikiran sedang berkolaborasi untuk menemukan satu titik, untuk menyimpulkan satu kalimat dari beberapa pertimbangan.
Vino tidak henti-hentinya memukul dahinya sendiri, yang seakan aliran darahnya berhenti begitu saja. Yang sangat sulit untuk berfikir, ia tidak menatap May, karena wajahnya yang melukis kan banyak kecemasan. Vino pun harus menyorot pohon cemara yang berjajar rapi di sepanjang jalan menuju jalan keluar rumah sakit itu.
Selama apapun, May tetap akan menunggu. Dengan jawaban yang mengecewakan atau pun sebaliknya, ia tidak memaksa Vino untuk cepat-cepat menjawab. Karena ia tau bahwa hal itu perlu angan-angan yang lebih matang.
"Kenapa tanya begitu? Kaya kamu mamanya saja" Ucap Vino seolah apa yang sudah May sampaikan adalah candaan, tapi tetap saja terselip di pelupuk matanya tentang perasaan yang tersembunyi.