Pagi sekali, itik-itik May sudah berteriak kelaparan. Berlari-lari ke dalam rumah, marambat ke atas meja, masuk ke kamar, dan sampai-sampai terperangkap ke dalam rok panjang May.
Biasanya itik-itik itu akan mendapat jatah makanan dari sisa nasi kemarin, tapi hari ini tidak ada sisa nasi. May terpaksa memetik pepaya di belakang rumah dengan mengiris tipis-tipis untuk sarapan itiknya.
"Makan dulu kanak-kanak, jangan lama-lama, mama buru-buru mau ke sekolah nih!" Teriak May sambil membopong ember berisi parutan pepaya. Itik itu berlari menghampiri May, seakan sudah hafal dengan logat intruksinya yang begitu memikat.
May terburu-buru setelah memastikan jam yang sudah mepet, dia protes sendiri tanpa ada yang menghiraukan. Handuk yang di kalungkan ke pundaknya tiba-tiba hilang. May panik dan memanggil-manggil kakaknya agar dapat pertolongan.
"Kakak! Bisa bantu adek cari handuk? Sudah siang nih nanti bisa telat!" Teriakan May membuat kak Ahmad menutup kupingnya rapat-rapat, teriakan yang terlalu manja dan membuat risih.
Kak Ahmad yang saat itu masih sibuk dengan cangkulnya di belakang rumah, terpaksa harus mendeteksi sumber suara yang membuat gempar itu, ia berlari saking risihnya.
"Apa sih apa? Kakak masih bantu bapak nyangkul di belakang May!" Teriak kak Ahmad kesal.
"Biarkan May merasakan menjadi seorang adik, seorang adik harus di layani, di sayang, dan di jaga kak. Jadi sekarang kakak harus mencarikan handuk May, lalu di cium, dan diantar ke sekolah" Celoteh May sambil melototi kak Ahmad yang sedang berdiri di tengah-tengah pintu.
Mulut kak Ahmad menganga mendengar penjelasan May yang susah di mengerti, otaknya ngebul memikirkan adiknya yang super manja. Ingin di tonjok pipi chubby May dengan tangan kananya, tapi pintu di depan kak Ahmad yang menjadi pelampiasanya.
"Ogah, kalau begitu caranya bukan kakak yang baik namanya. Bukan kakak yang mendidik" Jawaban kak Ahmad yang begitu tidak menyenangkan membuat May manyun dan pergi mandi tanpa menghiraukan handuknya lagi.
"Oke!" Jawab May ketus.
Braaak!
May membanting pintu kamar mandi berukuran kecil itu, untungnya kak Ahmad sudah menutup telinganya sebelum pintu itu memberontak, dia sudah menebak kebiasaan May. Kak Ahmad memegangi dadanya agar tetap bisa bersabar dalam mendidik adik kesayanganya.
****
Laju sepeda May terlalu ngebut dari biasanya, matahari yang sudah sedikit terik membuat May tambah panik sambil mengayuh sepedanya ngos-ngosan.
Tidak ada pilihan lain, May harus melewati jalan alternativ agar lebih cepat sampai tujuan.
05:55, waktu May hanya tersisa 5 menit untuk sampai ke rumah Vino tepat pukul 06:00. Dia tidak kebayang jika harus terlambat, pasti Vino akan membuatnya semakin kesal dengan segala aturan yang sengaja Vino rancang dengan se ribet-rubetnya.
Sebuah rumah mewah dengan gerbang besar terlihat dari depan, membuat May berdiri mematung sambil berpegangan setir sepedanya. Bagaimana mungkin dia bisa membuat percaya security bahwa dia adalah teman Vino? May melirik penampilanya sendiri, bajunya lusuh, rambutnya basah dengan aturan sisir yang tidak sejajar dan berantakan.
May pelan-pelan mendatangi Pos keamanan rumah Vino, sepedanya sengaja ia taruh di pinggir jalan agar tidak menambah pemandangan buruk.
"Pak saya temanya kak Vino, boleh saya ketemu?" Tanya May lirih sambil melirik jendela kamar di lantai dua, barangkali Vini diam-diam mengintip dari dalam.
Security bertubuh kekar itu tidak langsung menjawab May, matanya melirik sinis menatap ujung kaki sampai kepala May.
"Ma'af saya kok belum pernah melihat teman den Vino yang mirip sama kamu ya?" Kata security tidak yakin.
May menghela nafas mencoba untuk menenangkan diri agar tidak tersinggung, dia menyorot jendela itu, masih terbuka tapi tidak ada tanda-tanda ada Vino di dalamnya.
Rasanya sudah tidak sabar ingin menatap wajah idamanya itu, ahirnya May nekat untuk berteriak dari luar. Mengambil buku dan di bentuk menjadi seperti pengeras Suara.
"Kak Vino! Ojek sudah datang!" Suara May mbenar-benar mirip aksi demo. Dia tidak peduli dengan resiko yang akan ia terima nanti, wajahnya tetap santuy dengan teriakanya yang membising di telinga.
Vino tiba-tiba berlari dengan muka memanas, bibir mancung ke depan lalu tanganya mengepal rapat. May mengetahui itu nyalinya mendadak menciut, dia ketakutan melihat tatapan Vino yang menyeramkan. Langkahnya semakin dekat, tubuh May diguyur keringat dingin.
"Nggak punya mulut buat ucapin salam?" Vino bertanya sambil menarik tasnya ke atas, May mencoba untuk menyapa dengan senyum tipis menahan rasa takut.
" Lha ini apa kak?" Ucap May sambil menyodorkan bibirnya ke Vino, Vino lagi semarah ini May masih saja membuat ulah lagi.
Vino terlihat sangat geram, badanya yang semula dekat di depan May langsung bergeser menjauh dengan perasaan muak. Vino masih memikirkan jawaban untuk membalas semburan May.
"Jangan dekat-dekat, mulut mu bau!" Cetus Vino sengit, dalam hati Vino tidak semarah aslinya. Dia tampak memperhatikan penampilan May yang terlalu lusuh, apalagi May harus sampai ke rumahnya pagi-pagi, membuat hancur agenda May buat berubah untuk menjadi sedikit cantik.
"Ih masa sih kak?" May menyembur nafasnya sendiri ke tanganya lalu di cium untuk memastikan.
"Haaaahh! Masih bau kak?" Kali ini memang benar-benar sudah menjadikan Vino naik pitam, May menghempaskan nafas ke muka Vino. Spontan tangan Vino menutupi lubang hidung dan mulutnya ingin muntah.
"Allohu Akbar!!" Teriak Vino sambil melotot parah, dia mengibas tanganya untuk mengusir bau yang mungkin mirip sambal terasi itu.
May menghadap ke belakang lalu tertawa sebentar, ia sudah berhasil nyicil balas dendam di pagi ini. Matanya melirik ke arah Vino, May gemas dalam hati melihat muka Vino yang cemberut tapi menggemaskan.
"Mana sepedamu? " Vino menatap tajam ke arah May.
"Eh itu kak di pinggir jalan, ee tapi kak Vino beneran mau naik sepeda? Gak malu gitu?" Tanya May memastikan, sangat tidak sepantasnya seorang Vino jika harus menaiki sepeda, dia benar-benar anak sultan di Kotanya.
"Ya nggak papa, kenapa emang? Sepedamu banyak virusnya?"
"Ya banyak lak kak, coba cek saja di Rumah sakit" Jawab May enteng, Vino sudah tidak tahan lagi untuk menahan amarahnya. Tanganya menggeret lengan May menuju tempat sepeda May di parkir.
"Cepat bonceng!" Teriakan Vino mirip komandan upacara. Lalu May mengiyakan terburu-buru.
May menata sepedanya untuk siap di naiki menuju ke sekolah, pelan-pelan Vino menaiki sepeda May di bagian belakang. May mulai mengayuh sepedanya, tapi ada yang aneh, sepeda itu sama sekali tidak bisa berjalan. May tidak kuat membonceng tubuh Vino seberat 70kg itu.
"Gimana sih, ayoo!" Protes Vino seperti Pak kusir yang sedang bekerja.
"Gak kuat kak, berat" May terpaksa turun dan jongkok sambil menahan nafasnya ngos-ngosan.
"Aduh kebanyakan alasan kamu ini ya!" Memang Vino hobi sekali marah.
"Sini aku boncengin" Ucap Vino terpaksa sambil turun dari ranjang belakang.
May melotot tidak berkedip, sudah banyak sekali angan-angan yang melayang di fikiranya. Pasti May bisa memeluk Vino dari belakang, pura-pura ngantuk supaya Vino memegangi May dari depan dengan cara memegang tanganya.