Aku menghampiri adikku dan mengangkat kepalanya untuk ku peluk. Aku memintanya untuk bangun walau aku tahu ia tak mungkin bangun lagi. Air mataku kembali mengalir. Aku terus memanggil namanya, namun masih tak ada respon dari Gio. Aku sedikit membalikkan tubuhnya untuk melihat bagian belakang kepala Gio dan terlihat jelas sebuah peluru di sana. Banyak sekali darah yang keluar dan mengenai tanganku. Mata Gio masih membelalak menatap aku yang menangisinya. Perlahan ku tutup mata itu dengan tangan kananku. Senyumnya nampak mengembang, mungkin ia sudah merasa senang di alam sana. Tangisanku kembali menderas, bahkan kini aku sesenggukan.
"Maafin gua, Gio! Gua salah! Gua gak bisa jadi kakak yang baik buat lu. Gua gak bisa jagain lu. Gak bisa ngertiin keadaan lu, bahkan udah 2 tahun gua gak nyariin lu. Maafin gua!" Ku peluk tubuh adikku sembari mengatakan hal itu.