Di sudut kota yang terlupakan, di mana lampu jalan berkelap-kelip samar dan suara hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari tenggelam dalam kebisingan malam, sebuah tempat kecil berdiri tegak. Di dalamnya, aroma rokok dan debu bercampur menjadi satu, menciptakan atmosfer yang kental dengan harapan dan keputusasaan.
Meja judi yang aus menjadi saksi bisu dari berbagai nasib yang dipertaruhkan, dan tawa serta cemoohan saling bersahutan, mengisi ruang yang sempit itu. Hari itu, suasana terasa berbeda. Seorang pria, tampak gelisah, meluapkan kekesalannya dengan teriakan yang menggema di antara tumpukan kartu dan chip-chips yang berserakan.
"Ughh, sial sepertinya ini hari sialku!" ucapnya, mengisyaratkan bahwa keberuntungan tidak berpihak padanya.
Namun, di tengah kerumunan itu, harapan masih bersemi.
Para pemain, meski tak berdaya, terus berusaha mencari celah untuk meraih kemenangan.
Di antara mereka, terbersit sosok misterius dengan topeng yang menutupi wajahnya. Ia mengamati dengan saksama, seolah menunggu momen yang tepat untuk muncul.
Ketika ia melangkah maju, tatapan penuh rasa ingin tahunya menyapu seluruh ruangan.
Dengan isyarat yang penuh percaya diri, ia menawarkan dirinya sebagai bandar. Tawa yang awalnya menyebar kini terhenti, digantikan oleh tatapan curiga dan rasa ingin tahu. Namun, saat uang tunai sebesar 15.000 dolar digenggamnya, suasana berubah.
Semua mata tertuju padanya, dan dalam sekejap, permainan yang tampaknya sepele itu berubah menjadi arena taruhan yang berbahaya, di mana setiap keputusan dapat mengubah nasib mereka selamanya.
Para pengemis yang bermain hanya menatap satu sama lain, tatapan mereka sarat dengan keraguan dan sindiran.
Mereka seakan meremehkan pria bertopeng itu, menganggapnya sebagai pemain amatir yang mudah dikalahkan.
Namun, saat permainan dimulai, situasi berubah drastis.
Pria bertopeng itu membagikan kartu secara acak, namun setiap kali, tangannya selalu menang. Keberuntungan yang tak terduga itu membuat para pemain, yang notabene adalah gelandangan dan pengemis, semakin frustrasi.
Ronde kedua dimulai, dan salah seorang gelandangan, tak tahan dengan kekalahan berturut-turut, memutuskan untuk bermain curang.
Ia dengan licik mencoba mengganti kartu, namun tiba-tiba, tangannya tersayat oleh sesuatu yang tak terlihat.
"Dilarang curang dalam permainan," bisik pria bertopeng itu, suaranya dingin dan mengancam. Gelandangan itu tersentak, lalu berdiri dengan amarah membara.
Ia menarik kerah pria bertopeng itu, matanya menyala dengan dendam. "Apa aku perlu memeriksa semua kantong kalian?" tanyanya, suaranya bergetar menahan amarah.
Melihat kejadian itu, gelandangan lain pun terdiam, saling bertukar pandang dengan rasa takut dan keheranan. Mereka menarik rekan mereka, dan dengan ragu,
memeriksa kantong pria bertopeng itu. Betapa terkejutnya mereka saat menemukan beberapa kartu As terselip di sana
Ketegangan yang sebelumnya menyelimuti ruangan itu berubah menjadi kericuhan.
Para gelandangan berteriak, saling berdesak-desakan, dan menuduh pria bertopeng itu sebagai penipu.
Suasana di tempat itu berubah mencekam.
Permainan yang awalnya tampak sepele kini berubah menjadi pertarungan sengit antara para gelandangan yang terdesak dan pria bertopeng yang misterius.
Kericuhan semakin memuncak ketika gelandangan lain, yang sebelumnya hanya menjadi penonton, mulai mengerumuni pria bertopeng itu.
Suasana yang tadinya penuh tawa dan cemoohan kini berubah menjadi kekacauan yang meluap-luap.
Mereka menghajarnya tanpa ampun, tinju dan tendangan menghujani tubuhnya yang tak berdaya. Namun, di tengah kebisingan dan kekacauan itu, pria bertopeng itu justru tersenyum, seolah tidak terpengaruh oleh serangan yang mengerikan.
Dengan gerakan cepat, ia mengeluarkan beberapa belati dari balik jubahnya. Dalam sekejap, ia melempari para gelandangan dengan presisi yang menakutkan.
Mata mereka melebar saat belati-belati itu meluncur, menembus udara dengan bunyi desingan yang mengerikan.
Satu per satu, para gelandangan terjatuh, tubuh mereka tergeletak tak berdaya di tanah, sementara pria bertopeng itu berdiri di tengah kekacauan.
Dengan tenang, ia melangkah pergi, meninggalkan jejak darah dan kepanikan di belakangnya. Sebelum menghilang ke dalam Riuhnya Kota, ia meletakkan satu kartu Joker di atas tubuh salah satu mayat, menandai aksi brutalnya dengan simbol yang menyiratkan permainan yang telah berakhir tragis.
Keesokan harinya, kantor polisi dihebohkan oleh penemuan mayat-mayat gelandangan yang tergeletak di sudut jalan.
Mereka ditemukan dalam posisi yang mengenaskan, masing-masing memegang kartu Joker di tangan mereka, seolah menjadi saksi bisu dari sebuah permainan yang fatal. Di tengah kekacauan itu, salah seorang dari mereka, dengan napas yang tersengal-sengal, berhasil selamat.
Dengan tubuh yang terluka parah, ia dilarikan ke rumah sakit, matanya yang ketakutan menceritakan kisah mengerikan yang baru saja terjadi.
Ketegangan menyelimuti kota saat berita tentang serangan misterius itu menyebar, meninggalkan rasa penasaran dan ketakutan di hati setiap orang yang mendengarnya.
Ketika pria gelandangan yang selamat itu membuka matanya, dunia di sekelilingnya tampak kabur dan bingung. Rasa sakit menjalar di seluruh tubuhnya, dan ketakutan menggelayuti pikirannya saat ia menyadari situasi mengerikan yang baru saja terjadi.
Di hadapannya, dua sosok polisi mendekat, terlihat serius dengan wajah yang penuh tanda tanya.
"Joseph tidak bersalah, dia hanya mencoba untuk mencari uang tambahan untuk anaknya," ucapnya dengan suara serak, berusaha menjelaskan, meski kata-katanya terasa terputus-putus.
Joseph Blanche dan Derby Watkins saling menatap, kebingungan melintas di wajah mereka. Mereka melangkah menjauh dari pria itu, seolah mencoba menjauhkan diri dari situasi yang semakin rumit.
"Sialan, dia punya nama yang sama denganku," keluh Joseph sambil menggaruk kepalanya, merasa seolah terperangkap dalam lelucon yang tidak lucu.
Kedua polisi itu berdiri di samping satu sama lain, Derby mengangguk sambil melihat pria itu.
"Kuharap nasibmu tidak sama sepertinya. Aku tidak tahu apakah ini memang suatu kesengajaan atau ada motif lain dari pembunuhan ini," jawab Derby dengan nada serius, mencoba menganalisis situasi.
"Owwhh, ayolah Derby, ini hanya suatu pembunuhan biasa saja bukan?" Joseph merengek, mengerutkan dahi sambil melirik pria gelandangan yang kini tampak ketakutan.
"Joseph, ku harap kau diam jika tidak mengerti akan kronologi kejadian ini," Derby menjawab sambil mengusap kepalanya, seolah berusaha menenangkan pikirannya yang mulai pusing.
Sore itu, kantor polisi terasa sepi. Jam tangan di dinding menunjuk pukul empat sore, menandakan waktu menjelang berakhirnya jam kerja.
Udara terasa dingin, dan sinar matahari yang mulai meredup menembus jendela kaca, menciptakan bayangan panjang di lantai yang dingin.
Hanya beberapa polisi yang masih beraktivitas, sibuk menyelesaikan laporan dan mencatat data di meja kerja mereka.
Suara mesin ketik berdetak pelan, bercampur dengan suara obrolan yang teredam.
Di salah satu sudut ruangan, seorang polisi wanita sedang menelepon, suaranya terdengar datar dan resmi. Di meja lain, seorang polisi tua sedang membaca koran, wajahnya tampak serius.
Di tengah suasana sepi itu, Derby Watkins, dengan wajah yang masih dipenuhi kebingungan, tiba di kantor bersama Joseph Blanche.
Mereka berdua sama-sama lelah dan penat, tetapi mereka harus menyelesaikan tugas mereka sebelum pulang. Saat mereka memasuki kantor, seorang polisi wanita menghampiri Derby.
"Derby, Komisaris mencarimu. Katanya ada hal penting yang harus disampaikan," ucapnya dengan nada serius.
Derby mengangguk, lalu berdiri dan melangkah menuju ruangan Komisaris Polisi.
Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum memasuki ruangan itu. Di dalam ruangan, suasana terasa lebih dingin dan menegangkan.
Sebuah meja besar dengan permukaan kayu gelap tampak mencolok di tengah ruangan, di atasnya berjejer beberapa berkas tebal.
Seorang pria tua dengan kacamata sedang memeriksa berkas-berkas itu dengan serius. Derby mengangkat tangannya dan memberikan penghormatan seraya berkata, "Lapor, Letnan Derby menghadap."
Pria tua itu menoleh dan berkata, "Ahh Derby, kau datang tepat waktu." Ia merogoh beberapa kertas dari tumpukan di mejanya.
"Kita punya tugas untuk menyelidiki kasus pembunuhan yang baru saja terjadi." "Kuharap kau bekerja maksimal karena ini adalah perintah langsung dari pusat," katanya dengan nada tegas.
"Dan sebelum tim dari FBI turun tangan, kasus ini harus rampung. Kau tahu bukan, jika sampai mereka turun tangan, markas kita bisa berantakan karena ulah mereka." Mata pria tua itu berkilat tajam, seakan memancarkan aura ancaman. Derby hanya mengangguk, merasakan beban tanggung jawab yang berat menindih pundaknya.
Kemudian Derby pun mengangguk menandakan bahwa ia mengerti apa yang diperintahkan dan pergi dari ruangan tersebut.
Derby melangkah keluar dari ruangan Komisaris, tubuhnya terasa kaku dan pikirannya dipenuhi kekhawatiran.
Perintah tegas sang Komisaris masih bergema di telinganya, membuatnya merasa tertekan.
Ia baru saja mendapatkan tugas baru yang berat, dan rasa tidak percaya diri mulai merayap di benaknya.
Setibanya di luar ruangan, ia disambut oleh Martis, rekan kerjanya yang berwajah ramah. "Derby, kita kedatangan tamu lagi dari kasus pembunuhan yang baru saja terjadi," ujar Martis sambil menyerahkan beberapa dokumen kepada Derby.
"Baiklah, bisa kau bawa ia ke ruanganku? Aku perlu berbincang terkait kasus pembunuhan ini," jawab Derby dengan nada yang sedikit tertekan, meskipun berusaha untuk tetap tenang.
Setelah selesai berbicara dengan Komisaris, Derby kembali ke ruangannya. Martis mengikutinya, mengantar seorang wanita tua yang tampak sedikit gemetar.
Martis meletakkan wanita itu di depan meja Derby, lalu keluar dengan tenang, menutup pintu perlahan dan meninggalkan mereka berdua sendirian.
Suasana di ruangan itu terasa lebih tenang dibandingkan sebelumnya.
Cahaya matahari sore menerobos jendela, menciptakan suasana yang nyaman dan menenangkan. Wanita tua itu tampak ketakutan, tangannya gemetar sedikit saat ia memegang tas tangannya.
Derby, menyadari ketakutan wanita itu, berusaha menciptakan suasana yang lebih nyaman. Ia tersenyum ramah, berusaha meyakinkan wanita itu bahwa ia aman.
"Tidak perlu takut, kami polisi bukan penjahat," kata Derby dengan suara lembut.
"Aku hanya perlu menanyai Ibu terkait beberapa insiden yang menelan korban." Wanita tua itu perlahan mulai tenang.
Ia mengambil kacamatanya dari tas tangannya dan memakainya, lalu berkata, "Aku tidak tahu harus berkata apa, Detektif. Yang kulihat waktu itu sedikit membuatku kepikiran, dan perlu kujelaskan sebelum aku melupakannya."
Derby meletakkan beberapa dokumen berisi foto-foto para korban pembunuhan di atas meja. "Apakah Ibu mengenali mereka?" tanyanya dengan nada yang masih lembut dan penuh perhatian.
Wanita tua itu mengamati foto-foto itu dengan seksama. Setelah beberapa saat, ia menunjuk salah satu foto dengan jari yang sedikit gemetar.
Suasana tetap tenang, hanya diselingi suara helaan napas wanita tua itu dan derit pelan kursi ketika ia sedikit menggeser posisinya. Derby menunggu dengan sabar, memperhatikan setiap detail ekspresi wanita tua itu, siap untuk mendengarkan kesaksiannya.
"Dia adalah Froster," kata wanita tua itu, sembari membenarkan kacamatanya. "Dia gelandangan yang selalu meminta makanan ke tempatku, dan aku sering melihatnya bermain judi di tempat itu. Sampai pada akhirnya… aku melihat adegan yang mengerikan di depan mataku." Suaranya bergetar sedikit saat mengingat kejadian tersebut.
Ia melanjutkan ceritanya, menjelaskan detail tentang pelaku yang dilihatnya. Derby mendengarkan dengan saksama, sesekali mencatat poin-poin penting.
Tak berapa lama, Derby membuka laptopnya dan mengetik sesuatu. "Hmmm… topeng? Aku punya beberapa referensi topeng yang Ibu maksud. Tapi, apakah topeng ini benar?" tanya Derby, lalu membalikkan laptopnya sehingga layar menghadap wanita tua itu, menunjuk pada gambar sebuah topeng di layar.
"Tidak, Detektif," jawab wanita tua itu. "Topeng itu tidak seperti itu. Mungkin kau sedikit menghubungkan semuanya mengenai jester, atau hal-hal lain mengenai badut gila, namun topeng yang kumaksud tidak seperti itu."
Mereka melanjutkan pemeriksaan, Derby menanyakan beberapa detail lagi untuk memastikan kesaksian wanita tua tersebut. Suasana tetap tenang dan profesional. Namun, ketika Derby hendak mengakhiri sesi wawancara, wanita tua itu tampak ragu untuk pergi.
"Apakah ada yang ingin Ibu tambahkan lagi?" tanya Derby, menyadari keraguan wanita tua itu.
Wanita tua itu mengangguk pelan. "Sebenarnya… ada satu hal lagi yang ingin saya sampaikan, Detektif. Namun, saya masih ragu untuk mengatakannya." Ia tampak masih merasa takut, namun ia juga tampak ingin membantu penyelidikan.
Derby mengangguk mengerti, memberi isyarat agar wanita tua itu melanjutkan ceritanya. Ia menunggu dengan sabar, menyadari bahwa wanita itu mungkin masih membutuhkan waktu untuk mengumpulkan keberanian.
"Ini sudah larut malam, Nyonya. Kami bisa mengantar Ibu pulang," tawar Derby, menyadari bahwa wanita tua itu masih ragu untuk pergi.
"Terima kasih, tapi tidak perlu, Detektif," jawab wanita tua itu dengan senyum tipis. "Aku bisa pulang sendiri. Jika aku pulang diantar, suamiku akan khawatir. Terlebih lagi, aku bersama polisi." Ia tampak sedikit canggung, namun tetap bersikap tenang.
Derby mengerti kekhawatirannya. "Baiklah, Nyonya. Hati-hati di jalan," ucap Derby sambil berdiri dan membukakan pintu untuknya.
Ia memperhatikan wanita tua itu berjalan menjauh, langkahnya sedikit tertatih, namun tetap tegap. Derby kembali ke mejanya, pikirannya masih dipenuhi dengan informasi yang baru saja ia dapatkan. Kasus ini semakin rumit, namun ia merasa sedikit lebih dekat dengan pemecahannya.
Ia kembali menatap laptopnya, menyadari masih banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan. Namun, setidaknya, sebelumnya ia telah berhasil mendapatkan petunjuk penting dari wanita tua yang berani memberikan kesaksiannya.
Disepanjang perjalanan pulang, perasaan janggal terus menghantui wanita tua itu. Ia beberapa kali menoleh ke belakang, memastikan tidak ada yang mengikutinya.
Jalanan tampak sepi, hanya diselingi sesekali suara kendaraan yang melintas dari kejauhan. Namun, keheningan malam itu justru semakin menambah rasa takutnya.
Langkahnya terhenti saat ia melihat sesosok berdiri di tiang lampu sudut jalan. Seorang pria dengan topeng kelinci, bermain-main dengan bola kecil berwarna merah. Gerakannya tampak aneh, menciptakan suasana yang semakin mencekam.
Belum sempat ia melangkah lebih jauh, ia merasakan kehadiran seseorang di belakangnya. Sebuah firasat buruk muncul di benaknya.
Dengan hati berdebar-debar, ia menoleh.
Seorang pria dengan topeng badut berdiri tepat di depannya. Senyum mengerikan terukir di balik topeng itu, menciptakan kesan yang sangat menakutkan.
Sebelum wanita tua itu sempat berteriak atau bereaksi, pria bertopeng badut itu langsung menghujani tubuhnya dengan beberapa tusukan pisau.
Wanita tua itu jatuh tersungkur, tubuhnya tak mampu lagi bergerak. Pria bertopeng badut itu masih belum berhenti.
Dengan kejam, ia menyayat leher wanita tua itu hingga hampir putus.
Kehidupan wanita tua itu berakhir di tengah kegelapan malam yang mencekam.
Sementara itu, di dalam kantor polisi, Derby masih sibuk mencari petunjuk mengenai keberadaan pelaku yang dimaksud.
Ia memeriksa data, menganalisis informasi, dan mencoba menyusun sebuah strategi penyelidikan.
Ia sama sekali tidak menyadari bahwa pelaku yang sedang ia cari telah kembali beraksi, meninggalkan jejak kematian yang mengerikan di jalanan kota.
Bayangan topeng kelinci dan topeng badut itu, kini menjadi simbol teror yang menyelimuti kota.
Petunjuk yang telah didapat dari wanita tua itu, kini menjadi kenangan pahit yang tak akan pernah terlupakan.
Kisah ini baru saja dimulai, dan kegelapan masih menyelimuti kota.