Pagi itu, Derby baru saja akan menyesap kopi panasnya ketika sebuah suara keras mengagetkannya. Pintu ruangannya terbuka dengan gebrakan, menampilkan Martis yang terengah-engah, wajahnya pucat pasi.
"Derby, kau harus lihat ini…" ucap Martis, suaranya terengah-engah, mencoba mengatur napas yang masih tersenggal-senggal.
Derby, yang masih memegang cangkir kopinya, merasa jantungnya berdebar kencang. Ia merasakan firasat buruk. Martis menyerahkan sebuah koran yang terbuka pada sebuah berita utama.
Mata Derby membulat sempurna saat ia membaca judul berita itu dan melihat foto yang menyertainya. Gambar wanita tua yang baru saja ia wawancarai terpampang jelas, lehernya terluka parah, hampir putus.
"Apa?!… Bukankah dia baru saja kita periksa? Apa yang sebenarnya terjadi?!" Derby berdiri, suaranya meninggi karena tak percaya. Kasus ini semakin rumit dan berbahaya dari yang ia bayangkan.
"FBI akan datang siang ini," ucap Martis, mencoba untuk tenang, meskipun tangannya masih gemetar sedikit. "Kuharap kita bisa bekerja sama. Malam itu kau bersamaku di kantor, dan Sersan Wayne menjaga pintu semalaman. Dia bisa menjadi saksi aktivitas kita."
Derby mengangguk, berusaha untuk tetap tenang meskipun jantungnya berdebar-debar. "Tenanglah, aku kenal mereka. Mereka hanya menjalankan tugas sama seperti kita. Mereka hanya datang dan memeriksa kita untuk kepentingan penyelidikan," tutur Derby sembari merapikan pakaian dan kerah seragamnya.
Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. Baru saja ia melangkah keluar dari ruangannya, ia terhenti. Beberapa agen FBI, dengan wajah serius dan seragam khas mereka, sudah menunggu di luar ruangannya. Derby menyadari bahwa situasi ini jauh lebih serius dari yang ia bayangkan.
Salah seorang agen FBI menunjukkan identitasnya. "Letnan Derby, kami dari FBI dan Provos. Bisakah kami memeriksa Anda sekarang?" Kartu identitas itu terpampang jelas, bertuliskan Deputi Kepala Tresshold Hogans.
Derby terkejut bukan main. Ia tidak menyangka bahwa FBI akan datang secepat ini.
Bayangan wajah wanita tua itu kembali terlintas di benaknya. "Silakan tunggu di dalam, Deputi. Aku baru saja bangun setelah mendalami pemeriksaan atas wanita yang meninggal tadi malam," jawab Derby, suaranya sedikit gemetar.
Ia berusaha bersikap tenang, tetapi rasa khawatir dan ketegangan sudah mulai menguasainya. Sebelum Derby sempat melangkah pergi, seorang agen wanita Ashley mencoba menahannya. "Kuharap Anda bekerja sama, Letnan," katanya dengan nada tegas.
"Ashley, bisakah aku mencuci mukaku dulu? Aku baru saja bangun," jawab Derby, suaranya terdengar sedikit gugup. "Aku kooperatif dalam masalah ini, namun aku hanya perlu mencuci mukaku."
Salah satu agen FBI menjawab, "Cucilah mukamu, Letnan. Kau pasti lelah semalaman memeriksa."
Derby pun pergi menuju kamar mandi, meninggalkan Martis yang sibuk menata ruangan agar terlihat rapi dan profesional. Ketegangan masih terasa di udara, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Kau Letnan Martis, bukan?" tanya Ashley kepada Martis, yang masih sibuk merapikan ruangan.
"Ya, itu aku. Silakan duduk. Aku akan membuat minuman untuk kalian," jawab Martis, berusaha bersikap ramah dan profesional meskipun jantungnya berdebar-debar.
"Tidak perlu repot, Letnan. Kami hanya akan mengajukan beberapa pertanyaan, lalu pergi dari sini," jawab salah seorang agen FBI, seorang pria berbadan tegap.
"Baik, Deputi," jawab Martis singkat. Setelah merasa segar setelah mencuci muka, Derby melangkah kembali menuju ruangannya. Namun, ia dihentikan oleh Joseph yang tampak cemas.
"Hey, Bung, apa yang terjadi?" tanya Joseph, suaranya sedikit panik.
Derby mengusap wajahnya, terlihat lelah dan sedikit frustasi. "Kau seharusnya memberi hormat sebelum berbicara, Joseph. Kasus yang kita tangani semalam memakan korban, dan FBI datang untuk memeriksa," jawab Derby, suaranya terdengar berat. Kecemasan tampak jelas di raut wajahnya.
Joseph tampak khawatir. "Baiklah… tapi kau yakin kau tidak perlu bantuan dalam proses pemeriksaan ini?" tanyanya, nada suaranya penuh kekhawatiran.
Derby ragu-ragu sejenak, mencoba meyakinkan dirinya sendiri dan juga Joseph. "Tidak, aku yakin ini semua akan baik-baik saja," jawabnya, namun suaranya terdengar kurang meyakinkan. Ia melangkah menuju ruangannya, langkahnya terlihat sedikit tergesa-gesa.
Setibanya di ruangan, Derby menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Ketegangan masih terasa di udara. Dengan sedikit ragu, ia mempersilakan salah seorang Petugas Provos untuk masuk ke ruangannya. Tatapannya tak lepas dari pintu, menunggu dengan cemas apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia berharap pemeriksaan ini berjalan lancar, namun firasat buruk tetap menghantuinya.
Di dalam ruangan, Derby duduk berhadapan dengan Deputi Kepala Tresshold Hogans.
Hogans, dengan wajah oval, kumis tipis, kulit hitam, dan setelan jas rapi, memancarkan aura kewibawaan dan ketegasan yang mampu membuat siapa pun yang berniat berbohong merasa takut. Kacamata yang ia kenakan menambah kesan profesional dan tajam.
Namun, Derby berusaha untuk tetap tenang, menatap Hogans dengan santai sembari menunggu agen tersebut membuka berkas yang dibawanya.
Ia berusaha untuk tidak menunjukkan rasa gugupnya. "Baik, Letnan," ucap Hogans, suaranya tegas dan berwibawa, tanpa basa-basi.
"Anda hanya harus menjawab pertanyaan saya dengan jujur. Jika Anda mau pemeriksaan ini cepat selesai." Nada bicaranya tidak menunjukkan toleransi terhadap kebohongan.
Hogans menatap tajam ke arah Derby, menciptakan suasana tegang di ruangan itu. "Anda pasti mengenal saya. Saya Deputi Kepala Tresshold, kepala divisi kriminal. Saya turun langsung menangani masalah ini karena dari informasi yang kami dengar, dia ditemukan tewas sesaat setelah pulang dari tempat ini." Tatapan mata Hogans menusuk, menunjukkan betapa seriusnya ia dalam menangani kasus ini dan betapa ia tidak akan segan-segan untuk menindak siapa pun yang terbukti bersalah. Ketegasan Hogans terlihat jelas, tidak ada ruang untuk berkelit.
"Deputi," kata Derby, suaranya terdengar sedikit jengkel, "Tatapan itu sedikit menggangguku. Kau mungkin akan mengira kami adalah pelakunya, namun ku beritahu satu hal dalam pemeriksaan ini, kami hanya memeriksa dan menjalankan tugas sebagai polisi yang baik dan sesuai prosedur. Ketika wanita itu hendak pulang, aku berinisiatif untuk mengantarnya, namun ia menolak dan memilih untuk pulang sendiri." Derby menatap tajam ke arah Tresshold, menunjukkan kekesalannya atas tuduhan tersirat dari tatapan agen FBI tersebut.
Tresshold mengeluarkan sebuah foto dari berkasnya, gambar hasil tangkapan kamera CCTV kantor yang memperlihatkan Derby berbicara dengan wanita tua itu. "Apakah saat ini kau menawarkan padanya untuk mengantarnya?" tanya Tresshold, nada suaranya tetap tegas.
Derby mengambil foto itu, merasakan kekesalannya semakin memuncak. Ia merasa diperlakukan seperti seorang tersangka, bukan sebagai seorang petugas yang tengah membantu penyelidikan. "Ya, itu benar," jawab Derby, nada suaranya terdengar ketus.
"Baik. Pertanyaan selanjutnya," kata Tresshold, tanpa sedikit pun menunjukkan perubahan ekspresi. "Setelah itu, apa yang kau lakukan?" Derby merasakan amarahnya mulai meledak.
Ia merasa pertanyaan-pertanyaan ini tidak perlu, karena bukti sudah ada. "Bukankah kalian sudah memeriksa CCTV dan melihat rekaman yang terjadi di kantor?" jawab Derby, nada suaranya penuh kekesalan. Ia merasa diperlakukan tidak adil, dianggap sebagai tersangka utama meskipun ia yakin dirinya tidak bersalah. Ketegangan di ruangan itu semakin terasa, mencerminkan kekesalan Derby yang merasa dirinya dituduh tanpa bukti yang kuat.
"Letnan," kata Tresshold, suaranya dalam dan berat, menekankan setiap kata, "Kuharap kau bekerja sama. Karena jika tidak, kau kuanggap menghalangi prosedur hukum. Cukup jawab 'ya' dan 'tidak'. Aku tidak ingin berlama-lama di tempat ini karena masih banyak kasus yang harus ditangani selain kasusmu." Tatapan Tresshold semakin tajam dan menusuk, menunjukkan betapa tidak sabarnya ia dan betapa seriusnya ia dalam menangani kasus ini.
Derby mengusap wajahnya, merasakan frustrasi dan kekesalan yang semakin memuncak. Ia merasa diperlakukan tidak adil.
"Kau tahu? Aku lebih senang jika diberikan pertanyaan langsung mengenai kejadian yang terjadi ketimbang harus berputar-putar seperti ini, Deputi," katanya, suaranya terdengar sedikit meninggi.
"Dan maaf jika aku bersikap lancang, namun aku masih tidak menyangka saksi yang kuperiksa ternyata sudah mati. Rasanya baru kemarin malam aku melihat senyuman di wajahnya, dan sekarang ia harus mati mengenaskan." Derby meremas rambutnya, menunjukkan betapa tertekannya ia atas kematian wanita tua itu dan betapa ia merasa frustasi dengan jalannya pemeriksaan.
"Kami mengerti bagaimana rasa frustasimu," kata Tresshold, suaranya masih tegas namun sedikit lebih lunak. "Kesampingkan itu dan berikan aku jawaban terbaik." Ia membuka lembaran arsip berikutnya, menunjukkan bahwa pemeriksaan akan segera berlanjut.
Ketegangan di ruangan masih sangat terasa. Di luar ruangan, suasana tegang juga menyelimuti Martis dan Wayne.
Wajah Martis tampak lusuh, menunjukkan kelelahan dan kecemasan. Ia menghadapi Ashley, yang mengajukan pertanyaan dengan nada formal namun tetap tajam.
"Baik, Letnan," kata Ashley.
"Bagaimana kau menceritakan kronologi kejadian ini?" Martis berusaha mengingat kejadian semalam, mencoba untuk menjelaskan dengan detail dan akurat.
"Aku hanya mengantar wanita itu untuk bertemu Derby," jawab Martis.
"Dan setelah pemeriksaan, aku tidak melihat mereka berdua lagi karena aku langsung pergi ke toilet waktu itu."
Ia menjawab dengan gugup, takut jika ada yang salah dari kesaksiannya.
Ketegangan masih terasa di udara, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Martis berharap kesaksiannya bisa membantu Derby dan dirinya sendiri terbebas dari kecurigaan.
"Aku hanya berjaga dan melihat mereka berdua saling berbicara," kata Wayne, suaranya terdengar sedikit gugup. "Letnan Derby menawarkan tumpangan, namun wanita itu menolak dengan alasan ia khawatir keluarganya akan khawatir jika mengetahui ia diantar oleh seorang polisi." Kesaksian Wayne sederhana namun lugas, mencoba memberikan gambaran situasi semalam.
Suasana tegang di luar ruangan tiba-tiba terpecah oleh kedatangan seseorang yang membawa seorang pria.
Pria itu tampak terkejut dan sedikit ketakutan ketika melihat banyaknya agen FBI yang berada di dalam ruangan. "Maaf, Tuan dan Nyonya," kata orang tersebut, suaranya terdengar sedikit gemetar.
"Saya membawa seseorang yang mengetahui kronologis kejadian tewasnya seorang wanita di jalan tadi malam." Ketegangan semakin meningkat, menambah rasa penasaran tentang siapa pria yang dibawa dan informasi apa yang akan ia berikan.
Seorang pria yang mengenakan setelan jas berdiri dan menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan. "Aku Letnan James dari FBI, bersama rekan saya, Letnan Ashley," katanya dengan ramah, mencoba meredakan suasana tegang yang sebelumnya terjadi.
Sersan Dwayne menerima jabat tangan James. "Kenalkan, aku Sersan Dwayne dari divisi Kriminal," jawab Dwayne. Senyum tipis terukir di wajahnya, namun ia tampak sedikit terkejut melihat Letnan Ashley di sana.
"Aku sedikit terkejut melihat Letnan Ashley ada di sini." Suaranya terdengar sedikit lebih santai dibandingkan sebelumnya.
"Kau mengenalnya?" tanya James kepada Ashley. Ashley menghela napas pelan, sebuah ekspresi yang menunjukkan ia mengenali Dwayne, namun tidak terlalu senang bertemu dengannya. Wajahnya menunjukkan sedikit ekspresi mengejek, namun tidak terlihat terlalu tajam.
"Oh, ayolah, Kak," kata Dwayne, suaranya terdengar sedikit menggoda. "Begitulah sifatmu saat bertemu denganku?" Suasana sudah mulai lebih santai, terlihat dari candaan ringan di antara mereka.
"Dia adikmu?" tanya James, seolah menyadari hubungan di antara mereka. "Tak heran kau memiliki kesamaan dengannya. Silakan lanjutkan pemeriksaanmu, Sersan, dan setelah itu kami akan meminta data darimu untuk pelaporan ke pusat."
James terlihat profesional dan tenang, menunjukkan bahwa pemeriksaan akan segera berlanjut.
"Siap, Letnan," jawab Dwayne, suaranya terdengar patuh dan hormat. Ia membawa pria yang baru datang itu ke mejanya, menunjukkan bahwa pemeriksaan akan segera dimulai. Suasana tegang sebelumnya kini mulai mereda, diganti dengan suasana yang lebih tenang dan terkendali.
"Mari kita lanjutkan," kata James, suaranya tenang namun tetap tegas. "Aku masih penasaran bagaimana kau bisa mengetahui bahwa wanita ini adalah saksi."
"Dia datang ke kantor dan mengatakan bahwa ia mengetahui kronologis kejadian," jawab Wayne, suaranya terdengar lugas dan percaya diri.
"Baik, kami catat," kata Ashley. "Kemudian, apakah wanita itu kau arahkan langsung kepada Letnan Martis atau kau catat dahulu identitasnya sebelum mengarahkannya kepada Martis?"
"Aku langsung menyerahkannya kepada Martis karena kulihat wanita itu terlihat sangat ketakutan," jawab Wayne.
"Dari hal itu, bisakah kau menjelaskan ketakutan apa yang mungkin ia rasakan, mengetahui kau adalah seorang polisi?" tanya James, mencoba menggali lebih dalam.
"Menurut pendapatku, ia terlihat seperti wanita tua yang amat sangat syok dengan kejadian yang ia lihat dan ingin segera melaporkan hal tersebut," jawab Wayne, mencoba menganalisis situasi semalam. Ashley memotong pembicaraan.
"Baiklah. Dari CCTV ini, kau mungkin bisa mengungkapkan, apakah benar ini wanita yang kau antar kepada Martis?" Ia menunjukkan sebuah foto kepada Wayne.
"Ya, itu benar," jawab Wayne.
"Dia adalah wanita paruh baya yang kuantarkan ke hadapan Martis untuk diperiksa lebih lanjut." Tiba-tiba, suara Dwayne mengagetkan mereka.
"Letnan, kau harus lihat ini!" Di dalam ruangan Derby, Dwayne memanggil Derby dengan suara yang cukup keras.
Derby, yang sedang diinterogasi, merasa terganggu dan sedikit takut.
Ia melirik Dwayne, merasakan firasat buruk. Dwayne menunjukkan sesuatu, membuat Derby bergidik ngeri dan langsung menutup pintu ruangannya. Suasana tegang kembali menyelimuti ruangan tersebut.
Martis mendekati Dwayne. "Ku lihat kau baru menemukan sesuatu, Dwayne?" tanyanya, suaranya terdengar sedikit cemas.
"Benar, Letnan," jawab Dwayne. "Ini perihal penting mengenai pembunuhan yang terjadi tadi malam." Ia tampak serius dan wajahnya menunjukkan bahwa informasi yang ia temukan cukup signifikan.
Dwayne kembali ke tempat duduknya dan memperlihatkan rekaman CCTV yang ia dapatkan dari saksi tersebut kepada Martis. Suasana tegang kembali menyelimuti ruangan.
"Pukul 12 malam, wanita itu pulang," kata Martis, menganalisis rekaman CCTV.
"Ia melewati beberapa blok dari kantor dan berbelok ke arah Jalan Washington."
Martis kemudian bertanya kepada saksi tersebut,
"Apakah rekaman ini milikmu?"
Saksi itu hanya mengangguk pelan, menunjukkan rasa takut dan gugup berhadapan dengan polisi. Martis berusaha menenangkan saksi tersebut.
"Hei, kau tidak perlu takut," katanya, mencoba tersenyum ramah. "Justru kami sedang mencari siapa pelakunya, kau mengerti?" Ia berusaha menciptakan suasana yang lebih nyaman dan kondusif agar saksi mau memberikan informasi lebih detail.
Saksi tersebut kembali mengangguk, menunjukkan persetujuannya.
Martis bergumam dalam hati, "Baiklah, apa yang bisa kita lihat di sini?"
Ia mulai memutar video rekaman CCTV tersebut.
Ketegangan kembali meningkat.
Sepanjang video, Martis menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana seorang pria membuntuti wanita tua itu.
Kemudian, wanita tersebut ditusuk dari belakang. Setelah itu, muncul sesosok lain—seorang pria dengan topeng kelinci—yang dengan kejam menyayat leher wanita tua itu berulang-ulang.
Martis berkata pelan, "Mungkin sebaiknya aku tidak perlu melihatnya secara detail," suaranya terdengar gemetar, menunjukkan reaksi terkejutnya yang luar biasa.
Ia tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya.
Wajahnya langsung pucat pasi, menunjukkan betapa terkejutnya ia menyaksikan adegan pembunuhan yang sangat brutal dan mengerikan itu.
"Baik, kita bisa menghentikan rekaman ini," kata Martis, suaranya masih gemetar, sambil menekan tombol untuk menghentikan pemutaran video. Ia butuh waktu untuk mencerna apa yang baru saja dilihatnya.
Ashley berdiri dan berjalan ke arah Dwayne, meminta untuk melihat rekaman tersebut. Setelah menyaksikan adegan pembunuhan yang brutal, ia terdiam sejenak, wajahnya menunjukkan keterkejutan dan rasa tidak percaya.
Dwayne mendekati saksi tersebut dan berkata dengan nada lebih lembut, "Mungkin ini sedikit mengejutkan untuk dilihat, tapi bisakah kau bekerja sama dengan kami?"
Pria itu mengangguk, masih tampak sedikit ketakutan tetapi ia mau bekerja sama. Ia memberikan kartu identitasnya kepada Dwayne. Nama Morty tertera jelas di kartu tersebut.
Dwayne mencatat nama dan nomor telepon Morty, kemudian meminta agar pria itu pulang dan berterima kasih atas kesediaannya membantu. Suasana tegang masih terasa, namun setidaknya mereka mendapatkan petunjuk baru yang sangat penting.
Saat Morty hendak membuka pintu, Derby, yang baru saja keluar dari ruangannya, menghentikannya. "Sebaiknya Anda jangan pulang dulu, Tuan Morty," kata Derby, suaranya terdengar serius. "Ini demi keselamatan Anda."
Derby langsung memberikan instruksi kepada Martis. "Martis, hubungi Kyrie dan carikan tempat menginap sementara untuknya. Siapkan juga beberapa orang untuk bertugas menjaganya mulai malam ini dan seterusnya sampai ada perintah lebih lanjut."
Ashley menyilangkan tangannya, menunjukkan ketidaksetujuannya. "Derby, kurasa kau terlalu berlebihan," katanya, suaranya terdengar sedikit jengkel.
Ketegangan memenuhi ruangan. Hanya suara detik jam dinding yang memecah kesunyian. Mereka saling memandang, masing-masing mencoba untuk memahami situasi dan memberikan pendapatnya.
Derby, masih dalam kondisi terkejut dan marah atas komentar Ashley, menjawab dengan nada tinggi. "Berlebihan? Berlebihan menurutmu?! Aku tidak tahu apa lagi yang akan terjadi jika aku membiarkan dia pulang. Aku tidak ingin lagi ada korban selanjutnya jika aku membiarkan orang ini pulang!"Deputi Tresshold menepuk pundak Derby, mencoba menenangkannya.
"Letnan, jika kau keberatan dengan kasus ini, kau bisa menyerahkannya kepada kami. Aku mengerti kau sangat memikirkan bagaimana kejadian yang akan terjadi jika kau melakukan hal yang sama." Tresshold membuka kedua tangannya, menunjukkan ruangan tersebut seolah menggambarkan situasi mereka.
"Tapi lihatlah," kata Tresshold, menunjuk ke sekeliling ruangan. "Kita memang berada di tempat yang penuh akan permasalahan." Ia melangkah menuju pintu keluar.
Sebelum keluar, Tresshold memberikan tawaran terakhir. "Jika kau memang keberatan, kami tidak akan mengambil kasusmu. Namun, dalam empat bulan, jika kasusmu tidak selesai, maka kami akan mengambilnya secara paksa."
Derby mengangguk, menerima tawaran tersebut. "Empat bulan. Sepakat," jawabnya, suaranya terdengar sedikit lebih tenang. Ia menyadari bahwa ia membutuhkan waktu untuk menyelesaikan kasus ini sendiri.
Ashley dan James melangkah keluar ruangan, meninggalkan Derby dan Morty.
Morty, yang masih duduk di kursinya, menatap Derby dengan ekspresi yang menunjukkan ia memiliki sesuatu untuk disampaikan.
Morty bukanlah orang biasa tatapan matanya yang tajam dan tenang menunjukkan kecerdasan dan kejelian yang luar biasa.
Derby menatap Morty dan berkata, "Aku hanya ingin kau selamat hingga pelaku tertangkap, Tuan Morty." Morty berdiri dan mendekati Derby, suaranya tenang dan terukur, menunjukkan kecerdasannya.
"Aku percaya padamu, Tuan Derby," katanya. "Dan mungkin kau memerlukan beberapa informasi. Aku punya beberapa kenalan dari para gelandangan maupun para penjual koran yang ada di sekitar lokasi. Mereka mungkin tahu sesuatu."
Cara Morty berbicara, dengan pemilihan kata yang tepat dan penyampaian informasi yang terstruktur, menunjukkan bahwa ia adalah seorang yang jenius dan mampu menganalisis situasi dengan baik.
Derby menggelengkan kepala. "Aku tidak ingin mendengarkan hal itu untuk saat ini," katanya. "Sebaiknya untuk sementara kau ikut denganku hari ini. Kita akan pergi ke rumahmu untuk mendapatkan persetujuan dari keluargamu."
Morty tersenyum tipis, sebuah senyuman yang menunjukkan ia telah memperkirakan reaksi Derby. Ia menggelengkan kepalanya. "Detektif, kau tidak perlu melakukan hal itu," katanya, suaranya terdengar tenang namun tegas.
"Aku tidak punya satupun keluarga di New York. Dan jika mereka ada, mungkin sejak aku datang ke sini, mereka bisa dalam kondisi berbahaya." Morty tidak hanya memberikan informasi, ia juga telah memperhitungkan kemungkinan bahaya yang akan terjadi jika ia pulang ke rumah.
Derby mengerutkan kening, nada suaranya berubah menjadi curiga. "Kenapa kau berkata seperti itu?"
Morty menghela napas panjang, menunjukkan beban yang selama ini ia pikul. "Aku adalah pensiunan militer," katanya, suaranya terdengar berat.
"Keluargaku sudah kupindahkan dari sini sejak kejadian itu. Aku memahami bagaimana situasi yang terjadi, dan aku melaporkan hal ini ke sini karena khawatir warga sekitar bisa menjadi korban selanjutnya." Morty menjelaskan latar belakangnya dengan tenang dan lugas, menunjukkan bahwa ia adalah seorang yang bijaksana dan bertanggung jawab.
Derby, yang masih mencoba mencerna informasi tersebut, mengambil segelas air.
Ia menatap Morty dengan pandangan yang berbeda, seolah menyadari bahwa ia telah berhadapan dengan seseorang yang luar biasa. "Baiklah, jika begitu, Tuan Morty," kata Derby. "Bisakah kau memberikan informasi detail dan bantu kami dalam memecahkan masalah ini?"
Sebuah senyum tipis muncul di wajah Morty, seolah ia telah menunggu saat ini. "Ya," jawabnya. "Kurasa aku bisa beraksi lagi setelah sekian lama." Tatapan matanya yang tajam dan penuh keyakinan menunjukkan bahwa ia siap untuk membantu Derby mengungkap kasus pembunuhan tersebut.
Kolaborasi antara seorang detektif berpengalaman dan seorang pensiunan militer yang jenius pun dimulai, menandai babak baru dalam penyelidikan kasus pembunuhan berantai yang mengerikan ini. Meskipun jalan masih panjang dan penuh tantangan, adanya Morty memberikan secercah harapan bagi Derby untuk mengungkap kebenaran dan menangkap para pelaku.