Chereads / Poker Rule / Chapter 3 - Teror Tanpa Wajah

Chapter 3 - Teror Tanpa Wajah

Sinar matahari pagi yang terik menerobos jendela kamar kecil Derby. Ruangan itu sederhana, mencerminkan kesendiriannya di kota asing, jauh dari keluarga.

Berkas-berkas penyelidikan berserakan di atas meja, menunjukkan betapa berat beban tugas yang dipikulnya.

Derby sesekali mengambil dan membuka beberapa berkas, mencoba merangkai kembali setiap langkah penyelidikan yang telah dilakukan, mencoba mengingat detail-detail penting yang mungkin terlewatkan.

Tiba-tiba, telepon selulernya berdering. Derby mengangkatnya, melihat nama "Joseph" terpampang di layar. Dari suara yang terdengar di seberang, ia menyadari Joseph berada di tengah kerumunan orang yang ramai.

"Eumm… sepertinya kau baru bangun, ya?" sapa Joseph, suaranya terdengar sedikit terengah-engah.

Derby mengusap wajahnya, merasa sedikit grogi. "Tidak, aku sudah bangun beberapa menit yang lalu," jawabnya. "Apakah ada sesuatu yang ingin kau sampaikan? Mengingat kau meneleponku sepagi ini."

"Kurasa kau harus ke sini," kata Joseph, suaranya dipenuhi kecemasan dan tercampur dengan riuh rendah suara kerumunan.

"Ada kejadian lagi di tempat perkara pembunuhan wanita tadi malam!"

Derby menghela napas. "Fiuuh… baiklah, aku akan ke sana. Tolong kosongkan tempat perkara biar kita selesaikan semuanya secara cepat," katanya, lalu menutup telepon.

Di lokasi kejadian, Joseph terlihat sibuk mengarahkan polisi yang berjaga.

Ia meminta mereka untuk melakukan sterilisasi area agar tidak dimasuki warga sipil. Sesekali, Joseph harus berteriak lantang untuk mengendalikan kerumunan yang semakin ramai.

"Tolong jangan mendekat! Jangan mengambil gambar dulu! Tunggu Unit Kriminal tiba!" teriak Joseph, suaranya sedikit serak karena harus bersaing dengan suara riuh kerumunan.

Derby bergegas mandi. Saat air membasahi kepalanya, sebuah firasat muncul. Ia merasa ada sesuatu yang terlewatkan dalam pemeriksaan sebelumnya. Sebuah detail penting yang mungkin menjadi kunci untuk memecahkan kasus ini.

Derby bergegas bersiap dan berangkat menuju lokasi kejadian dengan mobilnya. Sesampainya di sana, ia disambut oleh pemandangan yang kacau.

kerumunan warga dan wartawan memenuhi jalan, berdesakan dan saling dorong untuk mendapatkan posisi terbaik.

Beberapa polisi terlihat kewalahan mengatur kerumunan yang riuh, suara kamera dan teriakan wartawan memenuhi udara.

Derby harus menerobos kerumunan yang padat, menghindari desakan dan dorongan dari warga dan wartawan yang berebut untuk melihat lebih dekat ke lokasi kejadian. Suasana sangat kacau dan tegang. Saat hendak menerobos, seorang wartawan menghalanginya.

"Letnan! Apa yang terjadi? Apakah ini berhubungan dengan kematian wanita itu tadi malam?" tanya wartawan tersebut, mencoba merekam Derby dengan kameranya.

Derby hanya menjawab singkat, "Nanti akan ku jelaskan lebih lanjut!" Ia kemudian meneruskan langkahnya, dengan suara lantang menerobos kerumunan, "Polisi! Tolong beri jalan! Jangan ganggu proses identifikasi!" teriaknya, suaranya mencoba menembus riuhnya suara kerumunan.

Setelah berhasil sampai ke lokasi yang dimaksud, ia segera menemukan Joseph.

"Joseph, bisakah kau menjelaskan apa yang terjadi?" tanya Derby, suaranya sedikit terengah-engah karena harus berjuang melawan kerumunan.

Joseph menunjuk ke arah sebuah toko yang memiliki CCTV mengarah ke lokasi kejadian. "Terjadi pembunuhan lagi di lokasi ini," kata Joseph, suaranya terdengar serius. "Korbannya adalah tetangga Morty. Mungkin kau perlu melihat beberapa rekaman lagi. Morty sedang bernegosiasi dengan orang yang memiliki rekaman yang lebih jelas."

Joseph menjelaskan situasi dengan singkat dan padat, menunjukkan bahwa ia telah berupaya untuk mengendalikan situasi yang kacau tersebut.

Namun, belum selesai ia menjelaskan, sesuatu yang mengejutkan terjadi. Morty muncul, berjalan tertatih-tatih dengan kedua tangan yang berlumuran darah.

Darah segar mengalir deras dari luka di tangannya, menciptakan pemandangan yang mengerikan. Joseph dan Derby langsung panik.

Mereka berlari menghampiri Morty. "Ada apa, Morty? Kenapa tanganmu berdarah?" tanya Derby, suaranya dipenuhi kekhawatiran.

Morty tampak shock, napasnya tersengal-sengal. "Kalian harus melihat ini," katanya, suaranya hampir tak terdengar.

Ia menunjuk ke arah sebuah gedung di dekat lokasi kejadian.

Ketiganya bergegas menuju gedung yang ditunjuk oleh Morty.

Suasana mencekam langsung terasa saat mereka membuka pintu. Bau anyir darah memenuhi ruangan.

Pemandangan mengerikan menyambut mereka darah segar berceceran di lantai.

Sebuah pemandangan yang tak terbayangkan sebelumnya.

Dua orang lanjut usia, sepasang suami istri, tergeletak tak bernyawa di lantai.

Di dekat mereka, sesosok pria tanpa kepala tersandar di dinding, kepalanya terletak di atas meja makan.

Ketiganya terpaku, dihadapkan pada adegan pembunuhan yang brutal dan mengerikan. Keheningan yang mencekam menyelimuti ruangan, hanya diiringi oleh detak jantung mereka yang berdebar kencang. Bau darah yang menyengat dan pemandangan yang mengerikan membuat mereka merasakan kengerian yang tak terlukiskan.

Perasaan mual tiba-tiba menyerang Morty. Ia tersentak, lalu berbalik dan muntah di dekat tembok gedung. Pemandangan mengerikan yang baru saja disaksikannya terlalu berat untuk ditanggung.

Derby segera menghubungi timnya melalui walkie-talkie. "Sepertinya kalian harus lihat ini," katanya, suaranya terdengar serius dan tegang. "Panggilkan beberapa unit identifikasi tambahan dan garis polisi. Situasinya cukup mengerikan."

Derby menepuk pundak Morty, mencoba menenangkannya. "Morty, kau sudah melakukan tugasmu dengan baik," katanya, suaranya lembut dan penuh empati.

Ia menyadari bahwa Morty juga membutuhkan dukungan dan bantuan setelah menyaksikan pemandangan yang sangat mengerikan tersebut.

Wartawan wanita yang sebelumnya bertanya kepada Derby berhasil menerobos masuk ke dalam gedung.

Ia langsung terhenti, terkejut dan terpaku melihat pemandangan mengerikan di depannya darah berceceran, tiga mayat yang tak bernyawa.

Wajahnya pucat pasi, menunjukkan betapa terkejutnya ia menyaksikan adegan pembunuhan yang brutal tersebut.

Derby segera menghampirinya. "Tolong jangan diberitakan dulu," katanya, suaranya tegas namun tetap tenang. "Kami masih dalam proses pemeriksaan. Kami belum bisa memastikan apakah kasus ini berhubungan dengan kasus sebelumnya atau tidak."

Wartawan wanita itu terlihat masih gemetar. Ia menatap Derby, kemudian berkata, "Baik, Letnan. Mungkin aku juga perlu waktu untuk mencerna apa yang terjadi." Ia terlihat sangat terguncang dan menyadari keseriusan situasi tersebut.

Ia kemudian memberikan instruksi kepada kameramennya. "Matikan rekamannya," perintahnya, suaranya masih terdengar sedikit gemetar.

"Letnan," kata wartawan itu, suaranya masih sedikit gemetar, "mungkin ini sedikit lancang untuk ditanyakan sekarang, tetapi apakah menurut Anda pelakunya sama dengan kasus sebelumnya? Atau mungkin ini adalah sindikat kriminal?" Ia mencoba mengajukan pertanyaan dengan hati-hati, menunjukkan rasa hormat kepada Derby dan menyadari situasi yang serius.

Derby menjawab dengan nada tegas namun tetap tenang, "Aku tidak tahu. Tolong jangan buat spekulasi sendiri. Ini masalah yang sangat serius."

Wartawan itu mengangguk mengerti. "Tenanglah, Letnan," katanya. "Ini tidak akan kami rekam dan tidak akan kami beritakan lebih dahulu. Aku percaya kepada Anda daripada harus membuat berita yang belum tentu benar." Ia melirik sekeliling, menunjukkan bahwa ia memahami pentingnya menjaga kerahasiaan dan integritas investigasi.

"Maaf, tetapi kalian harus keluar sekarang," kata Derby, suaranya tegas. "Karena unit investigasi tambahan akan segera tiba di sini."

Saat Morty, yang baru saja selesai muntah, berpapasan dengan wartawan wanita dan kameramennya, keduanya memberikan senyum mengejek yang samar.

Wartawan itu mungkin merasa kasihan melihat kondisi Morty yang masih shock dan tampak lemah. Namun, kameramennya diam-diam mengambil gambar Morty dengan ekspresi yang lucu, mungkin karena wajah Morty yang masih pucat dan rambutnya yang sedikit berantakan.

Ekspresi mereka yang menahan tawa membuat situasi sedikit lebih ringan di tengah suasana mencekam. Morty, yang masih sedikit linglung, menatap mereka dengan bingung.

"Hei… kenapa kalian tertawa? Apa ada hal yang lucu? Tapi Kapten…," ujarnya, ingin memprotes, namun ucapannya dipotong oleh Derby.

Derby, melihat interaksi tersebut, mencoba menenangkan suasana. "Morty, sudahlah… biarkan mereka pergi. Kemarilah, jika kau sudah siap," katanya, sambil melirik sekeliling untuk memastikan proses evakuasi berjalan lancar. Ia menyadari bahwa meskipun suasana mencekam, tetap penting untuk menjaga agar situasi tidak semakin tegang.

Ia juga ingin segera membawa Morty menjauh dari wartawan yang mungkin akan terus mengejar informasi.

Derby memanggil Joseph yang menghilang sejak berpapasan dengan wartawan. "Joseph… kau menemukan sesuatu? Berikan aku pendapatmu," katanya, suaranya terdengar sedikit cemas.

Beberapa saat kemudian, suara Joseph terdengar dari ruangan tengah. "Ummm… Derby… sepertinya kau harus melihat ini!" Suaranya terdengar panik.

Derby bergegas menuju ruangan tengah dan menemukan Joseph di dekat mesin perekam CCTV yang sudah rusak parah. "Rekamannya… sudah dirusak," kata Joseph, menunjukkan mesin perekam yang hancur.

Morty masuk ke ruangan, suaranya terdengar lemah. "Maafkan aku, Detektif," katanya. "Sudah lama aku tidak melihat darah dan kejadian seperti ini semenjak aku pensiun dari dunia militer. Ini… sangat mengerikan." Ia terlihat masih sangat terguncang oleh kejadian yang baru saja disaksikannya.

Derby menatap Morty dengan empati. "Tidak apa-apa, kau sudah berusaha keras," katanya, suaranya lembut dan menenangkan.

Morty menarik napas dalam-dalam, kemudian mulai menjelaskan. "Mereka adalah pasangan Christina dan suaminya, Hansley," katanya, menunjuk ke arah mayat pasangan lanjut usia tersebut. "Dan laki-laki yang tanpa kepala itu… dia adalah George. Ia adalah anak mereka berdua." Ia menunjuk ke arah mayat yang mengerikan itu, suaranya terdengar berat dan pilu.

"Lihatlah, ia merusak mesin perekam ini," kata Derby, menunjukkan kerusakan pada mesin perekam CCTV kepada Morty.

Morty, yang awalnya masih tampak pucat pasi, seketika terkejut. "Mustahil! Ini bisa dirusak…? Ini adalah alat perekam canggih yang mereka beli. Tidak dapat dirusak meskipun menggunakan senjata tajam!" katanya, suaranya dipenuhi ketidakpercayaan.

Ia mendekati mesin perekam tersebut dan dengan cekatan mulai memeriksa kerusakannya. Dengan beberapa sentuhan, ia berhasil menghidupkan mesin tersebut. Namun, saat melihat isi rekaman yang muncul di layar monitor, ekspresi wajahnya berubah drastis.

Ia berteriak, "Lariiii!!!" Tanpa ragu, Derby dan Joseph langsung mengikuti Morty berlari keluar dari rumah.

Ledakan dahsyat mengguncang rumah tersebut sesaat setelah mereka bertiga berhasil keluar.

Mereka terpental beberapa meter akibat gelombang ledakan yang kuat, menciptakan awan debu dan puing-puing di sekitar mereka. Ketiganya selamat dari ledakan tersebut, namun trauma atas kejadian tersebut akan tetap membekas dalam ingatan mereka.

Gelombang ledakan yang dahsyat juga mengguncang kerumunan warga dan wartawan yang masih berada di sekitar lokasi kejadian.

Banyak di antara mereka yang jatuh tersungkur, terkejut dan ketakutan. Suara teriakan dan kepanikan memenuhi udara.

Pandangan Derby masih buram akibat guncangan ledakan. Ia melihat Joseph dan Morty tergeletak lemas di tanah, beberapa meter darinya.

Tubuh mereka bergetar, menunjukkan dampak dari ledakan tersebut.

Derby mencoba merangkak mendekati mereka, namun pandangannya yang masih kabur membuatnya kesulitan.

Ia melihat beberapa unit polisi berlarian mendekati mereka, mencoba memberikan pertolongan pertama.

Namun, kekuatan yang tersisa dalam tubuhnya sudah habis.

Derby akhirnya jatuh pingsan, meninggalkan Joseph dan Morty dalam kondisi yang tidak pasti. Debu dan puing-puing beterbangan di udara, menciptakan suasana chaos dan mencekam di lokasi kejadian. Suara sirine polisi yang semakin mendekat menjadi satu-satunya tanda bahwa pertolongan akan segera datang.

Derby, Joseph, dan Morty terbaring di rumah sakit, masih belum siuman.

Luka-luka mereka parah, dan trauma yang mereka alami diperkirakan akan membutuhkan waktu lama untuk pulih.

Pelaku di balik serangkaian pembunuhan dan ledakan itu masih bebas berkeliaran. Tidak ada satu pun tersangka yang berhasil ditangkap.

Investigasi menemui jalan buntu, meninggalkan banyak pertanyaan yang belum terjawab. Siang itu, berita menyebar dengan cepat.

Bukan hanya tentang kejadian mengerikan ledakan itu, tetapi juga tentang ancaman teror yang masih berlanjut. Sebuah pesan misterius ditemukan di dekat lokasi ledakan, menunjukkan bahwa ini hanyalah babak pertama dari rencana jahat yang lebih besar.

Ketakutan dan kecemasan menyelimuti kota. Bayangan teror masih menghantui, menciptakan rasa tidak aman di tengah masyarakat.

Tidak ada yang tahu kapan dan di mana serangan berikutnya akan terjadi. Kisah ini berakhir dengan nuansa kelam dan penuh ketidakpastian, meninggalkan pertanyaan besar tentang siapa dalang sebenarnya di balik semua ini dan apa rencana jahat mereka selanjutnya.

Perjuangan melawan teror masih jauh dari selesai. Kegelapan masih menyelimuti kota, menunggu serangan berikutnya.