"Bibi, malam ini jangan ada yang berani membuka pintu kamarku. Bibi paham?" perintah Lou entah kepada bibi yang mana. Sejak dulu Lou hanya memanggil mereka dengan sebutan bibi dan tidak ada identitas terperinci dari keempat bibinya itu yang Lou ketahui. Merasa tidak penting untuk diketahui. Para pelayannya serempak menjawab dengan patuh.
*
Pagi itu seisi istana dibuat gaduh karena sang tuan muda menghilang. Entah pukul berapa tuan mereka kabur, yang pasti saat para pelayan membawakan sarapan sang tuan sudah tidak ada. Jendela kamar juga tidak tertutup rapat menandakan bahwa dari situlah sang tuan kabur. Para pelayan yang merasa putus asa segera melaporkannya kepada tuan besar akan hilangnya tuan mereka.
"Anak itu, terus saja membuat masalah!" Falesia bergerak cepat diiringi para pelayannya. Langkahnya lebar-lebar melupakan keanggunannya yang selalu ia tunjukkan. Bagaimana dia tetap bersikap anggun kalau putranya berulah di pagi hari. Kalau biasanya siang sekarang pagi. Ini jelas ada hubungannya dengan kejadian kemarin. Rasanya ingin sekali memukul sang suami yang berani melukai hati putranya, meski selama ini dia yang melakukannya. Setidaknya sang putra sudah terbiasa dengan sikap galaknya dan bersikap abai kepadanya.
Di depan kediaman sang putra kedua orang tua itu bertemu. Tatapan tajam Falesia menunjukkan tuduhan kepada Austin yang dibalas dengan tatapan tak kalah tajam. Falesia mengembuskan napasnya dan bergerak kembali mencari sang putra yang meskipun nakal tetap dia sayangi itu. Mengabaikan sang suami yang juga tampak menuduhnya entah atas alasan apa.
"Kalian carilah bocah itu, aku harus menghadiri acara di Dabarath!" titah Austin membuat langkah terburu-buru Falesia terhenti seketika. Dia membalikkan badan dengan segera untuk memastikan apa yang dia dengar. Para pelayan yang tadi di belakang Austin membungkuk dan segera bergabung dengan pelayan lain mencari tuan muda mereka.
"Apa maksudmu? Kau mau kemana ha? Putramu hilang dan kau lebih memilih menghadiri acara di klan sialan itu? Kau gila?!" dada Falesia naik turun seiring napasnya berat karena emosi yang naik ke ubun-ubun. Bagaimana mungkin sang suami tega pergi begitu saja saat putranya entah ada dimana? Apakah dia terlalu kesal karena kenakalan Lou? Tapi akan sangat berlebihan kalau sampai itu alasannya, karena Falesia yang sering menghadapi kenakalan Lou bukan Austin.
"Terserah, itu urusanmu! Itulah hasil didikanmu!" ujar Austin tanpa ampun membuat Falesia tidak habis pikir. Apa yang membuat Austin berpikir ini hasil didikannya? Bukankah selama ini Austinlah yang memanjakan bocah itu? Apa yang merasuki tubuh suaminya sampai dia bertindak seperti ini?
"Apa maksudmu? Kau yang selama ini memanjakannya! Memperbolehkan dia bertindak semaunya sampai enggan belajar!" para pelayan serta penjaga segera menjauh enggan terlibat pada perselisihan keluarga. Mata Falesia berkaca-kaca dengan tubuh bergetar menahan tangis. Dia tidak suka disalahkan seperti ini, terlebih ini bukanlah kesalahannya. Austin melangkah berbalik hendak meninggalkan sang istri tapi langkahnya terhenti saat menemukan sang putra berdiri sepuluh meter dari tempatnya berdiri. Para pelayan sepertinya sudah tahu namun tidak berani mengintrupsi.
Falesia ikut terkejut melihat Lou berdiri dengan tatapan ketakutan. Ini baru pertama kalinya dia melihat kedua orang tuanya bertengkar saling berteriak satu sama lain. Melihat bagaimana sang mama menahan tangis dan sang papa yang abai. Dia terluka melihat mama diperlakukan sejahat itu oleh papanya. Air matanya menggenang siap mengalir dalam sekali kedip. Pandangan Lou semakin memburam sampai air mata itu jatuh bebas dari pelupuk matanya mengalir membentuk anak sungai di pipinya.
"Papa..." cicitnya saat melihat papanya berlajan mendekatinya. Rasanya ingin menghambur ke pelukan sang papa tapi sekarang bukan saat yang tepat karena hatinya tidak dapat dibohongi bahwa rasa takut membuatnya enggan dekat dengan papanya. Matanya bergulir mencari keberadaan sang mama yang tetap berdiri di tempatnya dengan tatapan khawatir.
Langkah kaki Austin semakin mendekati Lou, tanpa sadar Falesia juga ikut melangkah mendekati putranya takut sesuatu yang buruk terjadi. Naluri seorang ibu tidak pernah salah saat tiba-tiba pemandangan buruk terjadi dengan sangat cepat. Putranya, Lou Och ditampar sampai terlempar ke lantai dengan keras oleh suaminya. Langkah yang awalnya lambat itu segera dia percepat melihat bagaimana Austin menyeret Lou untuk bangun dari dampak pukulannya.
"Papa... Papa... Sakit..." rintihan itu tidak didengar Austin karena di detik berikutnya dia kembali terlempar dengan keras membentur lantai paviliun. Rasa takut dan rasa sakit bercampur menjadi satu dalam diri Lou. Terlebih melihat sang papa menatapnya tajam, seperti menjelma menjadi monster yang selalu dia takuti saat kecil. Tubuhnya bergerak mundur mencoba menjauh dari jangkauan sang papa sampai tubuhnya didekap seseorang yang merupakan mamanya.
"Apa yang kau lakukan? Berani sekali memukul Lou!" teriakkan tidak terima itu membuat Lou menyembunyikan dirinya di tubuh Falesia, ketakutan.
"Mama... Sakit," adunya dengan terisak. Falesia beralih menatap putranya dan segera bergerak menggendong remaja tersebut. Tidak lupa dia tatap tajam sang suami yang berdiri mematung menatap kepergiannya dengan kosong. Entah apa yang dipikirannya sampai sebuah senyum muncul, kemudian dia melangkah pergi menuju bangunan tempat kerjanya.
Para pelayan juga segera mengambil kembali peran mereka. Ada yang segera mengejar Falesia dan Lou, ada yang berjalan mengikuti sang ketua, dan ada yang kembali ke dapur untuk menyediakan sarapan tuan mereka lagi. Tidak mungkin makanan dingin kembali disajikan.
Lou menatap punggung papanya yang diikuti banyak pelayan. Tangisnya belum reda namun rasa takut itu enyah setelah melihat ayahnya tersenyum. Entah untuk apa senyum itu, Lou tidak mengerti yang pasti senyum itu tampak tulus. Apakah artinya sang papa puas telah memukulnya dan membuatnya merasa menyesal telah menjadi anak nakal? Merasa tetap tidak memgerti, Lou memilih menyembunyikan wajahnya di leher mamanya.
Sesampainya di kediaman Falesia, seorang pelayan dengan cekatan memberikan lap dan air hangat guna mengompres pipi tuan muda yang mulai membiru. Falesia mengobati Lou dengan diam, Lou juga diam tidak berani berucap karena rasa keram di pipinya serta takut mamanya juga ternyata akan memukulnya. Itu bukan tanpa alasan, setiap kali dia membolos belajar sang mama akan memukul pantatnya. Tidak sakit tapi cukup membuatnya kapok setidaknya sampai satu minggu kedepan karena selanjutnya Lou akan mengulang kesalahannya.
"Apakah lebih baik sekarang?" pertanyaan penuh perhatian itu menyeret kembali pikiran Lou yang sempat mengelana tanpa arah. Lou mengangguk meski sebenarnya rasa sakit itu tidak berkurang. Melihat mamanya sangat khawatir membuatnya tidak tega mengatakan pipinya terasa masih sangat sakit.
"Lou baik-baik saja, mama. Maaf karena Lou selalu nakal," ungkapnya dengan kepala tertunduk. Falesia tersenyum lembut melihat putranya bersikap manis. Inilah yang membuatnya tidak pernah kehilangan rasa sayangnya pada Lou, karena anak itu pandai membuat hatinya berseru senang. Melupakan rasa kesalnya karena sikap badung putranya hanya karena suara lirih dan ucapan manis yang bagai candu.
"Kali ini Lou sangat nakal, sampai papa khawatir. Jangan seperti ini lagi Lou, papa akan memukulmu lagi kalau Lou masih nakal," pesan Falesia berusaha menjelaskan tentang apa yang dilakukan sang suami adalah karena dia begitu khawatir kepada Lou, entah sebenarnya seperti itu atau ada hal lain yang membuat sang suami memukul putranya dua kali. Lou tampak mengangguk masih menunduk membuat Falesia tahu betapa anaknya tulus dan sepertinya akan mendengarnya kali ini.
"Lou pikir mama dan papa akan membiarkan Lou tidak belajar karena Lou kabur, tapi ternyata mama dan papa bertengkar. Lou tidak ingin kabur dan membuat kalian bertengkar lagi. Maafkan Lou mama... Lou melihat mama hampir menangis, itu karena Lou yang nakal." Falesia tersenyum dan mengelus rambut Lou, membuat sang empu merasa nyaman dan ikut tersenyum.
"Maafkan papa Lou ..."