"Menurut kamu bagaimana kita membicarakan hal ini kepada kedua orang tua kita, Ben?"
Saat ini Lexi sedang menyandarkan dirinya di dada Ben sambil menonton salah satu serial Netfix yang sedang populer dan menjadi bahan perbincangan banyak orang. Padahal hari sudah semakin malam dan Ben sendiri besok harus berangkat pagi ke kantor.
Tapi, karena permintaan dari Lexi yang memintanya untuk menemaninya untuk menonton. Jadilah Ben sekarang duduk bersama dengan wanita itu di depan televisi seraya melihat tayangan yang ingin Lexi lihat itu.
"Ya, tinggal katakan saja. Apa susahnya."
"Kalau begitu kamu saja yang mengatakannya dengan orang tuaku, aku tidak akan mengatakan apapun. Aku terlalu malu untuk memberitahu mereka." Lexi semakin memeluk erat pinggang Ben dan menenggelamkan wajahnya di dada pria itu, menghirup aroma wangi yang menguar dari dalam tubuh pria tersebut.
Ben tertawa keras mendengar pengakuan dari Lexi, gadis itu malu karena akan memperkenalkan Ben kepada mereka bukan sebagai seorang sahabat Lexi yang sudah mereka kenal. Akan tetapi, sebagai seorang pria yang akan menikahinya.
"Kenapa juga harus malu, mereka sudah mengenal aku dengan baik. Lagi pula Tante Stella selalu bertanya kepadaku seperti, Ben kamu sudah punya kekasih belum. Kalau belum, lebih baik menikah saja dengan Lexi, kalian `kan sudah saling mengenal dengan baik begitu juga dengan keluarga kita. Sudahlah menikah saja kalian berdua, Tante pusing banget melihat kalian berdua belum menikah juga sampai sekarang. Begitu katanya."
Lexi sih percaya-percaya saja jika mamahnya mengatakan hal seperti itu kepada Ben. Karena perempuan paruh baya itu tidak hanya mengatakannya kepada Ben, tapi juga kepada Lexi. Entah sudah berapa kali mamahnya menyuruh Lexi menikahi Ben saja.
Dari pada pusing mencari pria di luaran sana, sedangkan standar Lexi sendiri cukup tinggi. Kalau di pikir-pikir kriteria Lexi memang sangat mirip dengan Ben, entah itu karena dirinya yang sudah lama bergaul dengan Ben.
Sehingga Lexi menjadikan pria itu patokan kekasihnya. Tapi Ben memang sangat sempurna sebagai seorang pria, Lexi sendiri bahkan bingung sendiri kenapa juga pria itu tidak kunjung mendapatkan kekasih dan terus sendirian.
Padahal dengan wajah tampan , sikap baik, dan kantung tebal yang dia punya. Siapa coba yang akan menolaknya, seorang supermodel sekalipun akan jatuh hati kepadanya jika Ben menginginkannya. Tapi sayangnya pria itu tidak tertarik dengan hal seperti itu sama sekali.
"Ya, aku percaya dan itu juga berlaku untuk Tante Harum. Aku skeptis jika mereka berdua sebenarnya merencanakan suatu hal seperti menjodohkan kita berdua. Karena keduanya sangat gencar berbicara seperti ini padamu dan juga aku, seperti membujuk."
Ben setuju dengan Lexi, dia juga memiliki pemikiran yang sama dengannya. Kedua orang tua mereka memang saling mengenal baik, di tambah Ibu Ben dan Mamah Lexi juga memiliki kelompok arisan yang sama.
Jadi intensitas kedua perempuan itu untuk bertemu sangatlah sering. Tidak jarang terkadang mereka suka mendapati status sosial media keduanya yang suka berbelanja bersama berdua. Seakrab itulah mereka berdua.
"Aku rasa juga begitu," jawab Ben seraya mengelus rambut Lexi yang terurai halus.
Tapi tangannya yang bergerak berhenti karena Lexi yang tiba-tiba bangun dari pelukan nya. "Benar bukan, aku sudah menduga nya. Bayangkan betapa senangnya mereka berdua saat kita memberitahu jika kita berdua akan menikah. Aku rasa dunia ini akan di buat heboh oleh mereka."
"Lexi," Ben memanggil namanya dengan suara yang lembut.
"Ya?"
"Kamu menerima lamaran dariku karena kamu benar mencintai aku, bukan karena sebuah janji di masa lalu yang kita pernah buat bukan?" Ben penasaran dengan jawaban Lexi tentang ini.
Bukannya Ben merasa tidak yakin dengan Lexi, hanya saja dia merasa ada mengganjal di dalam hatinya dengan sikap Lexi yang tiba-tiba dapat menerimanya dengan baik. Dia sudah mengenal Lexi untuk waktu yang cukup lama.
Ben sangat mengerti dengan segala sikap yang biasa Lexi tunjukkan dan jika Ben melihat Lexi sekarang. Gadis itu seperti mempunyai batu di dalam hatinya, yang tidak bisa membuat dia mengungkapkan seluruh isi hatinya kepada Ben dengan baik.
"Apa maksud kamu bertanya kepadaku seperti itu. Tentu saja aku menyukai kamu, mungkin karena aku sudah terbiasa dengan keberadaan kamu selama ini sampai aku tidak sadar jika di dalam hatiku sebenarnya tumbuh nama kamu di sana 'BEN'."
Gadis itu menjelaskannya dengan cara yang lucu, menggambar sebuah gambar di atas perutnya yang tertutup kaos putih yang di gunakan nya. Dia mengukir nama Ben menggunakan jari telunjuknya di sana.
Memberitahukan pada Ben, jika di dalam hatinya tersebut terdapat namanya.
Ben tersenyum manis, dia mendekati Lexi dan membawanya kembali ke dalam pelukan nya. Meski Lexi terdengar sangat meyakinkan, Ben masih merasa ada yang mengganjal di sana. Tapi, sepertinya dia tidak perlu memikirkannya untuk saat ini.
Karena bagaimanapun juga Lexi sudah menerimanya dan mereka akan segera memberitahukan pada kedua keluarga mereka. Jika keduanya akan menikah dan mereka berdua saling mencintai satu sama lain.
Ben akan memikirkan hal itu nanti, dia akan bertanya kepada Lexi secara perlahan. Yang terpenting sekarang adalah Lexi sudah menjadi miliknya. Dia akan segera menikahi gadis yang sudah sangat lama dia cintai itu segera.
"Terimakasih karena sudah menerima aku di hati kamu, terimakasih karena sudah mengukir nama aku di hati kamu, Lexi." Ben berbisik tepat di telinga Lexi yang berada di dalam pelukannya.
Lexi membalas pelukan Ben tidak kalah eratnya, menghirup kembali harum dari tubuh pria itu untuk dirinya. Rasanya sangat nyaman dan menyenangkan untuk Lexi, seperti ada orang yang akan melindunginya dari apapun bahkan badai atau tsunami sekalipun.
Hanya pelukan dari Ben yang dapat memberikan kehangatan seperti itu kepadanya.
"Tentu, aku juga berterima kasih kepadamu. Karena sudah melamar aku dan meyakinkan aku dengan perasaan aku sendiri, yang aku sendiri bahkan tidak mengerti jika sebenarnya ada nama kamu di dalam hatiku."
Ben terkekeh geli. "Aku mencintai kamu."
"Aku juga mencintai kamu, banyak banyak."
Ben melepaskan pelukan nya dan memberikan sedikit jarak di antara mereka berdua. Merapikan rambut depan Lexi yang sedikit berantakan akibat pelukan yang baru saja mereka lakukan. "Kenapa harus banyak banyak."
"Ya, pokoknya aku sayang dan cinta kamu banyak banyak banyak."
"Sekarang banyak nya menambah lagi satu?" Ben menjawil hidung Lexi dengan gemas.
"Soalnya hati aku penuh dengan nama kamu."
"Aku tidak tahu jika kamu pandai menggombal, Lexi."
"Sudah lama kamu saja yang tidak tahu dan tidak peka."
"Baiklah, kalau begitu aku juga sayang dan cinta kamu banyak banyak banyak banyak."
Keduanya tertawa bersama penuh dengan rasa bahagia, meski tidak tahu apa yang akan terjadi setelah kebahagiaan ini datang. Jika kata pepatah, jika seseorang merasa sangat bahagia, biasanya kesedihan juga akan segera datang. Tapi semoga hal ini tidak terjadi dengan kehidupan cinta keduanya yang baru saja mengeluarkan tunasnya dari dalam tanah.