Setelah berhasil mengalihkan perhatian Arkan yang bertanya tentang pekerjaannya, kini Lusi sudah kembali ke dalam rumah. Wanita itu buru-buru menghampiri Keke yang tengah duduk di atas sofa sembari memainkan ponsel.
"Ada apa?" tanya Keke, ia menangkap sesuatu yang aneh dari wajah Lusi.
"Arkan sempat curiga dengan pekerjaanku," jawab Lusi.
"Mengapa kau tidak memberitahunya saja? Mungkin dia akan berbeda dengan orang-orang lainnya. Arkan itu orang berpendidikan, ia tidak mungkin memandang pekerjaan orang lain dengan sebelah mata."
"Aku tidak tahu seperti Arkan sebenarnya. Aku hanya tidak ingin hubungan kami menjadi lebih buruk setelah ia mengetahui siapa aku."
"Hubungan? Sejak kapan kau memiliki hubungan dengannya?"
Lusi berdecak pelan. "Hubungan antar tetangga maksudku, Keke! Sudahlah, aku lapar. Kau belum memakan pizza nya, kan?"
"Tentu saja belum. Aku sedang menunggumu yang tak kunjung kembali dari rumah anak bujang di depan sana," ucap Keke, sengaja menggoda.
"Diam dan makan makananmu!."
***
Setelah mengantar Lusi keluar, Arkan kembali dan menatap buku yang berjajar rapi di rak khusus penyimpanan buku.
Pria itu meraih satu buku dan terkekeh pelan. "Ternyata selama ini, kau berada di dekatku?" gumam Arkan. Tangannya mengusap sampul buku tersebut. Sudah lama ia mencari siapa penulis dari buku itu, dan kini secara tidak sengaja Arkan mengetahui semuanya.
"Jika aku tahu itu kau, pasti aku akan bersikap lebih lembut lagi. Tapi, mengapa kau tidak mengakui yang sebenarnya? Mengapa kau harus menyembunyikan identitasmu sebagai seorang penulis?"
Arkan masih tidak mengerti dengan apa yang Lusi rencanakan.Sepertinya ia akan selalu menyembunyikan tentang dirinya sendiri, jika Arkan tidak mencari tahu.
Bertemu dengan idola adalah sesuatu hal yang sangat membanggakan. Selain menyukai karya orang tersebut, Arkan juga diam-diam mengagumi Loucy. Meskipun ia tidak tahu seperti apa rupa wanita itu sebenarnya.
Yang ada di dalam bayangan Arkan adalah, Loucy memiliki wajah yang cantik dan baik hati. Dan ketika ia mengetahui siapa Loucy yang sebenarnya, hatinya sedikit lega karena Lusi sesuai dengan apa yang ia bayangkan.
"Jika Lusi bisa menyembunyikan semuanya, maka aku pun akan menyembunyikan siapa diriku yang sebenarnya." Arkan menyunggingkan senyum penuh arti, namun diberi setitik rasa bahagia di dalamnya.
Pria itu duduk di depan komputer dan mulai membuka situs membaca online. Ia mencari nama Loucy di sana untuk melihat pembaruan wanita itu.
"Tidak ada pembaruan apa-apa. Mungkin karena laptopnya rusak," gumam Arkan. Selama menunggu, ia memutuskan untuk membaca spoiler novel terbaru Loucy yang berjudul Para Pencari Cinta.
Loucy : "Halo semuanya. Maaf baru sempat menyapa. Hari ini ada beberapa kendala yang membuatku sedikit sedih dan tidak bisa menyapa kalian semua."
Arkan tersenyum lebar, tatkala melihat Lusi mengunggah pembaruan di room chat para penggemarnya.
"Ada apa, Loucy? Apa karena laptopmu rusak?"
Pria itu tersenyum miring. Menunggu apa yang akan dikatakan oleh wanita itu.
Loucy : "Benar! Dari mana kau tahu? Apa kau mengirim seorang penguntit untukku?"
Arkan kembali tertawa pelan. Ternyata benar, Lusi adalah Loucy.
"Jangan bercanda, Loucy. Bentuk wajahmu saja aku tidak tahu. Bagaimana aku bisa mengirim penguntit untukmu?"
Ayuuuuuu : "Benar, Loucy. Kami bahkan belum melihat, seperti apa wajah idola kami. Kau tidak pernah mengunggah foto pribadi di dalam akun instagram."
Denada24 : "Ayo unggah, Loucy!"
***
Lusi menutup laptopnya dengan sedikit kasar. Ia menyandarkan punggung sembari melipat kedua tangan di dada.
"Ada apa? Kau dihujat netizen?"
"Atas dasar apa aku dihujat?"
"Lalu, mengapa wajahmu masam? Biasanya kau akan senang setelah menyapa seluruh penggemar."
Lusi menghela napas berat dan memutar kursi menghadap Keke. "Mereka semua mulai menyebalkan, Keke. Mereka memintaku untuk mengunggah foto pribadi di akun instagram. Apa menurutmu mereka mulai gila?"
"Tidak. Menurutku itu normal. Para pembaca hanya ingin melihat, seperti apa rupa penulis buku yang mereka gemari. Menurutku itu tidak salah. Mengapa tidak kau coba saja?"
"Tidak. Aku tidak ingin mengekspos wajahku," ucap Lusi masih tetap mempertahankan keputusannya.
"Kau itu cantik, Lusi. Untuk apa kau malu, huh?"
"Aku sama sekali tidak malu. Hanya saja, aku takut dihujat oleh para netizen jika wajahku tidak sesuai dengan apa yang mereka bayangkan. Sudahlah, aku tidak ingin membahas ini lagi. Aku tetap tidak akan mengunggah foto pribadiku!"
Baru saja Lusi hendak membuka kembali laptopnya, bel rumah mereka berbunyi. Keke memberi kode agar Lusi tetap duduk dan ia yang akan membuka pintu.
"Sebentar!" teriak Keke dari dalam, karena bel yang terus berbunyi.
"Arkan? Ada apa kau kemari?"
"Aku hanya ingin berkunjung. Apakah tidak boleh?"
"O-oh, tentu saja boleh. Silakan masuk." Keke menutup pintu dengan ekspresi wajah bingung. Untuk apa Arkan datang? Apa pria itu benar-benar memiliki maksud pada Lusi?
"Hai, Lusi."
Lusi menoleh dan langsung berdiri ketika melihat Arkan berada di dalam rumahnya.
"Arkan? Ada apa kau datang?"
Arkan mengacungkan sebuah kantung plastik yang ia bawa. "Aku membawakanmu makan malam. Sebagai tanda terima kasih karena kau telah membuatkan jus terlezat yang pernah aku minum."
Lusi melirik Keke yang tengah duduk di depan meja pantri. Wanita itu terlihat seperti sedang menertawakan Lusi secara diam-diam.
"Seharusnya kau tidak perlu repot-repot, Arkan. Aku membuatkanmu jus itu karena kau telah bersedia memperbaiki barangku."
Arkan melirik ke arah laptop yang tergeletak di atas meja. "Lalu, mengapa kau tidak menggunakan laptop itu? Apa masih ada yang rusak?"
"Ah, tidak. Aku sudah menggunakannya tadi. Hanya saja, aku menemukan sesuatu yang tidak enak untuk dilihat."
Arkan menganggukan kepala berulang kali sembari tersenyum kecil. "Kalau begitu, makanlah ini, selagi masih hangat."
"Biar aku yang menyiapkan, kalian lanjut mengobrol saja," sela Keke, mengambil makanan di tangan Arkan.
Arkan dan Lusi duduk di atas sofa yang berbeda. Pria itu memperhatikan isi apartemen Lusi yang terlihat rapi. Semua barang-barangnya pun bersih dan terawat.
"Itu foto siapa?" tanya Arkan, menunjuk salah satu foto seorang anak kecil yang tengah tersenyum lebar.
"Itu adalah aku di masa kecil," jawab Lusi malu.
"Berarti kau sudah cantik sejak kecil, ya."
"Hah?"
"Tidak usah dipikirkan."
Lusi mengusap tengkuknya gerogi. Jika ia tidak salah dengar, Arkan tadi memujinya cantik.
"Makanannya sudah aku siapkan. Arkan, kau juga makanlah di sini," ujar Keke.
Seketika Lusi menoleh pada sahabatnya. "Keke, apa kau yakin meminta Arkan untuk makan malam di sini? Aku takut dia tak terbiasa," ucap Lusi lembut. Dengan kata lain, Lusi tidak ingin Arkan berada di dalam rumahnya.
"Tidak masalah. Aku sangat mudah beradaptasi, dan aku bisa makan di mana saja." Arkan beranjak dari duduknya dan menghampiri meja makan.
Lusi mendekati Keke dan menatapnya tajam. "Mengapa kau meminta dia untuk makan di sini? Apa kau tak tahu, bagaimana suara detak jantungku saat ini?"