Pemuda itu terdiam, dia menatap serius ke arah Arzlan. Matanya memancarkan harapan, supaya Arzlan mau menerima dirinya sebagai murid, namun hati Arzlan tidak pernah berpikir untuk memiliki seorang murid.
"Hoam…." Gadis yang tidur di dalam pedati, sudah bangun dari tidurnya. Dia mulai berjalan menghampiri Arzlan, dengan mata yang masih setengah ngantuk. "Apa yang sedang kalian bicarakan?"
"Bukan apa-apa!" Arzlan lalu meninggalkan tempat itu, dia berjalan masuk ke dalam hutan.
"T-Tuan, apakah Anda benar-benar akan pergi dari tempat ini?" Pemuda itu, ingin memastikan kalau Arzlan memang serius dengan ucapannya tadi.
"Ya, aku masih memiliki banyak tujuan! Kalian, sebaiknya pergi dari desa ini, karena tidak akan aman." Arzlan terus berjalan, sama sekali dia tidak menoleh ke arah belakang, sekarang ia hanya memandang ke arah depan tanpa harus memperhatikan apa yang terjadi di masa lalu.
***
Kematian, bangsawan dan para prajuritnya telah menggegerkan kota.
"Apa yang terjadi di sini?" Zuru, yang berada di kota itu, segera memeriksa mayat dari pria gendut yang tubuhnya tercabik-cabik oleh, serangan brutal.
Beberapa bagian tubuh pria tersebut sudah hilang. Tidak, ada tanda kalau serangan itu, dilakukan oleh manusia atau makhluk hidup lainnya, serangan tersebut persis yang dilakukan oleh makhluk buas.
"Hmm… apakah, kemarin itu adalah orang yang telah membunuh orang-orang di dalam bangunan ini? Tapi apa alasannya melakukan itu? Tidak ada harta, yang diambil, apakah semua ini didasari oleh dendam?" Zuru berusaha untuk mengartikan, semua kejadian yang dilihatnya.
Berita itu, cepat menyebar hingga sampai ke telinga para bangsawan lainnya. Mereka, menganggap ini semua bukanlah fenomena biasa, karena kejadian tersebut tepat muncul setelah bangsawan itu melakukan penyerangan terhadap desa Elf yang berada di utara dari kota.
"Bagaimana, menurutmu? Apakah masalah ini sangat wajar?" Dewan kementerian, istana yang mengurusi permasalahan kerajaan, bernama Vandoru Inzta, sedang mengadakan sidang dengan adipati beberapa wilayah kerajaan.
Vandoru, merupakan ketua dari wilayah adipati yang ada di Kerajaan Scaevola, dirinya tidak bisa membiarkan masalah kecil menimpa negeri. Prinsip yang selalu dipegangnya telah, banyak memadamkan api pemberontakan, ataupun peristiwa lainnya.
Dia terkenal akan kelicikan, yang dibalut dengan kedamaian kerajaan, tidak peduli jika hal yang dianggap adalah sebuah masalah yang akan mengancam kesejahteraan rakyat dia, akan bertindak.
Para adipati lainnya, sudah berkumpul dan mereka menatap Vandoru dengan perasaan takut. Mulut Vandoru menentukan nasib mereka, sebagai adipati.
"Tuan Vandoru, apakah menurut Anda ini bukan suatu kejanggalan?" Seorang pria adipati sebelah selatan, angkat bicara.
"Ya, ini bukanlah fenomena biasa. Selama ini, tidak ada yang berani melakukan tindakan seperti ini para bangsawan, ini menandakan kalau api pemberontakan sudah tersulut. Jika api ini, terus dibiarkan maka seluruh kerajaan akan bisa terancam."
Semua orang, sangat setuju dengan ucapan Vandoru. Mereka memikirkan hal yang sama, namun jauh di dalam hati mereka, mereka tidak ingin hilang kejayaan dan kebebasan dari apa yang mereka dapatkan.
"Sudah aku duga, kalau masalah ini adalah bencana dari, peluasan kerajaan! Ini membuat, pihak Elf dan ras lainnya, mengambil tindakan seperti ini!" Adipati, dari barat menunangkan ucapannya dengan rasa khawatir yang berlebihan.
"Tidak perlu, kau takut seperti itu! Tidak akan mungkin, pihak ras itu melakukan tindakan seperti ini, pasti mereka harus memikirkannya kembali, jika melakukan hal ini itu artinya merek telah menantang perang."
Semua terdiam, ucapan Vandoru membuat mereka sadar kalau hal itu tidak akan mungkin terjadi.
"Lalu, siapa yang berani melakukan hal ini?" tanya dari adipati selatan.
"Kemungkinan, ini terjadi terhadap ras yang tidak memiliki ikatan terhadap, para pihak kerajaan manapun."
"Maksud Tuan, adalah warga sipil yang hidup di alam liar?" ujar adipati barat.
"Ya, itu benar sekali! Karena dari manapun dipikirkan, kalau memang permasalahan ini mungkin berasal dari para Elf liar, atau Beast Human. Mereka, sangat membenci kita, apalagi perluasan wilayah ini telah membuat keresahan terhadap mereka."
"Lalu, apa solusi yang harus kita ambil?" tanya lagi, dari adipati barat.
"Kita, harus segera membuat perhitungan terhadap, seluruh ras yang hidup di wilayah sekitar kerajaan, untuk mereka menyerah atau mati dengan eksekusi!"
Semua setuju dengan, ucapan Vandoru. Kebijakan, yang dikeluarkan sangat sesuai dengan keinginan mereka.
Dengan begini, mereka bisa tetap memperoleh keuntungan dari, para ras yang akan mau tunduk dengan kebijakan yang mereka keluarkan.
Tidak perlu waktu yang lama, setelah kebijakan itu dibicarakan dengan Vilion dan Aaron, mereka sangat setuju.
Pasukan besar, disiapkan. Bukan, hanya melalui kata-kata namun mereka juga akan menggunakan kekerasan, apalagi jika di desa itu, terdapat para wanita muda.
Sehingga, ini lebih disebut sebagai penjajahan. Mereka yang melawan, akan dieksekusi hingga mati.
***
Arzlan, termenung di bawah pohon, dirinya terdiam menatap hamparan lapangan hijau yang sangat luas.
"Entah, sudah berapa lama aku tidak bisa melihat keindahan dunia ini?" Matanya melirik langit, sungguh sangat nyaman, melihat langit biru terang. "Ini, rupanya yang dinamakan kebebasan."
"Hey…."
Dari arah belakang, Arzlan mendengar suara seorang perempuan, ketika dia menoleh itu adalah perempuan yang pertama kali dia selamatkan.
"Kenapa, kau merenung sendirian di sini?" tanya gadis itu, dengan nada ramah.
"Memangnya, kenapa? Apakah aku tidak boleh duduk di sini?" Akan tetapi, balasan yang diberikan Arzlan sangat dingin.
"Uh…." Gadis itu, merasa sedikit terkejut mendapatkan jawaban yang tidak nyaman dari Arzlan. "Tidak, bukan seperti itu. Aku hanya, ingin mengetahui kenapa kau, membuat ucapanmu tadi malam seperti hanya lelucon yang memainkan perasaan mereka?"
Arzlan terdiam, sembari menatap gadis itu. Dia sadar, kalau apa yang dikatakan oleh gadis tersebut memang benar. Seperti dirinya sudah mempermainkan perasaan dari para penduduk.
"Aku, sebenarnya tidak ingin membuat mereka terlibat dalam masalah, lagipula tidak perlu melibatkan orang lain, apa yang aku jalankan, tidak perlu ada yang ikut campur."
"Sudah aku duga, kalau pria ini tidak main-main. Ucapannya sangat serius!" Gadis itu menelan air ludahnya, sendiri disebabkan oleh mengingat ekspresi Arzlan ketika berbicara. "Begitu ya! Lalu, setelah ini, apa yang akan kau lakukan?"
"Aku akan, tetap melanjutkan perjalanan dan tujuanku hanya satu! Yaitu menjadi malaikat maut, demi menghilangkan kezaliman di dunia ini!"
Terdengar sangat, aneh dan tidak rasional, akan tetapi ucapan Arzlan dipenuhi oleh keyakinan tinggi yang tidak bisa dianggap sebagai lelucon.
"Apakah pria ini, benar-benar ingin menegakkan keadilan? Tapi kenapa, aku merasa dia bukan pahlawan yang seperti diceritakan oleh, para orang tua?"
Sosok yang dia ingat, dari cerita orang tuanya. Pahlawan adalah orang yang membela keadilan, dan sangat ramah terhadap seluruh ras, dan Arzlan tidak melambangkan itu semua.
Hanya, ada aura membunuh, yang menyebar di sekelilingnya.
___To Be Continued___