Naina terlihat gelisah saat mata elang itu terus tertuju padanya. Sejak tadi ia berusaha menghindari tatapan itu, tatapan penuh intimidasi. Sungguh penyesalan terbesar untuknya karena duduk di deretan paling depan dan paling dekat pula dengan keberadaan lelaki itu. Immanuel Alec Xavier. Itu lah nama yang lelaki itu sebutkan beberapa menit yang lalu. Memang nama yang indah, seindah parasnya yang elok. Si mata elang bernetra coklat keemasan, rahang tegas, hidung bangir dengan tubuh atletis yang mampu menggoda iman para kaum hawa yang melihatnya. Termasuk Naian tentunya.
"Nai, gw rela kalo dia berada di atas gw dan gw dibawahnya. 1000% gw bakal mendes*h sepanjang malam. Gateng banget, pasti anunya muasin banget kan?" Kata Angel yang sama sekali tidak dipahami Naina.
"Ngomong apa sih?" Mata gadis itu masih tertuju pada lelaki dihadapannya yang tengah memberikan beberapa motivasi. Dan mata elang itu sesekali melirik ke arah Naina berada. Membuat jantung gadis itu berpacu hebat.
"Aaa... dia ngelirik ke sini terus. Apa dia demen ama gw ya, Nai?" Angel mengamit tangan Naina dengan erat.
"Idih, geer banget sih lo. Yang di lirik itu gw." Sontak Angel langsung menoleh saat mendengar itu.
"Dari mana lo tahu dia ngelirik elo?" Tanya Angel seolah tak terima jika perkataan Naina itu benar.
"Malam tadi gw ketemu dia di Bar," jujur Naina yang berhasil membuat mata Angel melotot.
"Serius? Demi apa?"
"Demi Alex."
"Ih... gw serius juga." Bisik Angel mulai kepo.
"Ya serius lah, gw gak sengaja nabrak dia malam tadi." Kata Naina sekenanya. Tentu saja Angel percaya itu.
"Wih, kayaknya dia naksir sama lo deh." Ujar Angel.
Naina yang mendengar itu tersenyum kecut. "Gw gak mau geer dulu."
"Iya juga sih, tapi apa salahnya lo cari pepet dia. Gw denger dia itu duda loh."
"Hah? Serius?" Mendengar itu Niana mendadak semangat. Paling pantang denger yang matang-matang.
"Iya, lo kan suka sama yang mateng-mateng kayak dia." Angel memainkan alisnya.
"Iya juga sih, harus gw cobak mana tau emang jodoh kan?" Ujar Naian dengan senyuman penuh muslihat. Bahkan kini dengan berani matanya menangkap pandangan lelaki di atas podium. Lalu mengedipkan sebelah mata saat lelaki itu melihat ke arahnya. Sontak lelaki itu terkejut dan mendadak salah tingkah. Naina yang melihat itu tersenyum geli.
Usai acara penyambutan itu, Naina terus mengikuti ke mana pun langkah lelaki bule itu secara diam-diam. Entah mengapa ia sangat penasaran dengan sosok putih berparas tampan itu. Naina bersembunyi di balik tiang beton dan menempel seperti cicak untuk mendengar pembicaraan lelaki itu dan mengorek sedikit informasi.
Gw harus bisa mikat dia, siapa suruh lo ngusik kehidupan gw. Gak ada yang bisa tahan sama pesona gw meski gw barbar.
"Naina, sedang apa kamu di sini?"
Gadis bertubuh pendek itu terperanjat kaget dan langsung berbalik. Seketika senyumannya mengembang saat melihat seorang guru cantik tengah menatapnya bingung.
"Eh Ibu, itu tadi mau ke toilet. Terus lupa jalan, Nai ke kelas dulu ya buk." Gadis itu pun langsung melesat pergi menuju kelasnya. Sedangkan sang guru hanya bisa menggeleng melihat tingkah siswa yang satu itu. Tak hahis-habisnya Naina membuat ulah di sekolah. Tak jarang pula guru-gurunya di buat pusing oleh anak yang satu itu.
Sepanjang jalan menuju kelas, Naina terus menggerutu karena ia tak berhasil mendapat informasi apa pun dari lelaki itu.
"Sial! Gimana caranya ya gw bisa deket sama dia?" Naina terus berpikir keras sampai tak menyadari seorang lelaki berdiri di depannya dengan senyuman jahil.
Bruk!
Tubuh mungil itu menubruk dada bidang seseorang. Refleks ia pun langsung mendongak.
"Woi, ngapain lo di tengah jalan? Sialan lo, pesek idung gw nih." Repet Naina seraya mengusap hidung kecil tetapi lancip itu dengan lembut.
"Gimana ceritanya idung lancip lo jadi pesek?" Ledek lelaki itu tertawa kencang.
"Sialan lo, Ga! Mana ada idung lancip? Lo kira ujung pisau lancip? Awas, gw mau ke kelas." Naina hendak pergi dari sana, tetapi Angga lebih dulu menarik kerah bajunya seperti mengepit anak kucing. Gadis itu pun mundur perlahan dan kembali pada posisinya.
"Apaan sih? Jauhin tangan lo." Ketus Naina seraya menepik tangan si Angga.
"Nai, temenin gw dong, please." Angga menangkup kedua tangannya di dada.
"Kemana?"
"Belakang sekolah."
"Ngapain?"
"Pokoknya lo temenin aja gw, ayok." Tanpa menunggu persetujuan, lelaki itu langsung menarik Naina ke belakang sekolah dimana hanya ada sebuah gudang usang.
"Lo tunggu di sini, tar kalau ada guru lo panggil aja nama gw tiga kali."
"Jir, udan kayak jin aja lo. Emang mau ngapain sih?" Tanya Naina penasaran.
"Biasa, nyoblos." Jawab si Angga sambil cengengesan.
"Nyoblos siapa lagi lo kali ini? Udah jadian lo sama si Lela yang seksi itu?" Pekik Naina yang langsung dibekap oleh Angga. Lelaki itu melihat kiri dan kanan karena takut ada yang mendengar.
"Jangan kenceng-kenceng." Bisik Angga mulai panik. Sedang Naina memukul-mukul tangan Angga karena hampir kehabisan napas.
"Eh sorry, lupa gw kalau elo itu kecil." Si Angga pun menarik tangannya menjauh dari mulut Naina.
"Sialan lo! Hampir mati gw." Kesal Naina. Dan tidak lama dari itu seorang wanita cantik menyembul dari balik pintu gudang.
"Angga, buruan gak tahan." Rengek wanita itu sembari menggigit ujung bibirnya.
"Lo seriusan mau nyoblos? Terus ngapain bawa gw?" Kesal Naina dengan suara tertahan.
"Jagain pintu lah, kayak yang gw bilang tadi. Kalau ada guru datang lo panggil nama gw tiga kali okay?"
"Terus gw di sini dengerin suara kalian gitu? Kalau gw pengen gimana?"
"Lah, minta aja sama gw. Gw bakal kasih dengan ikhlas kok." Sahut Angga dengan senyuman lebar.
"Idih, ogah gw sama playboy kayak elo. Udah sana buruan, lima menit aja."
"Lah, mana cukup lima menit. Baru masuk ujungnya doang Nai."
"Ih... dasar mesum. Sana pergi." Naina mendorong tubuh Angga dengan sekuat tenaga. Sedangkan si empu malah tertawa renyah dan langsung masuk ke gudang itu.
Beberapa detik kemudian mulai terdengar suara-suara aneh dari sana.
Uh... sakit Ga. Punya lo gede banget.
La, punya lo beneran sempit. Punya gw dijepit kuat. Ah... gw gerak ya?
Iya, pelan-pelan masih perih soalnya.
"Woi, pelanin dikit suara kalian." Naina sedikit berteriak.
Ga... kencengin geraknya. Enak banget. Ah... uh... iya kayak gitu.
Naina menggeram kesal karena mereka sama sekali tidak mendengarkan peringatannya.
La, gw mau sampe.
Gw juga, Ga. Ah... faster.
Naina tersenyum jahil. Kemudian berdeham tiga kali. "Angga... Angga... Angga."
Beberapa detik kemudian lelaki dengan penampilan acak-acakan keluar dari gudang. Bahkan ikat pinggang lelaki itu belum terpasang. Kancing seragamnya juga belum terkancing semua. Naina yang melihat itu menahan tawanya.
Mampus lo, gw kerjain kan?
"Siapa yang datang?" Panik Angga segera memasang sabuk dan kancing seragamnya.
"Tadi ada Pak Banu lewat, gw panik makanya manggil elo. Suara kalian gede banget soalnya." Bohong Naina terkikik geli dalam hati.
"Ck, sialan! Padahal gw hampir meledak tadi." Umpat Angga menjambak rambutnya frustasi.
"Terus si Lela mana?" Tanya gadis mungil itu menengok ke arah pintu gudang.
"Kayaknya dia gak bisa jalan, soalnya masih perawan tadi pas gw coblos. Kayaknya gw cabut nih, mau lanjut yang tadi di kosan aja. Masih pengen gw." Ujar Angga dengan entengnya.
"Emang brengsek lo, anak orang lo rusak. Gw cewek cuk, gw bogem burung lo baru tahu." Kesal Naina menunjukkan kepalan tangannya ke depan wajah Angga.
"Lo mah cewek jadi-jadian. Btw makasih udah mau jadi bodoguard gw. Besok gw balen apa yang lo mau deh."
"Beneran? Gw pengan pizza yang semeter itu boleh?" Naina memberikan tatapan antusias.
"Boleh, apa sih yang enggak buat cabe rawit kayak elo?"
"Enak aja lo samain gw sama cabe rawit. Gak sekalian aja cabe gombong?" Kesal Naina.
"Iya deh maaf."
"Maafnya tar aja ya pas lebaran." Sinis Naina yang langsung beranjak dari sana.
"Mau kemana Nai?" Teriak Angga.
"Ngejar cinta Om duda tejir melintir." Sahut naina tanpa melihat lawan bicaranya.
"Kalau butuh bantuan bilang aja sama gw."
"Okay." Naina mengacungkan jempol sebelum menghilang di lorong sekolah. Sedangkan Angga hanya tersenyum mesem. Kemudian kembali ke dalam gudang.