Naina terus berjalan melalui lorong sekolah sambil bersenandung ria. Dan saat ia melewati toilet guru, tiba-tiba saja ia mendengar suara aneh dari dalam sana.
Enghhh... faster Mr. Ah... lebih keras.
"Lah, siapa itu? Gak nyangka ada guru yang ikutan nyoblos kayak si Angga. Kerjain ah, mau liat gw siapa yang berani mesum di sekolah."
Naina celingak-celinguk melihat kondisi dan situasi. Setelah di rasa aman dia pun masuk ke toilet guru yang sudah pasti murid di larang masuk. Namun, bukan Naina namanya jika menaati aturan.
Tentu saja suara aneh itu semakin jelas terdengar. Bahkan Naina bisa menebak di sebelah mana gurunya itu berada.
Oh... enak banget Mr, lebih kenceng.
"Lah, kayaknya ada yang main solo nih." Gumam Naina terkekeh dalam hati.
Naina pun mulai menggencarkan aksinya. Ia sedikit berjongkok dan mengarahkan ponselnya di sela pintu bagian bawah. Kemudian mulai merekamnya.
Jir. Ternyata Buk Selly, mana lebat lagi hutannya. Siapa yang dia bayangin tuh? Kok bilang Mr sih?
"Mr... ah... lebih dalam lagi... ahh... faster."
Mampus lo, gw manfaatin. Kan lumayan gw gak perlu belajar sejarah. Tinggal pake video ini aja gw bisa dapat nilai tinggi. Naina tersenyum miring.
Setelah puas merekam, Naina kembali berdiri dan menyimpan video itu rapat-rapat. Kemudian ia menggedor pintu toilet dan langsung melesat keluar. Lalu bersembunyi di balik pilar. Menunggu guru mesum itu keluar. Benar saja, tidak lama dari itu keluar seorang guru muda dengan keringat bercucuran. Wajahnya terlihat pucat pasi karena ketakutan. Naina pun terkekeh lucu dan langsung keluar dari persembunyian.
"Ekhem." Naina bersandar di pilar sambil memutar-mutar ponselnya. Sontak guru itu semakin panik saat melihat keberadaan Naina.
"Habis ngapain, Buk? Asik banget kayaknya?"
Guru bernama Selly itu memberikan tatapan tajam pada Naina. "Ngapain kamu di sini?"
"Habis mergokin guru mesum. Ibu mau liat videonya?"
Seketika wajah Ibu Selly itu pun merah padam karena malu. "Kamu rekam?" Geramnya meski suaranya sengaja di tahan.
Dan tanpa rasa dosa Naina mengangguk. "Lumayan buat mengisi kolom berita sekolah."
"Naina." Geram Ibu itu dengan kedua tangan yang mengepal. "Hapus atau nilai kamu saya buat merah." Ancamnya.
"Lah si Ibu malah ancam saya, Ibu gak takut videonya tersebar?"
"Hapus, Naina." Geramnya dan langsung mendekati Naina. Bahkan berusaha merebut ponsel Naina. Hanya saja ia lupa jika muridnya itu cukup gesit dan berhasil menghindar.
Sial! Dasar rubah licik. Bisa bahaya kalau video itu tersebar. Pikir Buk Selly.
"Okay, apa syarat supaya kamu menghapus video itu?"
Seketika wajah Naina bersinar. "Gampang, atur aja nilai buat saya, Buk. Saya jamin videonya aman."
Buk Selly menghela napas berat. "Baiklah, saya akan atur itu. Tapi hapus sekarang videonya."
"Eitss... mana bisa. Saya harus pastikan dulu dong nilai saya. Saya akan hapus di hari kelulusan di depan ibu langsung. Saya janji deh."
"Gak bisa gitu."
"Kenapa gak bisa? Atau...."
"Iya... iya... saya janji bakal kasih kamu nilai tinggi. Awas aja kalau video itu tersebar."
"Yes! Okay Ibu cantik, saya senang kalau gini. Ibu gak usah cemas, videonya aman sama saya."
"Beneran?"
"Iya Ibu Cantik."
"Oke, kita sudah sepakat. Jangan ada pengkhianatan di antara kita."
"Buk, saya itu gak pernah ingkar janji."
"Ya sudah, sana masuk kelas."
"Okay Ibu cantik." Naina tersenyum bahagia dan langsung melenggang pergi. Kemudian berteriak. "Buk, hutannya dipangkas ya? Jangan terlalu lebat."
Sontak Buk Selly kaget mendengarnya. "Naina! Dasar rubah licik."
Naina tertawa puas karena berhasil mengerjai gurunya.
****
Usai sekolah, Naina langsung pulang ke rumah. Dan seperti biasanya, rumah selalu sepi karena semua penghuni rumah masih pada kerja. Hari ini gadis itu merasa lelah dan ingin beristirahat di rumah.
"Bik, buatin aku es jeruk ya?" Teriak Naina seperti biasanya.
"Baik, Non." Sahut si Bibik dari arah belakang. Setelah mendengar sahutan itu Naina pun langsung menaiki anak tangga yang membawanya ke kamar.
Sesampainya di kamar, gadis mungil itu langsung menjatuhkan diri di atas kasur. Kemudian tersenyum lebar. Entah kenapa wajah lelaki tampan itu melintas dalam pikirannya. "Oh... kenapa ciptaanmu yang satu itu sangat tampan, Tuhan."
Naina mengubah posisinya menjadi duduk. Kemudian mengambil ponselnya dan membuka galeri. Lalu memilih gambar si duda tampan yang ia ambil di sekolah tadi.
"Kita pasti ketemu lagi, Om." Naina tersenyum kemudian menaruh ponselnya di atas nakas. Setelah itu ia langsung beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Usai mandi, Naina duduk di sofa. Menyesap jus kesukaannya yang sudah ada di atas meja sedari tadi. Dan tidak lama dari itu ia mendengar suara deru mobil di bawah sana. Karena penasaran ia pun mengintip di jendela. "Lah, tumben si Abang udah balik jam segini?"
Naina hendak menutup gorden, tetapi pergerakkannya tertahan saat menangkap sosok tampan yang keluar dari mobil Abangnya. "Huaaaa... apa gw gak salah liat?"
Gadis itu menepuk-nepuk pipinya, mencoba meyakinkan jika ia tidak sedang mimpi. "Ya ampun, gw gak mimpi. Itu beneran Abang gw bawa si Om duda ganteng?"
Karena penasaran, Naina pun langsung keluar dari kamar dan langsung menuruni anak tangga. Namun sesampainya di lantai bawah, ia bersikap seolah tidak tahu apa-apa. Sampai pintu pun terbuka.
"Nai. Udah pulang kamu?" Sapa Bang Bagas.
"Udah baru aja." Mata Naina pun bertemu dengan mata elang milik Manuel. Tentu saja lelaki itu terkejut saat melihat keberadaan Naina.
"Nai, ini temen Abang. Namanya Manuel. Panggil aja Bang Manu." Ujar Bang Bagas mengajak Manuel.
"Adik kamu?" tanya Manuel pada Bagas.
"Iya. Adek gw yang paling jahil."
Naina tersenyum malu dan malah duduk di depan lelaki itu.
"Eh, ngapain kamu duduk di situ? Sana buatin minuman." Tegur Bang Bagas.
"Dih, gw bukan babu. Suruh aja Bibik buatin. Apa perlu gw teriak?"
"Gak usah, tar gw aja yang ke dapur. Tunggu ya, Nu." Bagas mendengus sebal dan langsung beranjak ke dapur.
Dan sekarang hanya ada Naina dan Manuel di sana. Naina menatap lelaki itu dengan senyuman nakal. "Om, udah lama kenal Abang saya?"
Manuel mengangguk pelan. "Kamu yang malam tadi di Bar itu kan?"
"Cie... masih ingat aja si Om. Punya kesan pertama ya?"
Manuel mendengus sebal. "Lupakan."
"Lupain apa sih Om? Emang kita ngapain tadi malam?"
Manuel melotot mendengar jawaban gadis itu.
"Ada apa?" Tanya Bagas bergabung kembali.
"Gak ada, Bang. Cuma ngobrol kecil aja tadi. Iya kan, Om?" Naina tersenyum penuh arti.
"Om? Gw gak salah denger?"
"Enggak, kan sebenernya lo udah tua Bang. Cuma karena lo Abang gw makanya gw panggil Abang."
"Sialan. Udah sono pergi. Jangan ganggu kita." Usir Bagas.
"Dih... main usir-usir aja. Minta duit dong, paket internet gw hampir habis." Naina menengadahkan tangannya.
"Lah, kemana uang jajan lo tiap hari? Masak iya seratus ribu lo habisin sehari." Heran Bagas.
"Itu mah beda, uang jajan ya uang jajan. Uang paket lain lagi. Lagian lo banyak duit pelit banget sama adek. Sini mana dua ratus ribu?"
"Dih... pake nominal segala lagi. Nanti gw kasih, sekarang lo pergi. Jangan ganggu qualiti time kita."
Naina menyebikkan bibirnya dan langsung berdiri. Sebelum pergi ia sempat mengedipkan mata pada Manuel. Membuat lelaki itu keheranan.
"Lah... malah kedip-kedip mata. Sakit mata lo?" Sambar Bagas yang juga melihat itu.
"Sorry, adek gw emang rada-rada."
"Hm. Sebenarnya kita udah pernah ketemu. Gw ketemu dia tadi malam di club." Adu Manuel.
"Apa?" Kaget Bagas.