CHAPTER 7
"Every big step requires great struggle too. There is a lot that awaits ahead, including victory." - Sean Xavon.
…
"Silly darling."
Sean mendengar apa yang dikatakan oleh Erica karena mereka masih terhubung satu sama lain. Ya, ia belum mematikan sambungan kamera yang dengan sukarela ia membiarkan kekasihnya untuk menyaksikan apa yang tengah ia kerjakan.
"Pffttt." Hampir saja Sean tertawa, ia menahannya. Setelah itu ia kembali bersikap profesional, lalu menekan hidden button yang terdapat di kacamata yang bertengger di ujung pangkal hidungnya.
"Not Sean if I don't rack my brains to find a way out, honey."
Setelah itu, dari kacamata tersebut terdapat scan yang membantunya memungkinkan mendapatkan jalan keluar. "Fuck." Dan satu-satunya jalan keluar yang terdeteksi hanya pintu toilet yang menjadi jalan masuk dan jalan keluar.
"Sir, don't forget you have about thirty seconds to get out of there." Terdengar Theo yang berbicara, dan hanya mendapatkan anggukkan kepala singkat dari Sean yang kini sudah keluar dari bilik kamar mandi. Ia yang tadinya memakai jas formal, berganti menjadi jas biasa.
Mau tidak mau, Sean akan memakai teknologi yang baru D. Krack kembangkan. Ya, penyamaran dengan face change. Tidak ada seseorang yang akan mengenalinya ketika ia keluar dari toilet.
"Face changing system counts down five seconds from now." Suara sistem yang hanya bisa di dengar oleh Sean pun mengatakan peringatan.
Sean bersiap. Entah sistem ini sudah teruji 100% oleh D. Krack atau belum, tapi jika terjadi sesuatu pada dirinya, ia tidak akan segan-segan menghabisi sohib dalam jaringan kriminal.
Hitung mundur pun terdengar, sampai pada akhirnya…
"Three, Two, One!" Terdapat sinar yang terpantul di sekitar Sean, hanya seperkian detik, dan… "Success, Mr. Sean."
Tanpa banyak basa basi, Sean keluar dari bilik toilet dan melihat wajahnya di cermin. "Okay, not too bad. Tapi lebih tampan wajah ku yang sesungguhnya,"
Pantulan di cermin yang memantulkan wajah Sean, terlihat seperti bukan Sean, ya wajahnya telah berubah 100%. Bahkan, ia sendiri pun tidak mengenali wajahnya yang di cermin.
"Sir? What are you waiting for? get out of there right away, now!"
BRAK!
Bersamaan dengan ucapan Theo yang memerintahnya untuk segera keluar dari toilet, pintu toilet di dobrak oleh seseorang di kuar sana sampai hancur berkeping-keping. Dan Sean dapat melihat jika ada beberapa bodyguard yang masuk.
"Stupid, but keep calm." Sean bergumam.
Langkah selanjutnya adalah, ia menjadi seperti orang asing yang bodoh dan tidak tau apa-apa.
Beberapa bdyguard tersebut yang melihat Sean seperti orang asing pun tidak peduli dengan keberadaannya.
"Kau ingin diam di sana atau aku akan mematahkan leher mu?" tanya salah satu bodyguard dengan nada bicara yang kasar.
Sean membenarkan letak kerah jas-nya. "Santay saja, aku hanya membenarkan penampilan. Permisi, Tuan-tuan." ucapnya dengan sangat tenang dan terdengar sopan.
Sebelum ia menjadi tersangka selanjutnya, Sean langsung keluar dari toilet dan menuju pintu belakang sebagai pengakhiran.
"Belok ke kanan mu, Tuan. Di sana ada tempat sampah, tapi jangan khawatir itu akan membawa mu ke jalan kecil di sisi lain, cepatlah."
"Kau adalah asisten yang bawel, Theo. Kau juga cepat keluar, dan rampas kopernya selagi para bodyguard sibuk."
Setelah itu, Sean dengan cepat menuju tempat yang di maksud dan masuk ke dalam tempat sampah yang benar saja sangat bersih dan tidak menggambarkan kalau itu adalah tempat pembuangan sampah.
"One mission completed."
Di sisi lainnya …
"MOVE! YOU ARE LOOKING FOR A SUSPENDED AT THE FRONT DOOR, THE BACK DOOR, EVEN ALL THE ROOMS THAT ARE HERE!"
Karena perihal tertembaknya bos besar mereka, semua bodyguard bertindak dan mengambil gerakan secara langsung. Mereka menahan seluruh orang yang mengunjungi toko roti ini, tidak ada yang boleh keluar, dan mereka menahan pelanggan yang ingin masuk sekedar membeli.
"Periksa seluruh pelanggan, jangan ada sampai yang terlewat. Seluruh karyawan juga tolong berkumpul disini!"
Seruan dari kepala bodyguard pun akhirnya turun tangan, mengumpulkan semua orang yang ada disini, yang bisa saja menjadi tersangka utama.
Seorang laki-laki yang kebetulan duduk di sudut ruangan, tampak gugup. Ini adalah pertama kalinya ia bekerja berdampingan dengan Sean. Dan hei, ia tidak ingin kehilangan kepercayaan pembunuh bayaran yang sangat diagungkan di seluruh penjuru hal yang berbau kriminalitas.
"I'd rather just die." gumamnya sambil meneguk saliva dengan susah payah.
"Ya, lakukan bodoh. Sudah ku bilang daritadi kalau kamu harus segera kabur, dan apa tindakan mu? Masih mengutak-atik layar laptop." Terdengar suara Sean dari alat komunikasi yang memang saling terhubung satu sama lain.
"You know? I have done what I can."
"Well then, do your own thing and that means I'm not helping you. Think of it as your aptitude test working side by side with me, amigos."
"But—"
Terdengar seperti sambungan suara terputus, dan itu membuat Theo menghela napas. "Sial."
Mau tidak mau, Theo akan melakukannya sendirian. Ia melirik ke arah Oveline, terlihat wanita itu seperti meminta tolong padanya, ia langsung mengalihkan pandangan dan tidak peduli.
Mengerti dengan langkah apa yang harus ia ambil selanjutnya, Theo lebih dulu melirik ke arah koper yang kini berada di salah satu meja yang dilingkari oleh bodyguard Albert, si laki-laki yang telah tewas.
Koper yang kini berada di tangannya sama persis dengan koper yang menjadi incarannya, sungguh. Dan dalam detik selanjutnya …
"EXCUSE ME, HEY KALIAN PARA LAKI-LAKI BERTUBUH BESAR!"
Tentu tingkah Theo menjadi pusat perhatian. Untung saja menyamaran di wajahnya cukup bagus, sehingga ia tidak akan di kenali sebagai Theo, si laki-laki pembunuh bayaran kelas kakap.
"Siapa yang berani menyela saat kita sedang melakukan penggeledahan?"
"Of course I am, call me Mr. Leo right now."
"Dengan alasan apa anda menyelak—"
"Bisakah kalian memeriksa ku terlebih dulu? Aku tidak memiliki waktu untuk pemeriksaan ilegal kalian," Theo dengan berani melangkahkan kaki mendekati para body guard itu.
Setelahnya, ia meletakkan kopernya bersebelahan dengan koper yang di bawa oleh Albert sebelum laki-laki tipu muslihat itu tewas.
Merentangkan tangan bersiap untuk di periksa, tenang saja jas-nya dilengkapi pelindung yang artinya all his spy tools will be undetected.
Para bodyguard menatap satu sama lain, namun tak ayal salah satu dari mereka menggeledah tubuh Theo bahkan jas-nya juga di periksa.
"Dia aman, boleh keluar."
Theo sedikit merapihkan jas-nya yang tampak berantakan hasil di geledah oleh orang besar di hadapannya. "Baiklah." Ia kembali mengambil koper miliknya. Koper miliknya? Salah. Ia menukar koper miliknya dengan koper milik Albert yang kini sudah berada di genggamannya. "Thank you, and good luck to you all."
Dan Theo sambil keluar dari toko roti itu dengan langkah yang gagah, seolah instrumen music epic cinematic cahaya kemenangan mengiringi setiap langkahnya.
"I have proven to you that I am worth working with Mr. Sean."
…
Next chapter