Chapter 30 - Munafik

Setelah makan siang bersama ibunya, Adriana memutuskan untuk beristirahat di kamarnya sambil menemani Evan yang sedang tidur. Dia merogoh saku celana jeansnya lalu mengeluarkan ponselnya dan melihat postingan-postingan akun Instagram yang dia ikuti. Wanita itu melihat postingan suaminya yang menunjukkan kebersamaan dengan gadis lain.

"Cantik dan seksi. Benar saja dia langsung mengabaikanku sebagai istri karena cinta lamanya memang sangat menarik," gumam Adriana dengan hati yang terluka karena foto itu menunjukkan Mark mencium pipi Maura dengan latar belakang seperti berada di kamar. "Mungkin selama ini mereka bermesraan di belakangku.... perceraian memang lebih baik."

Ting Tong...

Terdengar bel berbunyi.

Adriana menghela napas meletakkan ponselnya ke sembarang arah, lalu menatap langit-langit kamar. "Siapa lagi yang datang? kenapa selalu ada tamu saat aku ingin istirahat!"

Karena bel terus berbunyi dan tidak ada yang membukakan pintu, akhirnya Adriana turun dari tempat tidur dan berjalan ke ruang tamu. Dia melewati ruang tengah dan melihat Amanda tidur di atas karpet berbulu halus berwarna abu-abu. "Pantas saja tidak ada yang membuka pintu, ternyata dia sedang tidur."

Ceklek...

Adriana menghela nafas saat melihat tamu yang datang. "Mark...."

"Maaf jika aku mengganggu waktu istirahatmu. Aku ingin bertemu Evan karena aku merindukannya," kata Mark dengan tatapan datarnya.

"Dia sedang tidur," kata Adriana dengan sangat malas. Barusan dia melihat potret kemesraan suaminya dengan wanita lain, dan sekarang malah datang untuk melihat putra mereka. Bahkan, dia berusaha untuk melupakannya dan mengubur cintanya.

"Kalau begitu biarkan aku menemaninya di kamar ... aku ingin melihatnya, memeluknya ... tanpa dia aku merasa kesepian," kata Mark memohon.

Adriana tersenyum tipis setelah mendengar kata-kata Mark yang seperti menyesal ditinggalkan Evan. Dari foto tadi, suaminya terlihat bahagia dan tidak kesepian sama sekali. 'Kamu munafik,' pikirnya.

"Silakan masuk. Aku akan buatkan kopi untukmu," seru Adriana sambil melangkah kembali ke dalam rumah, mempersilahkan Mark juga masuk, dan langsung menuju kamarnya.

Mark memasuki kamar sederhana milik Adriana yang sangat berbeda dengan kamar mewah miliknya. Dia duduk di tepi tempat tidur, menatap sedih pada putranya yang sedang tidur sambil memeluk guling. Pria itu mengusap kening putranya yang berkeringat karena suasana yang cukup panas dan ruangan yang sempit membuat suasana menjadi pengap.

"Jika dia ikut tinggal denganku, dia akan tidur di kamar dan rumah yang lebih nyaman," gumam Mark lalu mencari buku atau sesuatu di atas meja untuk mengipasi Evan agar dia tidak kepanasan.

Untuk beberapa saat, Mark akhirnya tertidur sementara Adriana memilih untuk berbaring di karpet bersama Amanda yang sedang tidur. Dia enggan mengikuti Mark ke kamar karena sesegera mungkin mereka bukan lagi suami istri.

"Mama...!"

Terdengar teriakan dari dalam kamar. Adriana bergegas ke kamar dan melihat Evan jatuh dari tempat tidur sementara Mark sedang tidur nyenyak.

Adriana segera mendekati Evan dan membawanya kembali ke tempat tidur dan mencoba menenangkannya dengan memeluknya. "Jangan menangis lagi. Mama di sini," katanya.

"Astaga, kenapa dia?" tanya Mark yang baru bangun dan melihat Evan menangis.

"Jatuh dari tempat tidur," jawab Adriana dengan tatapan datar. "Aku memercayaimu untuk menemaninya tetapi kamu tertidur dan lalai menjaganya sampai dia jatuh!"

"Dia jatuh karena tempat tidurmu terlalu sempit. Dia lebih baik ikut denganku, tinggal di rumahku yang lebih nyaman daripada di sini pengap dan sangat panas!"

"Jadi... Kamu akan membuatnya terpisah dariku dan kemudian membuatnya diurus oleh ibu tiri? Kamu sangat egois, Mark!" Adriana menatap Mark yang berkata dengan mudah, tanpa memikirkan betapa menyakitkannya bagi seorang istri yang telah dikhianati untuk dipisahkan dari anaknya.

"Aku melakukan yang terbaik untuk Evan, aku tidak ingin dia hidup dalam kekurangan dan kesulitan!"

"Hal terbaik bagi Evan adalah tetap bersamaku..Aku bisa membuatnya bahagia, memenuhi semua kebutuhannya. Dia tidak perlu tinggal di rumah mewahmu, dia hanya akan semakin terluka karena nenek atau bibinya tidak pernah memikirkannya dan menganggapnya ada!" Adriana menegaskan lalu berdiri dan meminta Evan untuk meninggalkan ruangan.

Mark mengikuti Adriana yang berjalan ke ruang tamu, kemudian duduk di sofa dengan Evan yang masih menangis tersedu-sedu. "Biarkan aku menggendongnya," ucapnya

"Kamu bersama papa sebentar. Mama akan buatkan susu," kata Adriana, lalu membiarkan Evan digendong Mark.

Adriana bergegas membuat susu dengan tergesa-gesa. Bukan tanpa alasan, tapi dia terlalu takut Mark akan mengambil Evan tanpa sepengetahuannya.

___

Di ruang tamu, Mark mengajak Evan untuk duduk santai sambil memainkan ponselnya. Dia mengajak anaknya bermain cacing pemakan segala.

"Wah, papa kalah sekarang, kamu coba mainkan," seru Mark sambil menyerahkan ponselnya kepada Evan.

Evan pun langsung senang dan langsung mulai memainkan game tersebut. Namun sesaat, ponsel itu berdering karena ada panggilan masuk dari Maura.

Mark mengambil ponsel itu dan menjawab panggilan Maura. "Halo, Maura."

"Kamu di mana? Aku batal mewarnai rambutku. Sekarang kamu harus mengantarku pulang karena papa dan mama ingin berbicara denganmu," kata Maura dari telepon.

Mark terdiam sejenak, melirik Evan yang mulai nyaman duduk di pangkuannya dan Adriana datang dengan susu untuk Evan. "Oke, aku akan segera ke sana ...'

Adriana duduk di sofa, memperhatikan Mark yang baru saja menutup telepon.

"Adriana. Aku harus pulang karena aku ada urusan penting," kata Mark lalu mengeluarkan dompet dari saku celananya. Dia mengambil kartu kredit lalu memberikannya pada Adriana. "Beli tempat tidur yang lebih besar untukmu dan Evan agar dia tidak terjatuh seperti tadi."

"Tidak, aku bisa membelinya sendiri dengan uang tabunganku." Adriana langsung menolak.

"Kalau begitu simpan uang ini. Siapa tau kamu tahu kamu membutuhkannya. Tolong jangan ditolak karena ini adalah kewajibanku sebagai ayah Evan," seru Mark dengan tatapan datar. Dia meletakkan kartu kredit di atas meja dan meminum kopinya.

"Evan, biarkan papa pulang ... sekarang kamu minum susu saja," seru Adriana sambil meraih Evan dari pangkuan Mark.

"Aku mau ikut papa..." Evan malah mencengkram lengan Mark.

"Tidak bisa sayang. Papa ada urusan penting..lain kali papa akan ke sini lagi," seru Mark sambil berdiri dan menyerahkan Evan untuk digendong Adriana.

Evan mulai menangis, tetapi Adriana tidak bisa menahan diri untuk meminta Mark untuk tinggal sebentar untuk menenangkan putra mereka. itu membuatnya sangat sakit seolah-olah dia merasa bersalah karena perpisahan ini telah membuat anaknya menjadi korban. Tetapi bertahan pun tidak ada gunanya, karena akan menimbulkan lebih banyak rasa sakit.

'Ini adalah yang terbaik dan ini adalah hal yang harus aku lalui untuk mendapatkan kebebasan dan kebahagiaan dengan cara lain. Aku bisa membuat Evan bahagia tanpa Mark, karena dia lebih peduli pada Maura,' pikirnya dengan segenap kekuatan di dalam hatinya.