Saat malam, Adriana bersantai di halaman rumahnya dengan menggelar sebuah karpet berwarna merah dimana tersedia beberapa jenis camilan dan minuman di atasnya. Terdapat bantal berwarna abu-abu dan boneka Teddy bear berukuran kecil yang berukuran kecil.
Wanita itu mengenakan celana jeans berwarna biru dipadu dengan t-shirt putih dan membiarkan rambutnya terurai. Dia berbaring bersama putra kecilnya sambil menatap jutaan bintang yang menghiasi gelapnya malam, sementara di sampingnya ada Amanda yang sedang bermain gitar, menyanyikan lagu milik Christina Perri yang berjudul "Human"
"Itu papa, mama, dan aku," ucap Evan sambil menunjuk ke arah langit di mana terdapat tiga bintang yang tampak berjajar.
"Kenapa nenek dan aunty Amanda tidak ada?" tanya Adriana ikut menatap bintang.
"Karena aku ....ingin bertiga," jawab Evan dengan suara imutnya. Dia beranjak duduk dan menatap sang ibu yang berbaring di sampingnya. "Kenapa papa tidak pernah datang lagi ... Kata papa terlalu sibuk? Atau papa mulai melupakan aku?" tanyanya.
Adriana menghela nafas, mencoba untuk berpikir harus bagaimana menanggapi putranya yang merindukan ayahnya padahal baru dua hari tidak bertemu. Lalu bagaimana selanjutnya? Karena mereka tidak akan bisa tinggal bersama lagi, itu membuatnya semakin merasa bersalah karena menciptakan jarak antara anak dan ayah.
"Ma ...," Evan kembali memanggil karena sang ibu malah melamun.
Adriana tersadar dari lamunannya dan tersenyum menatap Evan. "Papa tidak melupakanmu, Sayang. Dia sedang bekerja keras untuk masa depanmu yang lebih baik. Supaya bisa membelikan mainan untukmu ... membiayai sekolahmu ... hingga saat kamu dewasa kamu tidak hidup dalam kesusahan," ucapnya sambil mengusap-usap rambut putranya yang berwarna hitam kekuningan.
Evan menghembuskan nafas kasar kemudian menatap boneka kesayangannya. "Aku belum ingin sekolah!"
"Ya ... Kali ini Mama tidak akan memaksamu untuk memulai sekolah tapi tahun depan mau tidak mau kamu harus sekolah supaya menjadi anak yang pintar dan saat dewasa bisa membahagiakan Mama," ucap Adriana.
"Jika kamu tidak sekolah, kamu akan diminta oleh Mama untuk berjaga toko dan tidak akan dibelikan mainan," sahut Amanda setelah berhenti bernyanyi.
"Aunty jangan ikut campur!" seru Evan kesal. Dia selalu bersikap sensitif pada bibinya namun terkadang selalu merajuk ingin dituruti keinginannya.
"Tentu saja aunty ikut campur karena jika kamu nakal, aunty tidak akan buatkan susu untukmu jika mama sedang ke toko," sahut Amanda lanjut mengejek.
"Aku akan meminta nenek membuatkannya untukku," ucap Evan.
"Aunty akan meminta nenek untuk tidak menurutimu karena kamu nakal!" sahut Amanda.
"Tidak! Pokoknya nenek harus lebih menuruti aku!" Evan jadi marah. Dia beranjak berdiri dan berlari memasuki rumah, meninggalkan ibu dan bibinya tanpa pamit.
Adriana menghela napas. "Kamu sudah membuatnya marah."
"Biarlah. Aku suka melihat keningnya yang berkerut saat marah, membuatnya terlihat semakin tampan," ucap Amanda yang mengagumi ketampanan Evan.
Adriana kembali terdiam. Dia memakan keripik ketela sambil menatap langit malam yang begitu gelap namun terdapat banyak bintang memenuhi langit itu. Itu nyaris seperti hatinya yang gelap namun ada adik, ibu, dan anaknya yang selalu berada disisinya memberi semangat untuknya.
Saat sedang ngemil sambil menatap bintang dan mendengarkan Alexa yang sedang bernyanyi sambil memainkan gitar, pandangan Adriana teralihkan pada mobil berwarna merah yang baru datang berhenti di halaman rumahnya.
"Adriana," sapa seseorang yang baru turun dari mobil itu.
"Jenna," sahut Adriana sambil beranjak duduk. Dia tersenyum melihat yang datang adalah sahabatnya.
Jenna langsung duduk di atas karpet tempat Adriana duduk. "Maaf sejak kemarin aku tidak bisa datang ke sini. Aku sangat sibuk dan sering lembur," ucapan dengan tatapan penuh sesal.
"Tidak apa-apa, Jenna. Aku paham," sahut Adriana dengan tersenyum hangat.
"Di mana anakmu?" tanya Jenna.
"Dia di dalam, mungkin bersama neneknya nonton tv," jawab Andriana santai kemudian balik bertanya, "kamu dari rumah atau baru pulang dari kantor?"
"Aku baru saja pulang, lalu mandi dan langsung ke sini. Aku memanfaatkan waktu untuk ke sini karena aku mengkhawatirkan mu." jawab Jenna. Dia meraih camilan berupa coklat chips kemudian melahapnya.
"Apa kamu masih bekerja di perusahaan daur ulang itu?" tanya Amanda setelah sejak tadi asik bernyanyi sambil bergitar.
"Iya. Apa kamu tertarik untuk magang di sana?" Jenna balik bertanya.
"Akan aku pikirkan," jawab Amanda santai kemudian berbaring sambil bergitar. Gadis itu tanpa sangat santai, karena hidupnya belum tersentuh tentang asmara samasekali.
Jenna beralih menatap Adriana yang tampak murung, bahkan keripik ketela tidak lagi dimakannya. "Adriana."
"Ya ...," Adriana kembali menatap Jenna.
"Bagaimana tentang kamu dan Mark? Apa kalian jadi bercerai?" tanya Jenna.
"Kami baru saja bercerai tadi siang," jawab Adriana dengan gusar, namun mencoba untuk tersenyum tabah.
"Kamu harus sabar. Mungkin ini yang terbaik untuk kalian," seru Jenna sambil mengusap pundak Adriana.
"Ya ... terkadang keputusan besar harus kita ambil demi mendapatkan masa depan yang lebih baik. Aku sabar, meski ini sakit. Tapi aku yakin, sakit ini hanya bersifat sementara," ucap Adriana optimis.
"Jika aku jadi kamu, mungkin aku sedang menangis di kamar," sahut Jenna menatap kagum pada Adriana yang tabah.
"Jika perpisahan itu bukan karena penghianatan, mungkin aku akan seperti yang kamu katakan. Tapi perpisahan ini terjadi karena penghianatan, jadi ... untuk apa aku menangisinya lagi sedangkan dia sudah bahagia dengan calon istrinya," ucap Adriana membayangkan mungkin saja saat ini Mark sedang bermesraan dengan Maura.
"Calon istri??" Jenna tampak tidak paham.
"Ya." Adriana mengangguk.
"Bagaimana Mark bisa seperti itu? maksudku ...kalian baru saja bercerai, dan sekarang kamu bilang dia sudah memiliki calon istri, bahagia bisa begitu?" Jenna bertanya-tanya,karena dia tidak tau bahwa Mark selingkuh.
"Dia kembali bersama mantan pacarnya yang baru pulang dari Jerman. Diam-diam mereka berselingkuh di belakangku saat putraku sakit," jawab Adriana dengan menekuk wajahnya.
"Astaga ....Mark selingkuh?"
"Yeah ... Dan hal yang paling menyakitkan adalah ... Dia tidak pernah benar-benar mencintai aku. Makanya aku ingin bercerai, karena dia juga tidak bisa meninggalkan wanita itu, dan tetap menginginkan aku bertahan tinggal bersama ibunya," jelas Adriana dengan membayangkan wajah Margareth yang menyebalkan.
"Tentu saja aku tidak bisa bertahan di sana. Ibu dan adik perempuannya sangat tidak baik padaku, pada Evan, lalu Mark malah selingkuh. Aku tidak memiliki alasan lagi untuk bertahan di sana ... Untuk siapa aku bertahan di sana sedangkan Mark sebagai suamiku yang selama ini menjadi alasan untukku bertahan mulai berkhianat. jalan terbaik adalah aku menyerah dengan meminta cerai," lanjutnya meluapkan segala rasa kesal di hatinya. Dia memang sudah resmi bercerai, tapi melupakan rasa sakit penghianatan itu tidaklah mudah, bahkan membuatnya ragu untuk mempercayai pria lagi.
Jenna menghela napas, menggelengkan kepalanya,. menatap iba pada Adriana. "Adriana ... Aku tidak menyangka kamu akan menghadapi situasi seperti ini. Dulu, kita membayangkan saling membayangkan untuk memiliki keluarga kecil yang harmonis, tapi belum sempat aku menikah dengan pria idaman ku, kamu malah sudah bercerai dari pria idaman mu," ucapnya mengingat bahwa Adriana sangat mengagumi Mark sebelumnya..
___