Siang hari yang terik, Adriana berjalan santai menuju ke rumahnya yang terletak sekitar seratus meter dari tokonya. Dia berjalan melalui pinggiran jalan yang teduh karena ditumbuhi pohon palem yang berjajar rapi.
"Adriana!"
Mendengar namanya dipanggil, Adriana pun menoleh dan menatap seseorang yang memanggilnya berlari menghampiri nya.
"Jenna," sapa Adriana dengan menyunggingkan senyum di bibirnya. Ternyata yang menghampiri nya adalah seorang gadis yang dulu selalu bersama dengannya di masa sekolah hingga kuliah. Mereka pun berpelukan untuk beberapa saat.
"Bagaimana kabarmu?" tanya Jenna setelah melepas pelukan Adriana.
"Seperti yang kamu lihat. Aku sangat baik dan merasa lebih baik," jawab Adriana. Dia menatapi penampilan Jenna yang terkesan formal dan menarik seperti seorang karyawan pada perusahaan. Gadis itu seumuran dengannya dan memiliki mata abu-abu dan rambutnya berwarna pirang dengan tinggi badan 170cm, hampir sama sepertinya.
"Kita sudah sangat lama tidak bertemu semenjak kamu melahirkan. Aku merasa rikuh untuk mengunjungi mu di rumah suamimu," gumam Jenna menunjukkan ekspresi kecewa.
Adriana menghela napas, kemudian berkata, "mulai sekarang jika ingin bertemu denganku, datang saja ke rumah ibuku. Aku tinggal di sana sekarang."
"Benarkah?" Jenna tampak senang, namun kesenangan itu hanya sesaat dan tatapannya jadi aneh pada Adriana. "Jika kamu tinggal di rumah ibumu, bagaimana dengan suamimu? Apa dia ikut tinggal bersamamu?"
"Kami akan bercerai," ucap Adriana akhirnya. Dia menekuk wajahnya dan berjalan menuju ke bawah pohon untuk meneduh.
Jenna pun mengikuti Adriana. "Kenapa kalian akan bercerai? Apa ini karena ibunya yang selalu galak.padamu?"
"Ah, bukan itu saja masalahnya. Ini tentang perasaan,kejujuran dan kesetiaan, Jenna," ucap Adriana yang menyandarkan bahunya pada batang pohon palem.
"Huh. Aku tidak menyangka kalian akan bercerai setelah berjuang untuk bisa menikah," gumam Jenna kemudian melirik jam tangannya yang berwarna putih kekuningan. "Nanti malam aku akan datang ke rumahmu. Sekarang aku harus kembali bekerja."
"Baiklah, nanti malam kita ngobrol," ucap Adriana.
"Kalau begitu aku pergi sekarang," pamit Jenna kemudian memeluk adriana untuk sejenak ku kemudian segera perhatian pada menuju mobilnya yang terparkir di halaman sebuah butik tidak jauh dari tempatnya mengobrol dengan Adriana.
----
Mark sedang mengantar Maura ke sebuah salon kecantikan setelah makan bersama di cafe milik orang tua Maura. Dia merasa sangat jenuh, melirik kekasihnya yang sedang creambath.
Pria itu duduk di kursi sambil memainkan ponselnya. Dia melihat foto-foto putranya di galeri, membuatnya merasa merindukan nya karena sudah dua Minggu tidak bertemu.
"Maura," panggil Mark.
Maura yang masih menerima pijatan pada bagian kepala oleh pegawai salon pun menoleh. "Iya, Sayang. Kenapa?"
"Apa kamu masih lama di sini?" tanya Mark.
"Sepertinya begitu. Aku harus facial dan ingin mewarnai rambutku juga," jawab Maura sambil menikmati pijatan di kepalanya yang diberi cream aroma cokelat mint.
Mark menghembuskan nafas kasar. "Itu berarti sangat lama dan aku akan jamuran di sini."
"Sayang. Memang begitu kebiasaan wanita jika di salon."
"Huh. Kalau begitu aku pergi dulu. Nanti kabari aku jika sudah selesai, aku akan menjemputmu," seru Mark dengan agak kesal beranjak dari kursi. Dia berjalan menuju keluar tanpa memperdulikan beberapa pengunjung dan karyawan salon itu memperhatikan nya.
Mark segera memasuki mobilnya yang terparkir di halaman samping salon kemudian mengemudikan nya menuju jalanan yang mengarah pada rumah keluarga Adriana. Hem, dia benar-benar merindukan putranya.
----
Setibanya di rumah, Adriana langsung ke ruang makan di mana ada ibunya yang sedang duduk santai menikmati secangkir teh sambil membaca buku novel koleksi Amanda.
"Bu," sapa Adriana.
"Kamu sudah pulang," sahut Emma.
"Aku lelah, Bu. Tadi aku mengangkat barang hanya dibantu oleh Amanda karena karyawan kita tidak datang," jelas Adriana sambil membuka kulkas dan mengambil botol berukuran sedang berisi air mineral, kemudian meminumnya.
"Bryan memang seperti itu jika bolos tidak pernah memberi kabar pada kita terlebih dahulu. Tapi kamu tidak boleh memecatnya karena dia pemuda yang jujur dan baik hati," ucap Emma kemudian meminum teh nya.
Ting ... tong ... Ting ... Tong
Terdengar suara bel berbunyi. Emma dan Andriana saling menatap hingga akhirnya salah satu dari mereka bersuara.
"Biar aku yang buka," ucap Adriana kemudian berjalan menuju ke pintu utama dengan melewati ruang tengah yang tidak terlalu luas di mana ada Amanda yang sedang nonton tv sambil memakan camilan keripik kentang yang dibeli dari supermarket.
Adriana membuka pintu dan mendapati seorang pria berusia sekitar 30 tahun memakai topi berwarna biru dan baju berwarna putih seperti seragam perusahaan pengiriman surat. Pria itu juga menggunakan tas selempang berwarna hitam berukuran sedang.
"Selamat siang, Nyonya anda yang bernama Graceline Adriana Peterson?" tanya pria itu dengan formal dan sopan.
"Iya itu saya ada apa?" Jawab Adriana dilanjutkan dengan sebuah pertanyaan.
"Saya mengantarkan surat panggilan untuk persidangan besok," jawab pria itu kemudian membuka tasnya dan mengambil sebuah amplop berwarna cokelat muda. Dia memberikan amplop itu pada Adriana. "Saya harap anda akan datang untuk segera menyelesaikan permasalahan yang anda hadapi."
Adriana meraih amplop itu dengan perasaan yang campur aduk. Dia tidak menyangka akan mendapatkan surat semacam ini di dalam hidupnya. padahal cita-citanya adalah menikah satu kali dalam hidupnya, tapi mulai hari ini dia harus mengubur cita-cita itu sedalam mungkin demi menyembuhkan hatinya yang terluka karena ini juga sudah keputusannya.
"Saya pasti akan datang, terima kasih," ucap Adriana dengan tersenyum tabah.
Pria itu pun tersenyum dan mengangguk kemudian meminta Adriana untuk menandatangani sebuah buku kecil sebagai bukti bahwa dia telah menerima surat itu.
"Kalau begitu saya permisi," pamit pria itu.
Adrian mengangguk kemudian segera berjalan memasuki rumah sambil membuka amplop itu. Dia berhenti di ruang tamu kemudian duduk di sofa, membaca surat itu. Dalam surat itu menyatakan bahwa saat lusa, Adriana harus menghadiri persidangan untuk membahas masalah perceraian nya dengan Mark yang akan dihadiri oleh beberapa saksi.
"Di mana tamunya?" tanya Emma saat baru tiba di ruang tamu. Dia melihat Adriana yang sedang membaca surat.
"Tamu itu hanya kurir yang mengantarkan surat panggilan dari pengadilan, Bu," jawab Adriana melipat kembali surat itu kemudian memasukkan ke dalam amplop. "Lusa aku akan menghadiri sidang perceraian itu. Semoga semua segera selesai dan aku bisa lega."
Emma menghela napas, kemudian mendekati Adriana. Dia duduk di sofa berhadapan dengan putrinya yang tampak mencoba untuk tabah namun tidak bisa menyembunyikan semburat kesedihan di wajahnya yang cantik natural. "Jika ini berat untukmu, kamu bisa mencoba untuk bertahan, Nak?"
"Aku sudah yakin, Bu. Perpisahan memang menyakitkan, tapi rasa sakit itu hanya sementara dan aku akan terbiasa menjalani hidupku tanpa suami. Bersama ibu, Amanda dan Evan, sudah sangat membuatku bahagia daripada saat aku masih bersama dengannya," ucap Adriana dengan tersenyum meyakinkan.
"Baiklah kalau begitu. Ibu selalu mendukungmu," sahut Emma kemudian beranjak berdiri. "Ayo makan siang bersama. Ibu sudah hangatkan sup untukmu."
Adriana mengangguk. Dia beranjak berdiri dan berjalan menuju ruang makan untuk makan siang bersama ibunya.