Saat Evan sudah tidur nyenyak, Adriana turun dari tempat tidur lalu berjalan ke ruang tamu untuk menemui Zach dan Dave yang sudah menunggunya.
Sesampainya di ruang tamu dia melihat pemandangan yang tidak biasa. Zach tertidur di sofa dengan Dave duduk membelakangi dan menyandarkan kepala mereka di sofa sementara Amanda bermain dengan ponsel-nya.
"Mereka bertamu tapi malah tidur," gumam Adriana.
"Yang pasti mereka ngantuk," sahut Amanda.
Adriana menghela nafas lalu duduk di sebelah Amanda namun tatapannya tetap tertuju pada dua pria yang tertidur lelap hingga salah satu dari mereka mendengkur. Dia tersenyum tipis pada dua pria tampan itu. Terlihat lucu saat mereka tertidur, membuatnya teringat kembali pada Mark yang terkadang sering tertidur di sofa itu.
"Bukankah mereka mengobrol sejak tadi?" tanya Adrian.
"Tidak bicara, bahkan tidak saling menatap. Mereka seperti bermusuhan," jawab Amanda santai.
"Mungkin mereka melakukannya karena mereka tidak saling kenal.... Kalau begitu, aku ingin pergi ke dapur." Adriana bangkit dari sofa dan berjalan ke dapur untuk melihat apa yang dilakukan ibunya sementara Amanda tetap di sofa karena terlalu sibuk menonton video YouTube.
___
Sesampainya di dapur, Adriana melihat ibunya sedang memotong sayuran di atas pantry warna metalik yang tidak terlalu besar.
"Bu," sapa Adriana, memposisikan dirinya berdiri di samping ibunya. "Apa yang ibu masak?"
"Ayam panggang dan salad," jawab Emma santai. Dia tersenyum pada Adriana yang terlihat lebih cantik dari biasanya karena baru saja menghadiri sidang perceraian. Dia mengerti bahwa putrinya itu sederhana, tetapi ketika ada acara di luar selalu terlihat berbeda dengan gaya yang sederhana tetapi membuatnya terlihat lebih manis.
"Itu terlihat enak. kebetulan aku lapar," gumam Adriana sambil menoleh ke arah paha ayam yang masih dipanggang. Ia pun mengambil penjepit untuk membalik paha ayam itu agar matang sempurna.
"Bagaimana persidangan tadi, apa semua berjalan dengan lancar?" tanya Emma.
"Lancar, Bu," jawab Adriana, lalu menghela napas berat mengingat saat hakim mengakhiri pernikahannya dengan Mark. "Sekarang aku resmi bercerai... Aku secara gagal mempertahankan pernikahan yang selalu aku impikan."
"Kamu harus sabar, Nak. Kadang yang menikaji kita juga bukan jodoh kita, padahal kita sudah punya anak darinya. Kamu harus optimis dalam menjalani semua ini dan percaya kamu bisa menemukan cinta lain yang lebih baik dari sebelumnya," seru Emma sambil tersenyum mengusap pundak kanan Adriana.
Adriana mengangguk dan tersenyum tenang. "Terima kasih karena ibu selalu mendukungku di setiap langkahku."
"Tentu saja ibu akan selalu mendukungmu karena ibu tidak ingin kamu bersedih sepanjang waktu. Sekarang saatnya kamu bangkit, dapatkan kebahagiaan yang pantas kamu dapatkan. Semua orang berhak untuk bahagia."
"Setelah ini, aku akan fokus mengembangkan toko kita. Ibu hanya perlu membantuku menjaga Evan," kata Adriana dengan hati yang lebih lega. Dia belum memikirkan jodoh, karena hatinya masih begitu perih dengan bekas luka yang ditorehkan Mark padanya, dan juga trauma atas perlakuan Margareth yang membuatnya bergidik ngeri, takut jika dia akan mendapatkan mertua seperti wanita itu lagi. ah, itu artinya dia harus berhati-hati dalam memilih calon suami dan mertua suatu hari nanti.
___
Mark baru saja tiba di rumah setelah menghadiri sidang perceraiannya dengan Adriana dan memilih menyendiri di ruang kerjanya. Pria itu menatapi foto putranya di bingkai kecil yang terletak mejanya, lalu mengambilnya dan menatapnya.
"Papa merindukanmu, Nak." Mark memeluk foto yang menunjukkan Evan saat berusia tujuh bulan, merangkak di antara tumpukan bola kecil di taman bermain. Pria itu mulai merasakan kerinduan pada anaknya yang dipastikan tidak akan tinggal bersamanya karena hak asuh jatuh ke tangan Adriana.
'Aku merindukanmu, Adriana. Kenapa setelah bercerai aku merasa bahwa aku mencintaimu sama seperti Maura... Kamu berarti bagiku,' pikir Mark sambil menyandarkan punggungnya ke kursi hitamnya. Dia memejamkan mata, mengingat setiap momen bersama putra dan mantan istrinya di rumah itu.
"Mark!"
Seseorang memanggil. Mark membuka matanya dan menatap seseorang yang menghampirinya sambil meletakkan foto Evan di atas meja. "Maura, sejak kapan kamu datang?" Dia pun bertanya.
"Aku baru saja datang. Aku mencarimu di semua ruangan dan ternyata kamu ada di sini," jawab Maura dengan nada manja. Perhatiannya tertuju pada sebuah foto di atas meja dan kemudian mengambilnya. "Apakah ini foto anakmu?" tanyanya.
"Ya," singkat Mark.
Maura mengangguk dan bertanya, "Apakah kamu merindukannya?"
Mark menghela nafas kemudian menundukkan wajahnya. "Tentu saja aku merindukannya. Dia anakku, darah dagingku... .bahkan wajahnya mirip dengan wajahku."
"Kalau begitu kita pergi ke rumah mantan mertuamu untuk menemuinya. Aku juga ingin bertemu dengannya karena dia terlihat menggemaskan dan dia juga akan menjadi anakku ketika kita menikah," kata Maura sambil terus menatap foto Evan.
"Tidak perlu. Membawamu ke sana hanya akan membuat Adriana terluka lagi... itu berarti aku jahat," sahut Mark mengingat bagaimana Adriana menangis ketika dia resmi bercerai darinya. Hmm, itu benar bahwa kamu jahat!
Maura mendekati Mark, lalu duduk di pangkuannya dengan posisi menyamping dan melingkarkan lengannya di lehernya. "Kalau begitu kita harus segera menikah dan setelah itu, aku akan memberimu anak yang lebih manis dan menggemaskan."
"Ya... Karena semua keturunanku akan lucu, tampan, menggemaskan." Mark tersenyum nakal lalu mencium bibir Maura dengan agresif.
Maura pun membalas ciuman itu dan menekan tengkuk Mark untuk memperdalam ciuman, hingga matanya terpejam menikmati sensasi nikmat berciuman selama beberapa detik.
"Kapan kita menikah?" tanya Maura.
"Kapan pun kamu bersedia, aku akan selalu siap untuk menikahimu," jawab Mark dengan tatapan begitu intens dan senyum hangat tanpa beban, seolah-olah dia telah melupakan Adriana dan Evan juga. Sialan kamu adalah pria brengsek!
.