"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Adriana singkat.
"Kita perlu bicara, Sayang," jawab Mark dengan sendu. Dia masih di depan pintu karena Adriana tidak mempersilakannya masuk.
Adriana menatap malas ke arah Mark yang kembali memanggilnya "Sayang". Baginya itu terdengar seperti sampah karena dia sudah tahu bahwa suaminya itu tidak mencintainya.
"Tapi kurasa kita tidak perlu bicara lagi, Sayang .... Karena aku muak melihat wajahmu!" Adriana berkata dengan sinis sambil menyilangkan tangannya dan memalingkan wajahnya, menatap ke sisi kanan depan rumah di mana ada beberapa pot berisi bunga yang berjejer rapi di pinggiran teras.
"Adriana, tolong beri aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya. Ini tidak seburuk yang kamu pikirkan, karena aku sadar bahwa aku mencintaimu," ucap Mark dengan tatapan memohon, menunduk dan meraih tangan Adriana.
"Kita perlu bicara dari hati ke hati dan menyelesaikan masalah ini dengan kepala dingin, Adriana," lanjutnya.
Adriana menghela napas kasar lalu berbalik untuk melihat ke dalam rumah, lalu kembali menatap Mark. "Kita akan bicara di tempat lain, tapi aku harus meminta izin pada ibu dulu."
"Aku menunggu," kata Mark sambil mengangguk.
Adriana segera kembali ke ruang makan dan menghampiri anaknya yang sedang disuapi oleh sang nenek.
"Siapa yang datang?" tanya Emma sambil menatap Adriana yang baru saja kembali.
"Mark. Bu," jawab Adriana lalu kembali berkata, "Aku harus bicara dengannya, tapi mungkin tidak di sini."
"Jangan lama-lama, ibu khawatir Evan akan menangis mencarimu. Atau kamu akan membawanya?"
"Tidak, Bu. Dia sedang bermain dan ini juga pembicaraan tentang urusan rumah tangga, tidak enak jika didengar Evan yang masih kecil," kata Adriana sambil melirik putranya yang sedang melajukan mobil mainan kecil ke tepi meja makan sambil mengunyah makanan yang diberi oleh neneknya.
"Baiklah, selesaikan masalahmu dan pikirkan keputusan yang menurutmu tepat dan baik untuk kalian semua," kata Emma dengan tatapan iba pada Adriana yang berdiri di belakang kursi yang ditempati Evan.
"Ya, Bu."
Adriana berjalan kembali ke ruang tamu tempat Mark menunggunya dengan duduk di sofa. Dia menatap suaminya dengan sinis.
"Ayo," katanya singkat.
Mark segera bangkit dari sofa dan menghampiri Adriana lalu meraih tangannya. Dia hendak menggandeng tangan istrinya seperti biasa saat akan jalan bersama.
"Tidak perlu seperti ini!" seru Adriana sambil mengibaskan tangannya hingga Mark melepaskan genggamannya. "Kamu harus ingat bahwa kita tidak seperti sebelumnya, bahkan kita akan bercerai!"
"Aku tidak akan menceraikanmu!" kata Mark kesal sambil berjalan dengan paksa menarik Adrian keluar rumah menuju mobilnya yang terparkir di halaman.
"Di mana kita akan bicara?" tanya Adriana kesal.
"Cepat masuk," seru Mark singkat sambil membuka pintu mobil.
Adriana terpaksa segera masuk karena ingin semuanya selesai dan bisa lepas dari belenggu pernikahannya dengan Mark, yang sama sekali tidak menghargainya sebagai seorang istri.
Mark segera masuk ke dalam mobil dan mengendarainya ke jalan raya. Entah ke mana dia akan membawa istrinya yang seolah tak memberinya kesempatan.
___
Di tempat lain, Zach sedang sarapan di sebuah kafe dengan desain interior klasik bertema cinta. Banyak kata-kata romantis dan simbol cinta yang terukir di kayu dan ditempel di dinding berwarna coklat muda. Pria itu duduk di tepi kursi sambil makan French fries dan menikmati cofee creamy latte bersama pria yang tampak seumuran dengannya.
"Bagaimana jika kita bekerja sama? Aku punya proyek." pria itu berbicara dengan senyum ceria seolah-olah dia baru saja menemukan harta karun.
"Proyek apa?" tanya Zach sambil menyipitkan mata.
"Tentu saja tentang fotografer. Aku akan kewalahan jika mengambil proyek ini sendiri, jadi aku mengajakmu karena kamu juga sudah profesional," jelas pria itu kemudian mengambil French fries dan mencocolkannya pada saus cabai, lalu memakannya.
"Oke, aku akan ikut daripada menganggur atau pergi ke luar negeri lagi," kata Zach santai lalu mengambil secangkir creamy latte di atas meja. Dia meminum minuman yang tidak terlalu panas itu sambil melirik pintu masuk kafe. Entah kebetulan atau apa? Pria itu melihat Adriana datang bersama Mark.
"Kamu bilang kamu akan bercerai, lalu kenapa kamu masih bersamanya?" gumam Zach bertanya-tanya apa yang telah dilihatnya.
"Hei! Siapa yang akan bercerai?" tanya pria itu, karena dia mendengar kata-kata Zach.
"Robin, kamu tunggu di sini sebentar," seru Zach lalu mengambil topi yang dikenakan oleh pria bernama Robin itu. Dia memakai topi hitam itu, kemudian segera bangkit dari kursi.
Zach berjalan ke kursi yang agak dekat dengan Adriana dan Mark sambil menunduk, menyembunyikan wajahnya agar tidak terlihat oleh mereka. Dia duduk di kursi dengan membelakangi Mark. Jarak mereka sekitar tiga meter, memungkinkannya untuk menguping.
___
"Bicara saja, TIDAK perlu pesan makanan!" seru Adriana tegas menatap Mark yang sedang memegang katalog menu makanan.
"Adriana, tidakkah kamu memikirkan apa yang akan terjadi pada anak kita jika kita bercerai? Tolong beri aku kesempatan untuk memperbaiki pernikahan kita." Mark meletakkan katalog di atas meja dan menatap Adriana dengan tatapan memohon.
"Aku sudah berpikir dan jalan terbaik untuk kita adalah perceraian. Kamu tidak perlu khawatir tentang Evan,.karena dia sudah terbiasa tidak mendapatkan perhatianmu. Jadi kalau kita cerai, dia juga akan terbiasa jauh darimu," ucap Adriana dengan ketus.
"Mudah bagimu untuk mengatakan itu, tapi kamu tidak mengerti bagaimana perasaan Evan. Aku juga ingin bertahan karena aku menyayangi kalian"
"Kamu bilang sayang? Jika kamu menyayangi kami, tidak akan ada drama penghianatan seperti ini!".kata Adriana dengan nada agak tinggi. Dia mulai emosi.
Mark menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan perlahan, melirik istrinya yang masih kekeuh untuk menolaknya. Pria itu bingung dan meremas rambutnya dengan frustrasi, sesekali melirik sekeliling.
"Adriana, antara aku dan Maura sangatlah rumit..Aku mencintainya karena dia sudah mengisi hatiku sebelum kamu, sulit untuk menghindarinya kembali. Apalagi kamu sering bersikap acuh padaku, tentu saja aku mencari pelampiasan dan saat itu dia datang. Aku tidak bisa menyangkal kesalahanku tapi aku juga tidak bisa jika harus berpisah darimu!" ucap Mark dengan segala kejujurannya.
Plak...
Adriana malah menampar Mark. Dia menatap marah pada suaminya yang bahkan malah menyalahkannya. "Kamu bilang aku acuh padamu? Asal kamu tau, Aku begitu karena sikapmu juga berubah!"
"Bagaimana aku berubah? Aku memang seperti ini dan kamu juga cukup mengenalku, apa yang harus aku lakukan, Adriana?" Mark bertanya seolah-olah sama sekali tidak menyadari kesalahannya.
Adriana menatap tajam ke arah Mark, lalu memalingkan wajahnya. Dia menatap sebuah ukiran kayu pada dinding. "Cinta sejati adalah cinta tanpa syarat, menerima apa adanya dan saling memahami" dia berbalik untuk melihat Mark yang tidak mencintainya dengan tulus sejak awal.
"Mark, kamu hanya membuatku menjadi pelampiasan, kan? Sudahlah, tidak perlu menarikku kembali ke perangkap cinta palsumu. Aku tidak mungkin bisa bersama suami yang mencintai wanita lain lebih dari istrinya. Jika kita bertahan, hanya akan ada luka yang akan kamu tanamkan untukku.m terus menerus ..." kata adriana perlahan, matanya menatap sedih pada Mark yang telah menyakitinya. Tidak, tidak seharusnya dia menangis dan terlihat lemah.
"Tapi aku mencintaimu, Adriana." Mark menyentuh punggung tangan Adriana.
"Tidak, Mark. Aku tahu kamu tidak mencintaiku. kamu hanya merasa kehilangan aku yang selalu ada di sisimu, kamu hanya tidak terbiasa tanpa aku ataupun Evan. Mungkin jika aku kembali bersamamu, kamu akan mudah bosan karena kamu tidak mencintaiku sepenuhnya." Adriana menarik tangannya agar Mark tidak menyentuhnya lagi.
"Tidak, Adriana. Aku tidak akan seperti itu. Aku...." sebelum Mark menyelesaikan kata-katanya, tiba-tiba ponselnya berdering. Dia langsung mengambil benda canggih itu dari saku celananya dan melihat ada panggilan dari Maura.
"Jawab saja, aku tidak apa-apa," kata Adriana yang sudah menduga bahwa Maura yang menghubungi suaminya itu. Dia memilih untuk memalingkan wajahnya, membiarkan pria itu berbicara dari telepon dengan selingkuhannya.
"Hallo," sapa Mark saat menjawab telepon dari Maura.
"Aku akan pergi!" kata Maura dari telepon.
Seketika Mark bangkit dari kursi dengan ekspresi tidak nyaman. Jantungnya berdegup lebih kencang dan bayangan beberapa tahun lalu saat dia ditinggalkan Maura, kembali melintas di benaknya, membuatnya takut ditinggalkan lagi.
"Tidak, jangan pergi Maura!" seru Mark tegas. matanya menatap ke luar kafe, mengabaikan Adriana yang masih berada di dekatnya.
Adriana tersenyum sinis mendengar kata-kata Mark. 'Kamu bilang kamu mencintaiku tapi masih memikirkan wanita lain. kamu adalah pria paling naif di dunia, Mark,' pikirnya kesal dan semakin yakin untuk meminta cerai