Di apartemennya yang cukup mewah dengan cat dinding berwarna putih yang terdiri dari dua kamar, ruang tamu, kamar mandi, dapur minimalis, dan ruang tamu, Maura merapikan pakaian Mark dan memasukkannya ke dalam koper. Gadis itu hanya diam karena dia masih kecewa dengan pria kekasihnya yang memilih pergi dari pada bersamanya.
"Aku pergi sekarang," kata Mark pamit setelah Maura selesai mengemas pakaiannya. Pria itu mendekati sang selingkuhan lalu mencium keningnya sebagai salam perpisahan.
"Berjanjilah padaku untuk segera menikahi aku, karena jika tidak, aku akan kembali ke Jerman untuk melanjutkan karirku," seru Maura seolah memberi ultimatum.
Mark menghela napas, lalu menatap mata Maura yang sendu seolah mengharapkan keseriusan darinya. Namun dia masih kesulitan nulis baginya untuk menceraikan istrinya, apalagi saat ini putranya sakit.
"Maura, jangan pergi. Beri aku waktu untuk memikirkan semua ini," seru Mark dengan tatapan memohon.
"Satu minggu, itulah waktu yang kuberikan," jawab Maura dengan tatapan datarnya lalu berjalan menjauh dari Mark menuju ranjang. "Pergi dari sini, dan temui putramu!" lanjutnya
Mark segera pergi dengan beban pikiran yang memenuhi otaknya. Dia mencintai Maura, tapi juga tidak tega untuk anak dan istrinya jika mereka bercerai. Lalu, apakah pria brengsek itu akan melakukan poligami? Seberapa serakah dia?
____
Mark mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi ke alamat rumah sakit yang ditunjukkan oleh Dave melalui pesan via WhatsApp. Pria yang mengenakan celana jeans hitam dipadu dengan kemeja berwarna biru gelap itu mulai diliputi oleh rasa bersalah dan cemas karena selama dia selingkuh, ternyata putranya sedang sakit.
"Semoga tidak terjadi hal buruk padanya ... semoga sakitnya hanya sakit biasa," ucapnya dengan gelisah.
Drett ... drett ...
Ponselnya yang terletak di atas dashboard berdering dengan nada lagu milik image dragon yang berjudul "Demons". Mark segera benda cair itu dan melihat ada panggilan masuk dari adiknya. Dia memilih mengabaikan panggilan itu karena tidak ingin berdebat.
"Dia selalu ikut campur dalam setiap urusan pribadiku," ucapnya dengan ketus.
Sampai hampir satu jam menempuh perjalanan, akhirnya Mark sampai di rumah sakit. Pria itu segera turun dari mobil dan memasuki rumah sakit dengan tergesa-gesa. Dia menyusuri koridor yang tampak sepi, sesekali bersumpah dengan pengunjung atau petugas rumah sakit.
Setibanya di depan pintu kamar di mana Evan dirawat, Mark tidak segera masuk. Dia berdiri di depan pintu sembari menatap ke arah kaca berbentuk persegi panjang pada pintu itu, melihat melihat Adriana duduk tertidur dengan kepala bersandar di tempat tidur, lalu melirik Evan yang juga sedang tidur nyenyak.
Di dalam hatinya, pria itu merasa bersalah dan menyesal telah bersenang-senang dengan gadis lain saat istri dan anaknya berada di rumah sakit. Dia pun segera membuka pintu dan masuk.
Ceklek
Adriana mendengar suara pintu yang terbuka lalu menoleh ke belakang. "Mark ..."
"Maaf, aku tidak tahu kalau Evan sakit," kata Mark dengan suara pelan sambil berjalan mendekati Evan, lalu menunduk mencium keningnya.
"Aku sudah berusaha menghubungimu, tapi nomormu selalu tidak aktif," sahut Adriana dengan tatapan datarnya, tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya pada suaminya itu.
"Maaf, di sana tidak ada sinyal." Mark berbohong lagi.
"Lalu kenapa kamu pulang padahal baru dua hari di sana? Bukankah seharusnya kamu berada di sana selama tiga hari?" Adriana bertanya dengan tatapan menyelidik.
"Dave menyusulku," jawab Mark.
"Oh ... Lalu kamu meninggalkan pekerjaanmu?" tanya Adriana, menyipitkan mata pada si pembohong itu.
"Ya, demi Evan aku kembali lebih cepat," jawab Mark sambil tersenyum pada Adriana.
Adriana tersenyum sinis setelah mendengar jawaban Mark. Entah kenapa dia begitu yakin bahwa pria itu berbohong, namun dia masih tidak mau berdiskusi ataupun protes. Biarlah waktu yang akan memberitahu segalanya dan membongkar kebohongan suaminya itu.
"Besok dia sudah boleh pulang. Sebaiknya kamu pulang saja, kamu pasti lelah setelah perjalanan jauh dari luar kota," seru Adriana dengan ketus.
"Aku akan tidur di sini, aku ingin menemani anakku," sahut Mark kemudian mendudukkan dirinya di tepi ranjang, lalu mengusap-usap kening Evan yang berkeringat. "Dia sudah tidak demam lagi ..."
"Tentu saja, Karena dia sudah membaik," sahut Adriana.
"Apa sebelumnya demamnya sangat tinggi?" tanya Mark.
"Jika demamnya tidak tinggi, mungkin itu bukan demam berdarah dan dia tidak harus dirawat di sini," jawab Adriana dengan ketus lalu beranjak berdiri. "Kamu temani dia tidur kalau begitu. Aku akan tidur di sofa."
"Baiklah ..." Mark mengangguk, melirik Adriana yang sepertinya tidak memberikan respon baik padanya.
Di sofa, Adriana langsung tidur. Matanya terus menatap suaminya yang sedang tidur itu, tatapan itu menyampaikan makna yang penuh dengan kebencian.
'Kamu pikir aku bodoh, haruskah aku mempercayaimu lagi? Aku tidak tahu bagaimana aku bisa bertahan setelah kebohongan-kebohongan yang kamu buat!' Adriana berkata pada dirinya sendiri, dengan emosi yang sepertinya akan meledak. Dia bahkan sangat marah dan ingin melempar bantal ke wajah suaminya yang pembohong itu.
---
Keesokan harinya, Adriana membereskan pakaian Evan dan pakaian yang dibawanya selama di rumah sakit itu karena akan segera pulang.
Mark duduk di tempat tidur bermain dengan Evan sambil menunggu istrinya yang masih berkemas. Terkadang dia tersenyum melihat anaknya yang sudah membaik setelah bertemu dengannya. Hmmm, andai dia tahu, putranya menjadi lebih baik karena perhatian dari Dave dan Zach!
"Aku sudah selesai berkemas, ayo pulang," kata Adriana dengan tatapan datarnya, karena dia tidak bisa bersikap manis lagi.
Mark segera menggendong Evan dan membawanya keluar kamar diikuti oleh Adriana yang membawa tas berisi pakaian. Mereka berjalan menyusuri koridor yang terlihat sepi karena masih pagi sampai mereka meninggalkan rumah sakit dan menuju tempat parkir.
___
Selama perjalanan pulang, Adriana hanya terdiam tanpa sepatah kata pun. Dia duduk sambil memangku putranya. Wanita itu malas melihat suaminya lagi, bahkan merasa cintanya memudar seiring dengan pengkhianatan dan kebohongan yang diciptakan olehnya.
Melihat istrinya yang diam membuat Mark tidak nyaman dan bertanya, "Kenapa kamu terus diam, Adriana?"
"Aku hanya lelah," kata Adriana.
"Kamu pasti lelah mengurus Evan sendirian. Maaf." Mark menunjukkan ekspresi bersalah, lalu kembali fokus mengemudi.
"Sudah kewajiban ku sebagai ibu, lagipula kamu juga memiliki kewajiban bekerja untuk kami ... pasti capek karena kerja di luar kota," ucap Adriana bermaksud menyindir.
"Aku lelah demi kalian berdua," sahut Mark dengan kebohongannya.
Adriana hanya tersenyum sinis setiap kali pria di sampingnya itu berbohong. Dia sangat yakin suaminya itu tidak keluar kota melainkan bertemu dengan Maura yang pernah mengantarnya pulang saat mabuk.
"Aku harus mampir ke supermarket sebentar, aku harus berbelanja," kata Adriana.
Mark mengangguk patuh dan segera menghentikan mobilnya di depan supermarket. Adriana segera turun dari mobil, sementara dia dan Evan tetap menunggu di dalam mobil.
Adriana membeli beberapa bahan makanan, susu, dan barang-barang lainnya untuk keperluan rumah tangga. kebetulan dia belum belanja sejak anaknya sakit.
Setelah selesai berbelanja. Adriana kembali ke mobil dan memasukkan barang belanjaannya ke bagasi. Mark melajukan mobilnya kembali menuju pulang ke rumah.
___
Sesampainya di rumah, Mark menggendong Evan dan menidurkannya di kamar, sedangkan Adriana menata belanjaannya di dapur. Rumah itu terlihat sepi, mungkin Margareth dan Byanca sedang keluar, Dave pasti sudah ke kantor
Setelah selesai menata barang belanjaannya, Adriana kembali ke kamar Evan. Dia melihat bahwa Mark masih berbaring bersama putra mereka yang tidur.
"Apa kamu tidak ingin mandi?" tanya Adriana.
"Nanti," singkat Mark.
"Apakah kamu tidak pergi ke kantor?" tanya Adriana sambil membuka tirai putih yang menutupi jendela kaca di kamar itu.
"Tidak. Aku ingin di rumah seharian bersama kalian," jawab Mark yang lagi-lagi berlagak peduli.
"Oke, aku akan membuatkan sarapan untukmu," kata Adriana sambil berjalan keluar kamar untuk segera pergi ke dapur.
'Apa kamu akan terus berbohong? Aku muak mendengar bahwa kamu selalu mengatasnamakan segalanya demi kebahagiaanku dan Evan! Seharusnya kamu merasa, di antara kita menjadi hambar, bahkan aku tidak ingin disentuh olehmu lagi! Aku jijik padamu, tanganmu telah menyentuh gadis lain!' pikir Adriana sambil berjalan menuju dapur. Dia sangat marah, entah berapa lama dia bisa menahan semua kekesalannya pada Mark.