"Silakan Bu. Mau pesan apa? Tadi suaminya pesan nasi goreng kambing," kata sang pelayan restoran.
"Eh, dia bukan suami saya," ucap Milly tegas.
"Oh, maafkan saya, Bu." Pelayan restoran itu menutup mulutnya dengan sebelah tangannya. Ia pasti malu sekali karena sudah berkata seperti itu pada Milly.
"Tidak apa-apa," ucap Milly cepat. "Saya mau pesan paket nasi bakar dan ayam goreng."
"Baik, Bu. Apakah ada lagi tambahan?"
"Tidak ada."
Sang pelayan restoran itu pun segera pergi setelah membereskan buku menu.
Liam melipat tangannya sambil menopang dagunya. "Kamu kelihatan marah tadi."
"Ah, tidak juga," sahut Milly sambil menautkan alisnya.
"Yang benar? Kamu tidak suka jika orang-orang menganggap jika aku adalah suamimu?" Liam memiringkan kepalanya.
"Kamu kan memang bukan suamiku."
Liam mengangguk. "Ya, kamu benar. Aku memang bukan suamimu, tapi setidaknya aku akan selalu menjaga dan melindungimu."
Milly mendesah. "Aku sudah memberitahumu beberapa kali jika kamu berhak mendapatkan wanita yang lebih baik dariku, tapi kamu tidak pernah mendengarkanku."
"Kamu adalah wanita yang terbaik bagiku," ungkap Liam dengan penuh keyakinan.
"Kamu tidak akan pernah tahu jika kamu tidak pernah mengenal wanita lain selain aku."
Liam mengangkat kedua alisnya sambil mengangkat gelas tehnya dan kemudian menyeruputnya sedikit.
"Aku pikir, kamu adalah wanita yang paling memahamiku. Kamu tahu jika mantanku telah meninggalkanku demi pria lain. Padahal aku sudah mau menikah dengannya. Sejak saat itu, aku berpikir jika tidak ada wanita yang setia di dunia ini. Namun, setelah mengenalmu, aku baru sadar kalau kamu adalah wanita yang paling setia yang pernah aku kenal."
Milly menunduk, tidak berani menatap mata Liam. Ia merasa tidak enak hati jika ia harus terus menerus menolak pria itu.
"Aku paham jika kamu hanya akan setia pada Nicholas saja." Liam mengangguk. "Cintamu padanya tak akan pernah padam meski ia telah menghilang berpuluh-puluh tahun lamanya."
"Maafkan aku, Liam." Hanya itu yang sanggup Milly katakan padanya.
"Tidak perlu meminta maaf, Milly. Akulah yang seharusnya meminta maaf karena aku tidak pernah menyerah untuk selalu menyayangimu."
Milly pun mendongak dan memandang sepasang mata yang menatapnya dengan kasih sayang yang tulus.
"Liam, apa kamu tidak kecewa padaku? Atau lelah dengan semua ini?"
Liam menggelengkan kepalanya. "Tidak. Kenapa kamu berkata seperti itu?"
"Aku hanya ingin agar kamu menemukan kebahagiaanmu, Liam. Kamu tidak akan pernah bahagia jika terus mengharapkanku."
Liam mengedikkan bahunya. "Aku akan selalu bahagia selama aku bisa menemanimu, melakukan apa saja untukmu. Asal jangan pernah usir aku dari hidupmu, kecuali kamu menemukan pria lain dan kamu memutuskan untuk menikah dengan pria itu."
Milly menggelengkan kepalanya. "Aku tidak akan pernah menikah dengan pria lain."
"Ya, sama halnya denganku. Aku pun tidak akan menikah jika tidak denganmu." Liam terkekeh. "Tenang saja, aku tidak akan memaksa."
Lalu sang pelayan restoran pun datang sambil membawa menu makanan mereka. Segera saja Milly dan Liam makan dengan lahap karena mereka sudah kelaparan.
"Mil, bolehkah aku minta satu hal?" tanya Liam.
"Apa itu?"
"Tolong beritahu aku ya jika kamu memutuskan untuk menerimaku, kapan saja."
"Liam …."
"Aku mengerti. Kamu mungkin tidak akan pernah menerimaku, tapi tak ada salahnya jika aku berharap. Dan satu lagi, jika kamu menemukan pria lain, beritahu aku juga ya. Aku akan menyiapkan hati untuk menerima pria itu mengisi hidupmu."
Milly mengernyitkan wajahnya. "Percayalah padaku, Liam, aku tidak akan pernah memberitahu dua hal itu padamu."
"Ah, kamu kejam sekali. Setidaknya, aku masih berharap kamu akan memberitahuku yang pertama." Liam terkekeh lagi. "Milly, jangan marah ya. Aku hanya bercanda meski aku serius."
"Apa itu maksudnya?"
Liam menggaruk kepalanya. "Ya, entahlah. Aku sudah terbiasa jika kamu menolakku. Seperti apa jadinya jika suatu hari nanti kamu menerimaku. Aku mungkin akan kejang-kejang sambil berguling-guling di lantai."
"Astaga, Liam. Kamu itu kekanakan sekali." Milly pun ikut tertawa.
"Aku kan masih muda, wajar jika aku kekanakan," ucap Liam dengan wajah yang cerah ceria.
"Lima puluh tujuh tahun bukanlah usia yang muda." Milly mengangguk perlahan sambil tersenyum.
"Astaga, kamu kejam sekali menyebut umurku."
Milly pun tertawa lagi seolah tidak ada beban dalam hidupnya. Selama ini, Liam yang selalu menghibur dan membuat hatinya menjadi tenang. Ia bersyukur karena mengenal Liam dalam hidupnya.
Meski ia harus menolak Liam berkali-kali, tapi ia merasa nyaman bersama dengan pria itu. Liam adalah pria yang sopan dan tidak pernah bersikap kurang ajar dengan memaksanya akan hal apa pun.
"Omong-omong, Mil. Aku akan melakukan apa pun untukmu agar aku bisa melihat senyummu yang manis itu."
Seketika Milly membeku. Perlahan senyumnya pun memudar. "Kamu tidak perlu menggodaku karena itu tidak akan mempan. Aku sudah terlalu sering mendengarnya selama dua puluh tahun ini."
Liam terkekeh. "Jangan pernah bosan ya untuk mendengar gombalanku."
"Sebenarnya aku sudah bosan," ucap Milly dengan wajah serius.
"Yang benar saja? Kalau aku berhenti menggodamu, kamu pasti akan menyesal. Kamu mungkin akan merindukan gombalanku itu suatu hari nanti."
Milly menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. "Aku tidak akan pernah merindukan hal itu. Jangan terlalu percaya diri, Liam."
Sepanjang sisa sore itu, Milly dan Liam tertawa sambil bercanda hal-hal yang remeh.
Dan setelah sore tiba, Milly makan malam sendirian di rumahnya tanpa Ben dan Liam karena Liam sudah pulang. Ben tidak akan pulang ke rumahnya karena putranya itu sudah memiliki rumah sendiri.
Lalu Milly akan masuk ke kamarnya sambil menonton sinetron di TV yang ceritanya menyedihkan dan berhasil menguras air matanya. Ia pun menaruh foto Nicholas di sebelah kasurnya dan menata gulingnya supaya ia merasa seperti ada Nicholas yang sedang berbaring di sebelahnya.
Perbuatannya ini memang konyol, tapi itulah yang ia lakukan setiap hari. Tidak ada yang mengetahuinya, kecuali Ben.
Setidaknya, putranya itu tak pernah protes saat Milly melakukan hal itu.
"Selamat malam, Nick. I love you," ucap Milly.
Lalu ia mengecup guling di sebelahnya dan mengenyakkan diri. Matanya terpejam dan ia pun berdoa. Ia meminta agar Tuhan selalu melindungi Nicholas di mana pun juga ia berada. Jika memang Tuhan telah memanggilnya pulang ke surga, maka ia meminta agar Tuhan memberitahu kabar itu.
Doanya selalu sama setiap malam. Sampai saat ini, Tuhan pun tak pernah menjawab doanya satu pun. Mungkin Tuhan pun bosan mendengar doanya yang itu-itu terus.
Namun, tak pernah ada satu orang pun yang pernah memberitahu Milly jika Nicholas sudah meninggal.
Selama tidak ada yang menemukan tubuh Nicholas, maka bagi Milly, Nicholas itu masih ada.