Bukan salah Ben jika ia mengabaikan wanita itu. Ia tidak mengharapkan kehadiran Natasha sama sekali. Apa boleh buat? Ini bukan pestanya. Jika Ben yang berulang tahun, maka ia tidak akan mengizinkan Natasha untuk menginjakkan kaki di pestanya.
Ben memandang ke arah Sam untuk meminta bantuannya, tapi Sam malah mengedikkan bahunya dan menahan bahunya menempel dengan rahangnya selama mungkin. Sepupunya itu memang menyebalkan.
Lalu Ben melihat ke arah Jihan yang sedang menahan tawa. Ia tahu jika Jihan pun pasti akan mengejeknya nanti saat Natasha sudah pulang.
"Memangnya kamu mau ikut?" tanya Ben.
"Tentu saja! Kamu ini bagaimana sih? Aku kan pacar kamu, Ben!" rengek Natasha.
"Hentikan kalimat itu, Nat. Aku dan kamu sudah putus. Oke?" Ben menatap Natasha dengan ekspresi bosan.
Natasha mendecak kesal. Ia meremas tangan Ben dan kemudian menariknya menjauh dari sana. Ben terpaksa ikut dengannya dan kini, mereka pun duduk di teras depan rumah Sam.
"Apa yang kamu inginkan, Nat?" Ben melipat kedua tangannya di depan dada. Sebenarnya, ia tidak perlu menanyakan hal itu karena ia sudah tahu jawabannya.
"Ben, kamu tidak perlu berkata kasar seperti itu padaku," ujar Natasha tegas. "Apa kamu berniat untuk mempermalukanku di depan semua orang? Huh? Apa itu tujuanmu?"
Ben menautkan alisnya dan bingung dengan apa yang baru saja Natasha ucapkan. "I beg your pardon? Apa yang kamu katakan tadi?"
"Aku tahu! Kamu sengaja berkata seperti itu supaya semua orang membicarakanku di belakangku. Supaya aku malu dan kamu puas karena melihatku diejek semua orang!" seru Natasha, murka.
"Aku tidak pernah berniat untuk mempermalukanmu, Nat," ucap Ben yang mulai merasa kesal. "Kamu sendiri yang datang sendiri ke sini dan mengaku-ngaku kalau kamu itu pacar aku. Bukankah aku sudah menjelaskan semuanya waktu itu kalau hubungan kita sudah berakhir? Kenapa kamu masih mengharapkanku?"
"Itu karena aku masih mencintaimu!" seru Natasha dengan wajah yang memerah dan mata yang berkaca-kaca. "Tidakkah kamu mengerti kalau aku masih sangat mencintaimu, Ben?"
Ben menghela napas sambil memutar bola matanya. Inilah hal yang paling Ben tidak suka. Ketika wanita memasang wajah memelas dan mengatakan bahwa wanita itu mencintainya, Ben bisa luluh dan melunak seperti lilin yang terkena api.
Namun, cinta sebelah pihak saja tidak akan cukup. Ben tidak ingin melanjutkan hubungannya dengan Natasha. Jadi, tidak ada jalan lain. Ia harus mengatakan yang sejujurnya pada Natasha. Ben bangkit berdiri supaya ia bisa membuat penekanan dalam setiap kata-katanya.
"Nat, listen. Aku tidak bisa bersama denganmu lagi," kata Ben dengan wajah serius.
Natasha ikut berdiri di hadapannya. "Kenapa? Aku akan melakukan apa saja untukmu asalkan kamu mau menjadi kekasihku lagi, Ben. Please. I beg you."
Ben menggelengkan kepalanya. "Natasha, kamu berhak mendapatkan pria yang lebih baik dariku."
"Kamu adalah yang terbaik untukku," sahut Natasha keras kepala.
"Ugh! Dengarkan aku dulu, Nat. Aku ini bukan pria yang baik untukmu. Aku sudah punya pacar yang lain."
"What?! Kamu … kamu selingkuh dariku?"
"Ya dan tidak. Hei, kita sudah putus." Ben mendecak kesal. "Kamu tidak bisa menyebutku selingkuh darimu, tapi yes, aku selingkuh dari pacarku yang sekarang."
Natasha menatap Ben sambil melebarkan matanya, tampak tak percaya dengan pengakuan Ben. "Kamu tidak mungkin …."
"Mungkin! Dan sebenarnya aku selalu melakukannya. Aku sedang berpacaran dengan Lisa. Kebetulan dia sudah menikah dan punya anak. Ssshhh!" Ben menaruh telunjuk di depan mulutnya. "Jangan bilang-bilang pada Mom, okay? Dan kemudian, aku berpacaran juga dengan Rina—uhm … Lina? Eh, maksudku Vina. Wait a second. Kenapa aku lupa ya? Maksudku, Tina. Ya, namanya memang Tina."
Agak susah mengingat nama Tina. Ben mengeluarkan ponselnya untuk mencari petunjuk, dan ia melihat ada sekitar tiga puluh pesan singkat dari sosial medianya. Ia melihatnya sekilas dari bagian atas ponselnya; ada nama Tina. Good. Berarti ia tidak salah.
"Ya, betul. Namanya Tina Martina. Pengulangan nama yang lucu." Ben terkekeh. "Jadi … ya, aku dan kamu sebaiknya berpisah saja."
Natasha menyeka air matanya dan kemudian membuang wajahnya. Ia tampak sedang berpikir sambil berkacak pinggang. Ben tidak suka momen seperti ini. Sepertinya, beberapa detik lagi Natasha akan mengambil sebuah keputusan yang sulit.
"Tidak, tidak, tidak," ujar Natasha pada dirinya sendiri sambil menggelengkan kepala. "Benedict Nicholas Adinegara, kamu tidak mungkin selingkuh dariku. Aku tahu. Kamu sengaja bersikap seperti itu karena kamu kehilangan aku, ya kan? Ben, katakan padaku kalau kamu sebenarnya masih mencintaku."
Ben mendecak. "Kamu ini mengada-ngada, Nat. Sudahlah. Jika wanita yang normal mendengar seorang pria berselingkuh dengan wanita lain, seharusnya wanita itu langsung meninggalkan pria itu. Tapi, kamu malah bersikap sebaliknya."
"Aku tidak peduli, Ben. Bagiku, memilikimu saja sudah merupakan sebuah kebahagiaan bagiku, meskipun wanita lain juga memilikimu."
Ben merasa tidak enak hati melihat Natasha yang memelas seperti itu. Dan detik berikutnya, Natasha mendekatkan wajahnya, kemudian berjinjit untuk mencium bibir Ben. Wanita itu sangat wangi. Harum parfumnya seketika membuka Ben terlena.
Ke mana saja ia selama ini? Wanita ini memang sangat cerewet dan banyak mengatur, tapi bibirnya terasa sangat lembut dan nikmat. Wajahnya lumayan cantik dan yang terpenting, aroma tubuhnya amat sangat memikat.
Ben membalas ciuman Natasha sambil memeluknya dengan erat. Ia meremas bokong Natasha yang sintal. Wanita itu pasti mengenakan thong karena Ben bisa merasakan lekuk bokongnya tanpa halangan.
Sebuah dehaman menghentikan ciuman mereka. Ben melepaskan pelukannya dan kemudian mundur beberapa langkah sambil mengelap mulutnya dengan tangan. Lipstik Natasha mengenai bibirnya.
Ibunya tersenyum sambil melipat tangannya di depan dadanya. Matanya memandang wajah Ben seolah menyiratkan sesuatu; Ben tidak suka itu.
"What's the matter, Mom? Haven't you seen someone kissing?"
"No, never." Ibunya menggelengkan kepalanya.
"Hai, Aunt Milly," sapa Natasha sambil tersenyum malu-malu. "Maafkan aku, tadi itu … uhm …."
"Tidak apa-apa, Nat," ujar ibunya sambil tersenyum manis. Lalu ibunya menoleh pada Ben. "Mom ke sini ingin mengajakmu untuk berfoto bersama yang lain. Mom mencarimu ke mana-mana, ternyata kamu ada di sini sedang … yah … itu lah."
Ibunya menggerakkan tangannya seperti yang sedang menghalau nyamuk. "Ya sudah. Silakan lanjutkan yang tadi sempat terpotong. Aku akan memberitahu Marshal dan Ika kalau kalian tidak akan ikut foto."
"What?!" seru Ben. "Oke, aku ikut."
Ben bergerak cepat dan menyusul ibunya untuk menggandeng tangannya. Ia biarkan Natasha menyusul mereka di belakang.
"Menurut Mom, kamu dan Natasha itu cocok," bisik ibunya di kuping Ben.
"Noway, Mom. Bagiku, dia itu hanya sekedar main-main saja," jawab Ben sepelan mungkin di kuping ibunya.
Ibunya memutar bola matanya. "Terserah padamu saja."