Pagi itu, Ben terbangun dengan tubuh yang kaku. Rasanya pegal-pegal di sekujur tubuhnya hingga ia sulit untuk bergerak. Ben menoleh ke samping dan melihat Natasha dengan wajah yang polos seperti bayi, sedang terlelap dalam mimpinya.
Samar-samar cahaya matahari mengintip di balik gorden yang tebal. Ben memaksa dirinya untuk bangun dari tempat tidur dalam keadaan tanpa busana. Ia memungut pakaiannya dari lantai dan membuang bungkus bekas alat kontrasepsi ke tempat sampah yang ada di kamar mandi.
Kacau. Ben seharusnya tidak tidur dengan Natasha. Wanita itu telah menggodanya semalam dan membuatnya hilang kendali. Dalam satu hari kemarin, Ben telah bercinta dengan tiga wanita berbeda. Ini sungguh gila.
Selama ini Ben hanya bermain-main dengan Lisa saja. Sedangkan Tina hanyalah sekedar wanita yang baru ia kenal beberapa hari. Lalu Natasha adalah mantan kekasihnya yang sudah lama ia tinggalkan. Ben bahkan lupa jika ia pernah berpacaran dengan wanita itu.
Seandainya Natasha tidak menggodanya semalam, Ben pasti langsung pulang ke rumahnya dan kembali melupakan Natasha selamanya. Jika sudah seperti ini, ia tak dapat berbuat apa-apa lagi. Semoga saja Natasha berhenti menggodanya dan mulai melupakannya.
Ben membuka keran dan mandi dengan kilat. Sekarang sudah pukul sembilan pagi, Ben harus pulang ke rumahnya untuk berganti pakaian dan pergi kuliah jika masih ada waktu.
Saat ia baru saja keluar dari kamar mandi, ia melihat Natasha sedang duduk di kasur sambil mengenakan pakaian dalamnya.
"Hai, Ben," sapa Natasha dengan suara yang parau.
"Hai. Hmmm, Nat, aku pikir sebaiknya kita lupakan saja apa yang sudah kita lakukan semalam. Aku tidak bisa berpacaran dengan kamu. Uhm … jadi hubungan kita sampai di sini saja. Oke? Kamu adalah seorang wanita baik-baik dan kamu tidak pantas mendapatkan pria berengsek seperti aku."
Natasha menghentikan tangannya yang baru saja mengaitkan bra-nya. Wajahnya tampak pucat karena syok.
"Ben, kamu tega berkata seperti itu setelah apa yang sudah kita lakukan semalam?" lontar Natasha dengan kerutan di dahinya.
"Semalam itu sangat … melelahkan. Aku sudah bercinta dengan wanita lain sebelum kita bersama tadi malam. Jadi … ya, aku sangat lelah. Aku tidak ingin melanjutkan apa pun lagi denganmu," ucap Ben jujur dan tegas. Lebih baik berkata jujur daripada mengada-ada cerita.
"Kamu …," ucap Natasha dengan bibir yang bergetar dan air mata pun turun membasahi pipinya. "Kamu kejam sekali padaku!"
"Aku akan menyiapkan sebuah mobil untukmu supaya kamu bisa pulang ke rumah," ucap Ben sambil mengeluarkan ponselnya.
Ben mengetik pesan singkat pada Hedi, asistennya, dan memintanya untuk menyiapkan mobil untuk Natasha. Ia pikir, semuanya pasti beres. Ini adalah pertama kalinya Ben merasa bersalah karena telah meniduri temannya Sam.
Jika ia memang benar-benar berpacaran dengan Natasha, maka ia tidak akan mengkhawatirkan apa pun. Namun, berhubung ia tidak mencintai Natasha, ia jadi merasa tidak enak hati.
Bagaimana bisa ia semudah itu masuk dalam jerat godaan Natasha? Seharusnya Ben tidak perlu sampai bercinta dengan Natasha. Namun, apa boleh buat. Ia terlanjur melakukannya meski ia yakin jika itu aman.
Urusan yang di luar mungkin aman, tapi tidak untuk urusan hati Natasha. Ben sudah tidak punya waktu untuk mempedulikan perasaan Natasha.
Hedi membalas pesannya dan mengatakan jika mobilnya akan tiba dalam dua puluh menit.
"Mobilnya akan segera menjemputmu. Uhm, maafkan aku, Nat. Sebaiknya, kamu jangan menghubungi aku lagi. Oke? Maafkan aku ya. Bye."
"BERENGSEK!"
Ben pun segera meninggalkan kamar hotel, meninggalkan Natasha yang menjerit sambil melemparnya dengan telepon yang ada di atas nakas. Syukurlah, telepon itu tidak sampai mengenai Ben karena ada kabel yang menahannya.
Ben bergegas turun dengan menggunakan lift menuju ke tempat parkiran. Apa yang ia akan katakan pada Natasha memang benar. Ia lelah dengan semua ini. Ia memang pria berengsek, tapi ia mungkin tidak menyangka jika ia seberengsek itu.
Perut Ben terasa lapar, tapi ia tidak ingin sarapan di hotel itu. Yang ia inginkan hanyalah bergegas pergi dari tempat itu.
Saat di jalan, ia menyempatkan diri untuk membeli roti di toko kue langganannya. Menurut ibunya, toko kue itu adalah toko yang paling enak di Batam. Mendiang ayahnya bahkan bisa membuat roti yang sama enaknya dengan roti yang ada di toko itu.
Ben tidak menyangka jika ibunya akan pernah jatuh cinta dengan seorang chef. Bagi Ben, pekerjaan chef itu bukanlah salah satu pekerjaan favoritnya.
Ibunya tidak lagi meneruskan usaha katering mendiang ayahnya karena ibunya sudah tak sanggup lagi. Ben pun tidak paham tentang urusan masak memasak. Ia bahkan tidak ahli dalam bidang apa pun selain menggoda wanita.
Ben tiba di rumahnya dan menyantap roti yang baru saja ia beli dengan segelas susu stroberi dari kulkas. Ini adalah sarapan yang kesiangan karena sekarang sudah pukul setengah sebelas siang. Seharusnya Ben ada kuliah siang ini, tapi ia sungguh tidak ada mood untuk belajar.
Sekujur tubuhnya terasa sakit dan pegal, terutama di area selangkangan karena percintaannya semalam dengan Natasha. Wanita itu meremas-remas bahu dan bokongnya dengan sangat keras. Ternyata Natasha adalah wanita yang sangat kasar dan terlalu bersemangat.
Sepertinya wanita itu cukup berpengalaman di atas ranjang. Ben tidak ingin membayangkan sudah seberapa sering Natasha tidur dengan mantan-mantannya. Di dunia ini, tidak hanya Ben yang nakal. Masih ada orang lain yang bahkan lebih bejat darinya.
Tiba-tiba, ponselnya berdering. Ada telepon masuk dari Hedi. "Halo, ada apa, Di?"
"Halo, Ben, aku hanya ingin melaporkan kalau Natasha sudah pulang ke rumahnya dengan selamat, tapi supirnya mungkin tidak benar-benar selamat," ungkap Hedi.
"Eh, apa maksudmu?" Ben menautkan alisnya, bingung.
"Jadi, Natasha marah-marah dan mengumpat pada pak supir sepanjang jalan sampai dia tiba di rumahnya. Supir itu mengeluh karena sikap Natasha yang dianggap tidak sopan."
Ben mendesah. "Sebenarnya Natasha bermaksud untuk mengumpat padaku, bukan pada pak supir. Ah, sudahlah. Tolong beri supir itu uang tambahan untuk mengobati sakit hatinya."
"Oh, baiklah kalau begitu. Uhm, apa kamu akan kuliah hari ini, Ben?" tanya Hedi membuat Ben jadi agak terkejut.
"Entahlah. Aku malas pergi ke kampus karena badanku pegal-pegal."
"Oh, ya sudah kalau begitu. Kamu bisa istirahat di rumah sampai badanmu sehat lagi," ucap Hedi yang terdengar seperti yang sedang mengejeknya.
"Tidak juga. Aku akan pergi sebentar lagi."
Selesai menelepon, Ben pun menaruh gelas kotor ke tempat cucian dan kemudian mengganti pakaiannya dengan yang baru. Meski Ben lelah dan lesu untuk pergi ke kampus, tapi ia tidak ingin orang lain meremehkannya.