"Hmmm, memangnya kamu berani mengajaknya ke prom?" tanya Jihan sambil mengangkat sebelah alisnya.
"Memangnya kenapa? Lagi pula bukan aku yang mengajaknya, tapi dia sendiri."
Jihan mengangguk perlahan. "Tunggu saja sampai Gani melabrakmu."
"Gani? Memangnya kenapa? Gani dan Deviana tidak ada hubungan apa pun." Ben menatap Jihan curiga.
"Kita lihat saja nanti. Yang aku tahu, Gani itu menyukai Deviana. Kamu tahu kan seperti apa Gani jika ia sampai marah. Kalian akan berkelahi dan …."
"Apa?"
Jihan mendesah sambil menurunkan tangannya. Ia menatap Ben seperti seorang ibu sedang menatap anak lelakinya yang nakal. "Reputasimu akan semakin buruk, Ben. Aku tidak ingin hal itu sampai terjadi padamu."
"Ah, aku tidak peduli, Han. Aku kan tidak melakukan apa-apa pada Deviana. Aku hanya membantunya sedikit."
Jihan mengangguk. "Semoga semuanya baik-baik saja."
Ben dan Jihan pun sama-sama masuk ke kelas lainnya yang berada di lantai tiga. Lagi-lagi, Ben melihat Briella dari kejauhan. Ia sedang berbicara dengan temannya, Vanessa. Mereka tampak akrab.
Tidak sedikitpun Ben melihat adanya ekspresi judes di wajah Briella. Ia tampak santai mengobrol sambil tertawa pelan. Sebenarnya Ben senang karena ternyata masih ada wanita yang ternyata membencinya dan berkemungkinan untuk menolaknya.
Namun, ia pun berharap jika Briella akan tersenyum padanya walaupun hanya satu kali.
Usai kelas yang terakhir, Ben dan Jihan pun berjalan keluar dari ruangan sambil mengobrol.
"Apa kamu bawa mobil, Han?" tanya Ben.
"Tidak. Tadi kakakku yang mengantar ke kampus. Kebetulan dia sedang ada urusan," jawab Jihan.
"Baguslah kalau begitu. Kita naik mobilku saja," ucap Ben.
Sebelum pulang, Ben dan Jihan pergi ke toilet. Ben selesai lebih dahulu, jadi ia menunggu Jihan di depan pintu toilet sambil melihat-lihat ponselnya. Sialnya, ada lebih dari dua puluh pesan yang belum ia baca.
Ibunya telah meneleponnya sebelas kali dan ada beberapa WA yang menanyakan hal yang sama.
"Ben, ada di mana kamu? Kenapa kamu tidak pulang semalam?" tanya ibunya melalui pesan singkat itu.
Lalu ada lagi dari Natasha yang salah mengirim pesan. Alih-alih menulis buku diari, ia malah mencurahkannya ke WA Ben. Isi pesan itu panjang-panjang semua terkait perasaannya semalam dan apa yang menjadi isi hatinya sekarang.
Wanita itu ingin kembali rujuk dengan Ben, tapi ia merasa sedih karena Ben malah mencampakkannya. Ia terus menerus mengatakan bahwa ia bersedia menjadi wanita nomor dua atau lebih agar dapat bersama terus dengan Ben.
Ben menghela napas dan segera menghapus semua pesan-pesan itu.
Lalu ada pesan dari Sam yang mengajaknya untuk menonton film baru ke bioksop.
"Hei, Ben. Ada film petualangan terbaru dari Chris Evans. Ayo kita nonton bersama! Apa malam ini kamu sibuk?"
Ben tersenyum dan kemudian membalas pesan singkat itu. Saat ia sedang asyik mengetik di layar, tiba-tiba, seseorang menabraknya dari belakang hingga ia terdorong dan ponselnya terlepas dari tangannya.
"What the …."
Ben menoleh ke belakang dan menghentikan umpatannya. Briella sedang menatapnya dengan ekspresi terkejut. Matanya yang biasanya tampak tajam seperti elang, sempat menghilang di wajahnya. Lalu Ben melihat semburan merah muda di pipinya yang putih dan mulus.
Ah, sepertinya wanita itu gugup. Jujur saja, itu adalah pertama kalinya Ben melihat Briella semanis dan seimut itu.
Lalu dalam hitungan detik, semua ekspresi manis dan lucu itu menghilang dan digantikan dengan ekspresi galak seperti biasanya. Alis Briella mengernyit dan rahangnya tampak kaku.
"Apa yang kamu lakukan di depan toilet perempuan? Apa kamu mau mengintip?!" tuduh Briella kejam.
"Apa?!" Ben menatap wanita itu tak percaya. "Untuk apa aku mengintip? Aku sama sekali tidak—"
"Kalau begitu menyingkirlah!" bentak Briella sambil menyipitkan matanya yang tajam dan langsung melukai tenggorokan Ben.
Betapa mengerikannya seorang Briella ketika sedang membentak. Ben nyaris tak pernah mendengar suaranya berbicara dan begitu ia mendengarnya, ia langsung menyesal. Briella bukanlah wanita yang ramah dan bersahaja.
"Kamu sudah menjatuhkan ponselku!" balas Ben yang mendadak marah sambil memungut ponselnya dari lantai.
Sialnya, ponselnya mati dan ada sedikit retak di layarnya. Lalu ia menunjukkan ponselnya ke depan wajah Briella dengan kasar.
"Lihat ini! Semua ini gara-gara kamu! Ponsel aku jadi rusak!" teriak Ben.
"Eh, eh, eh. Ada apa ini?" Jihan baru saja keluar dari toilet dan langsung berdiri di antara Ben dan Briella.
"Dia sudah merusak ponselku!" tuduh Ben sambil menunjuk Briella.
"Seenaknya saja kamu menuduhku!" Briella melipat tangannya di dada, tidak setuju dengan tuduhan Ben. "Kamu sendiri yang memegang ponselmu. Aku tidak pernah menyentuhnya apalagi sengaja menjatuhkannya."
"Kamu kan—" Ben mendecak kesal. "Tadi kan jelas-jelas kamu yang mendorongku dari belakang."
"Ya, itu kan tidak sengaja. Kamu menghalangi pintu keluar dan itu kan sudah jelas toilet perempuan. Jadi kalau kamu menjatuhkan ponselmu, ya itu karena salahmu sendiri," ucapnya dengan wajah yang tampak amat sangat menyebalkan.
Ben naik pitam, darahnya mendidih di bawah kulitnya hingga muncul asap tak kasatmata di sekujur tubuhnya. "Kamu!"
"Udah, udah," potong Jihan. "Uhm, El, sebaiknya kamu pergi saja. Biar aku yang mengurus Ben, oke? Kita bukan anak kecil lagi. Jadi, sebaiknya, hentikan pertengkaran ini."
Briella merapikan kerah kemejanya dan kemudian berjalan melewati Ben sambil melemparkan tatapan sinis bak seorang pembunuh berdarah dingin.
"Enak saja! Dia harus bertanggung jawab!" seru Ben yang tidak terima melihat Briella pergi begitu saja.
"Sudahlah, Ben," ujar Jihan sambil menyipitkan matanya.
"Setidaknya, dia harus mengganti rugi! Kamu lihat sendiri, layar ponselku retak!" cecar Ben.
Tiba-tiba, Briella menghentikan langkahnya dan kembali mendekati Ben. Lalu ia mengeluarkan sebuah kertas kecil dari dompetnya dan menyerahkannya pada Ben.
"Ini kartu namaku. Kalau kamu butuh uang untuk biaya ganti rugi, tak perlu ragu untuk menghubungiku." Lalu ia mendengus mengejek. "Memangnya berapa sih harga ponselmu itu? Ponsel murah begitu saja harus ribut-ribut. Hmmm, memalukan."
Lalu Briella membalikkan badannya dan melangkah dengan cepat meninggalkan Ben yang terperangah sambil memegang kartu nama di tangannya. Segera saja sumpah serapah melesat keluar dari mulut Ben.
Jihan mendecak. "Sudahlah. Ayo kita pergi dari sini."
Sahabatnya itu menepuk punggung Ben dan menariknya menjauh dari tempat itu. Mereka berjalan bersama-sama menuju ke parkiran. Mau tak mau, Jihan harus mendengar semua ocehan Ben yang tidak suka dengan kelakukan Briella.
"Dasar wanita gila! Dia pikir dia siapa? Berani sekali merendahkanku seperti itu?!" seru Ben kesal.
"Dia itu kan anaknya bos. Maklum kalau dia arogan," ucap Jihan yang mencoba menenangkan Ben.
"Aku juga anak bos! Aku bahkan seorang bos! Kamu tahu kan kalau aku juga mengurus perusahaan ibuku!" Ben menepuk dadanya sendiri.
"Iya, iya," ujar Jihan dengan nada bosan. "Sudahlah, Ben. Kalau kamu merengek-rengek terus seperti bayi, aku akan memberikanmu empeng supaya mulutmu diam."