Ben menyisir rambutnya hingga rapi yang mana itu tidak berguna. Apa pun yang ia lakukan, tak ada gunanya karena rambutnya akan selalu berantakan dan berwarna coklat seperti ibunya. Ben jadi membayangkan rambut ayahnya yang terlihat keren di foto pernikahan orang tuanya.
Setelah siap, Ben pun berangkat menuju ke kampusnya. Ia berhenti sebentar untuk membeli kopi melalui drive-thru. Seperti biasa, Ben memesan kopi karamel. Ia menyeruput kopi dingin itu sambil menjalankan mobilnya.
Tak berapa lama kemudian, Ben tiba di kampusnya. Beberapa temannya menyapa Ben, tapi tak sedikit pula yang menatapnya dengan sinis.
Ben bukanlah anak idola di kampusnya. Beberapa wanita mungkin menyukainya, tapi banyak pula yang membencinya. Ada salah satu pria yang bersumpah akan membencinya seumur hidupnya karena Ben telah merebut mantan kekasihnya.
Ben sengaja melakukannya karena pria itu telah merendahkannya dan mengejeknya karena ia tidak mempunyai seorang ayah. Apa yang salah jika ayahnya sudah tiada? Semua orang juga pasti akan meninggal pada waktunya.
Sebenarnya, Ben bukan tipe orang yang suka mendendam. Namun, ia tak akan terima jika ada seseorang yang mengejeknya mengenai orang tuanya.
Sejak SMP, Ben selalu mendapat perundungan dari teman-temannya yang mengatakan jika ia adalah anak haram. Kata-kata itu terngiang-ngiang terus di kepalanya hingga ia menjadi sangat marah. Ia mengamuk pada teman-temannya dan yang mendapat hukuman justru Ben.
Teman-temannya lebih sering menertawakan dan mengejeknya daripada bersikap normal. Ben sempat membenci ibunya karena semua hal yang terjadi padanya.
"Mom! Kenapa aku tidak punya ayah?!" seru Ben ketika ia masih SMP. Wajahnya buruk rupa, bersimbah air mata.
"Siapa yang bilang seperti itu padamu? Kamu punya ayah, Ben, tapi dia sudah meninggal."
"Kenapa dia meninggal? Apa dia sudah tidak menginginkanku lagi? Mom jahat! Harusnya aku punya ayah supaya tidak ada yang mengejekku lagi!"
Ben menyesali perkataannya waktu itu hingga sekarang. Saat itu, ia masih anak-anak dan tidak paham perasaan ibunya. Ia tahu jika ibunya pun sedih karena kehilangan suaminya.
Semenjak Ben lahir, ia tak pernah melihat ayahnya sama sekali. Menurut semua orang, ayahnya meninggal saat Ben masih dalam kandungan ibunya.
Selama ini, Ben selalu berharap jika ibunya menikah dengan Liam. Namun, pria itu hanya akan menjadi sahabat ibunya, tidak lebih.
Dan inilah Ben yang sekarang. Ia adalah seorang pria yang sedang mencari jati dirinya. Saat ia masuk SMA, Ben membuang jauh-jauh semua citra buruk tentang dirinya dan mengubahnya menjadi seorang lelaki tampan yang digemari para wanita.
Ia senang menggoda mereka dan membuat mereka nyaman dengannya. Tak ada lagi seorang pun yang berani menyebutnya anak haram karena ia punya gaya, selera, dan penampilan yang memukau.
Saat ada yang merundungnya, maka teman-temannya akan langsung membela dan melindunginya. Kebanyakan, teman-temannya adalah perempuan semua. Ben bahkan telah merebut banyak gadis dari pada teman-temannya yang jahat dan menyebalkan.
Ben disayang dan dicintai para wanita, tapi hal itu pun tidak lantas membuatnya bahagia. Terlalu mudah mendapatkan hati para wanita membuatnya jadi agak bosan. Sesekali ia butuh wanita yang menolaknya hingga membuatnya jadi penasaran.
Sungguh, itu adalah permintaan yang sangat bodoh dan tidak masuk akal. Ketika para pria lain mengemis-ngemis cinta pada para wanita, Ben justru menolak mereka karena sudah terlalu banyak wanita yang menginginkannya.
Ben berjalan melewati koridor menuju ke gedung bisnis. Itu adalah jurusan mata kuliahnya sekarang. Ia mencari-cari Jihan, tapi sepertinya ia belum melihat sahabatnya itu.
"Ben!" seru Deviana dari balik punggungnya.
Ben menoleh ke belakang dan tersenyum padanya. Wanita itu adalah kakak tingkatnya yang kebetulan dekat dengannya selama beberapa hari ini. Ia bertubuh kurus kecil dengan tinggi badan yang tidak lebih dari seratus lima puluh lima sentimeter
Suara Deviana terdengar imut seperti suara anak SD. Apakah semua wanita bertubuh mungil juga memiliki suara yang seperti anak kecil? Setidaknya, wajahnya cantik dan manis. Sungguh wajah yang enak dipandang.
"Hai, Kak!" balas Ben sambil tersenyum dan mengangkat sebelah tangannya yang sedang memegang gelas kopi.
Deviana berhenti di depan Ben sambil memeluk buku di dadanya. "Jangan panggil kakak dong. Kita kan sudah sepakat untuk memanggilku nama."
Ben terkekeh. "Maaf. Aku masih belum terbiasa. Baiklah, mulai sekarang aku akan memanggilmu Deviana. Oke?"
"Oke. Hmmm, apa kamu baru datang, Ben?"
"Iya. Aku ada kelas siang," jawab Ben.
"Omong-omong, wajahmu tampak seperti yang kurang tidur. Kamu habis bergadang ya?" tebak Deviana.
Ben menggerakkan kakinya dan memindahkan tumpuan tubuhnya ke kaki satunya lagi. Pangkal pahanya masih pegal dan sekarang pinggangnya pun mulai sakit. Semua itu karena ia terlalu banyak bercinta dengan para wanita.
"Ya, kurang lebih begitu," ucap Ben sambil menggoyangkan gelas kopi di tangannya.
"Jadi, untuk itu kamu minum kopi?" Ben pun mengangguk setuju. "Kamu pasti sibuk mengerjakan tugas kuliah ya."
Ben terkekeh. "Tidak juga."
"Oh ya, Ben kalau kamu suka kopi, lain kali biar aku yang traktir ya," ucap Deviana sambil tersenyum riang.
"Terima kasih, Dev. Hari ini aku sudah cukup minum kopi. Sekarang, aku merasa lebih segar."
Deviana mengangguk. "Baguslah kalau begitu. Ben, kita masuk kelas bersama yuk," ajaknya.
"Ayo."
Ben dan Deviana pun sama-sama masuk ke dalam kelas. Wanita itu tampak kecil sekali berada di sebelah Ben.
"Oh ya, Ben. Soal prom night …."
Ben menoleh pada Deviana. "Ada apa dengan prom night? Itu acara di teman-teman seangkatan kamu kan?"
"Ya. Aku tidak tahu harus pergi ke sana dengan siapa," ucap Deviana malu-malu. Ia menunduk sambil menggigit bibirnya.
"Aku pikir kamu akan pergi dengan Gani."
"Apa?!" seru Deviana. "Tidak, tidak. Aku tidak akan pernah pergi dengannya. Itu mustahil."
"Kenapa? Aku pikir kamu menyukainya."
Gani adalah salah satu pria yang populer di kampus. Wajahnya memang tampan dan beberapa wanita menyukainya. Deviana terlalu rendah diri karena tidak berani mendekati pria itu. Padahal Ben tahu jika Gani sebenarnya menaruh perhatian pada wanita di sebelahnya ini.
Deviana pun menoleh padanya sambil meringis. "Kalaupun aku menyukainya, belum tentu dia menyukaiku."
"Jadi, kamu maunya bagaimana?" tanya Ben.
"Aku ingin kamu yang menemaniku ke acara itu," pinta Deviana dengan wajah yang malu-malu.