Ben hanya bisa pasrah saat ia duduk di sebelah kiri wanita itu. "Apa yang kamu lakukan, Jihan?"
Jihan menghela napas. "Tidak perlu banyak bicara. Aku akan mengantarmu pulang. Mama kamu sedang menunggumu di rumah."
Ben memutar bola matanya. "Kamu tidak perlu mengatur hidupku, Han."
"Sebagai seorang sahabat, aku sangat peduli padamu, Ben," ujar Jihan enteng. "Apa kamu mau jika aku memberitahu ibumu tentang apa yang sudah kamu lakukan hari ini di hotel pamanmu sendiri?"
"Hei! Jangan pernah sekalipun juga kamu berani memberitahu Mom tentang hal ini!" ancam Ben.
"Atau apa?" tantang Jihan.
"Oh, come on, Jihan! Kamu itu tidak asyik."
"Sebaiknya, sekarang kamu pulang. Kamu tidak akan melewatkan ulang tahun sepupumu kan?" Jihan mengangkat alisnya sambil menoleh padanya.
"Jadi, apa sekarang kita akan ke rumah uncle?"
"Yes. Omong-omong, apa kamu tidak akan memberikan kado untuk Sam?"
Ben jadi berpikir, selama ini ia tidak pernah mempersiapkan apa pun untuk ulang tahun Sam. Padahal Sam adalah sepupunya yang paling dekat dengannya.
"Bagaimana kalau kita mampir dulu ke toko kue?" usul Ben. "Dia suka kue keju kan?"
"Oke," ujar Jihan.
Mereka pun berbelok ke sebuah toko kue yang cukup terkenal di kota Batam. Ben asal memilih kue, yang penting rasanya keju. Lalu ia meminta untuk dibuatkan tulisan 'Selamat Ulang Tahun Sam' di atas kue tersebut.
Selesai dari sana, Ben dan Jihan pun meluncur ke rumah pamannya Ben yang terletak di daerah perkebunan. Beberapa mobil berjajar rapi di depan rumah pamannya yang mirip seperti villa itu.
Mobil Ben berada di urutan yang paling belakang. Ia dan Jihan kemudian berjalan memasuki pekarangan. Sepertinya hanya Ben yang datang paling terlambat.
Matahari sudah tenggelam. Lampu-lampu kecil menyala kuning, menghiasi taman yang cantik. Sudah lama sekali Ben tidak berkunjung ke rumah ini. Padahal waktu kecil, ia tinggal di rumah ini cukup lama.
Ben mencium bau mulutnya yang sepertinya kurang segar. Saat ia masuk ke dalam, seorang wanita cantik menyambutnya dan kemudian menariknya ke samping.
"Ben! Dari mana saja kamu?" cecar ibunya sambil mengacak-acak rambutnya.
"Mom!" protes Ben. "Hentikan!"
"Astaga kamu bau sekali!" protes ibunya sambil mengernyit. "Untung saja Mom bawa baju ganti. Tunggu sebentar."
Ibunya mengambil sebuah kantung kertas yang diletakkan di meja dan menyerahkannya ke tangan Ben dengan kasar. "Ayo cepat mandi sana! Ganti baju!"
Ben mendecak kesal. Ia merasa dirinya masih seperti anak kecil yang harus dimarahi oleh ibunya, padahal ia sudah berusia dua puluh satu tahun dan sebentar lagi ia akan ulang tahun yang ke dua puluh dua.
Akhirnya, Ben menurut untuk masuk ke kamar mandi. Ia mandi dengan kilat dan mengganti baju yang sudah disiapkan oleh ibunya. Terdengar suara berisik keluarga besarnya di ruang tengah. Ia jadi ingin segera bergabung dengan mereka.
Selesai menyisir rambutnya yang basah, Ben keluar dari kamar mandi. Sepupu perempuannya yang paling besar sedang berdiri di depan kamar mandi sambil menyunggingkan senyum penuh arti. Tubuhnya tinggi dan langsing. Wajahnya mirip seperti ibunya.
"Aku pikir siapa yang ada di dalam sana, ternyata kamu," ujarnya.
"Hai, Ririn," sapa Ben.
"Aku tidak mendengar kamu datang," ujar Ririn.
"Ya, tentu saja. Itu karena aku muncul dari kamar mandi. Hebat kan."
Ririn tertawa. "Kamu itu ada-ada saja. Ayo menyingkirlah. Aku mau masuk ke dalam sana."
Ben bergerak ke samping dan Ririn pun masuk ke dalam kamar mandi. Lalu Ben membereskan pakaiannya dan menaruhnya di meja. Segera saja ia bergabung bersama keluarga besarnya.
"Hello, everyone," sapa Ben.
"Ben!" seru semuanya.
"Kemarilah!" Kakeknya memberi tanda pada Ben untuk mendekat, dan ia pun mendapatkan pelukan hangat.
Neneknya pun tidak mau ketinggalan untuk memeluk dan mencium pipinya. Uncle Marshal, pamannya yang paling besar dan anaknya, Sam, menghampirinya sambil tersenyum lebar.
"Hai, Ben," sapa pamannya.
"Apa kabar, Uncle Marshal?" Ben tersenyum sambil mengangguk.
"Baik, Ben," jawab pamannya.
Di sebelahnya muncul Sam yang sumringah saat melihat Ben.
"Sam!" seru Ben. "Happy birthday! Oh, hampir saja aku lupa. Aku membawa kue untukmu."
"Mom sudah menaruhnya di meja," ujar ibunya.
"Ya, aku sudah melihatnya. Thanks, Bro."
Ben dan Sam pun saling merangkul. Ia memang paling dekat dengan Sam di antara sepupu-sepupunya yang lain. Tak lupa Ben pun menyapa si kembar Chloe dan Jolly. Chloe sedang hamil lima bulan. Ia sedang memamerkan perutnya ke saudara kembarnya yang baru saja menikah tiga bulan yang lalu. Para suami si kembar sedang mengobrol seru di dekat meja televisi.
Jordan, adiknya Ririn sedang mengobrol mesra dengan seorang gadis di pojok sana. Ben menyunggingkan senyum separuhnya pada Jordan yang berani membawa kekasihnya ke acara keluarga. Kakaknya saja belum memiliki pacar.
Ririn itu orangnya terlalu kaku. Tidak heran jika di usianya yang menginjak nyaris tiga puluh empat tahun, ia belum juga menikah. Meski Ben hidup di lingkungan keluarga yang berdarah Inggris, tapi mereka menganut ajaran timur seperti di Indonesia.
Bagi keluarga ibunya ini, jika di usia yang menginjak lewat tiga puluh dan belum menikah, maka akan menjadi pembicaraan keluarga. Menurut Uncle Monty, ayah dari si kembar, ibunya pun mengalami hal yang sama. Mereka sempat meledek ibunya lesbi karena hingga usia lewat tiga puluh masih belum pernah berpacaran dengan pria mana pun.
Ben tertawa terpingkal-pingkal mendengar cerita pamannya yang paling muda itu. Katanya, ibunya menikah dengan ayahnya di usia tiga puluh empat tahun. Ben hanya melihat wajah ayahnya melalui foto saja. Sejak ia lahir, ayahnya sudah meninggal karena kecelakaan.
Ben sempat memergoki ibunya sedang menangis sambil memeluk guling dengan sebuah pigura foto ayahnya tersimpan di sampingnya. Ibunya pasti masih sangat mencintai ayahnya. Buktinya, hingga sekarang ibunya tidak pernah menerima cinta Liam.
Pria bernama Liam itu sedang duduk bersama dengan Aunt Melanie dan suaminya. Mereka sedang mengobrol seru. Sebenarnya, Liam sudah dianggap seperti keluarga, tapi ibunya hanya menganggap pria itu sebagai seorang teman saja, tidak lebih dari itu. Ben tidak pernah mempermasalahkan jika ibunya mau menikah lagi dengan pria mana pun, asalkan ibunya bahagia.
Sam mengajaknya untuk mengambil makanan. Berbagai macam makanan tersedia lengkap di meja. Ben memilih untuk makan spageti dan stik ayam.
"Ben, apa kamu masih berpacaran dengan Natasha?" tanya Sam.
"Natasha? Yang mana ya? Aku lupa." Ben mencoba mengingat-ingat nama itu. Berhubung pacarnya sangat banyak, Ben sampai tidak ingat pada gadis yang bernama Natasha.
"Wah. Apa kamu sudah putus dengannya?"
"Mungkin. Seingatku tidak ada pacarku yang bernama Natasha. Uhm, tunggu sebentar. Oh, aku ingat! Dia itu gadis yang satu kampus denganmu, bukan?"
"Ya! Aku dan Natasha sama-sama mengambil jurusan bisnis," ujar Sam.
Ben menganggukkan kepalanya perlahan sambil mengingat wajah gadis itu. Tiba-tiba, terdengar suara bel pintu. Aunt Ika, istri dari Uncle Marshal membukakan pintu.
Tak berapa lama kemudian, Aunt Ika mendekati Sam dan Ben. Seorang gadis mengikuti di belakangnya. Dan, Ben pun sekarang ingat seperti apa wajah Natasha.
"Hai, Ben," sapa Natasha.
Ya Tuhan, cobaan apa lagi sekarang, batin Ben.