Bab. 5. Pindah Rumah.
Kinanti mengantar ku pulang. Percuma aku telepon Ridho, toh dia sedang asyik dengan wanita lain.
"Makasih Kinanti, maaf udah krepotin kamu,"
"Nggak repot Rania, kalau ada apa-apa telepon saja,"
Aku masuk ke dalam, Ibu sedang membaca buku majalah terbaru di ruang tamu.
"Pulang sendiri Rania? Ridho mana? tanya Ibu. Meletakkan buku di meja.
"Dia belum pulang Bu? tanya ku balik.
" Lah gimana sih kamu! Di tanya malah balik nanya?"
"Kan aku nggak sekantor sama dia Bu," Jawab ku entheng lalu duduk di samping Ibu.
Suara mobil terdengar di teras depan. Itu pasti Ridho. Benar saja, ia membawa kantong plastik berisi aneka Roti. Ia tersenyum pada Ibu tapi menatap datar pada ku.
"Bu, ini kue tadi aku mampir ke Mall, ku bawakan ini buat Ibu," ucap Ridho. Aku
"Bilang aja, habis jalan- jalan sama kekasih," Batin ku.
"Makasih Nak Ridho," ucap Ibu sumringah.
"Oh ya Rania kamu baru pulang? tanya Ridho.
"Iya, jawab ku singkat.
" Maaf tadi tak bisa menjemput mu, ada pesenan mebel dari luar kota,"
"Iya, nggak apa-apa. Tadi di antar Kinanti ko,"
" Oh ya, Ayoo Rania, kita ke kamar ada yang ingin aku bicarakan,"
"Sana gih," Usir Ibu ku.
"Saya ke atas dulu Bu,"
"Iya."
Terpaksa aku menuruti Ridho naik ke atas.
Sebisa mungkin aku pasang wajah biasa saja, tak menunjukan wajah masam.
Duduk di pinggir Bed. Muka Ridho serius seperti ingin mengungkapkan sesuatu.
"Kita tak mungkin serumah terus dengan orang kamu, sebaiknya kita mandiri. Secepatnya kita harus pindah,"
"Kapan? tanya ku.
"Sekarang."
"Tapi?
" Aku tak mau dengar alasan mu Rania, secepatnya kita harus pindah!" Bentak Ridho.
"Kamu udah tau kan, kalau aku sudah punya rumah sendiri."
"Dah lah, aku mau mandi. Siapkan baju di koper selesai mandi harus siap!" Wajah Ridho menegang menahan amarah.
Deg.
Aku memegang dada karena sedikit kaget.
Aku mencoba memejamkan mata, menahan air mata yang ingin keluar. Gumpalan penuh serasa sesak di dada. Aku menepuk dada ku sendiri. Mencoba bersabar. Aku mengambil koper di atas lemari. Menata bajunya Ridho dan di koper satunya untuk baju ku. Tak semua baju aku bawa. Sengaja aku tinggalkan.
Ridho punya sendiri. Deket pusat kota Semarang. Perumahan griya Asri. Deket dengan kantor pusat ku tempat ku. Sebenarnya aku berat berpisah dengan orang tua, tapi Ridho ingin mandiri. Terpaksa mengikutinya. Karena sejatinya istri harus ikut kemana suaminya pergi.
Ridho keluar dari kamar mandi, ia terlihat tampan saat habis mandi. Astaga, kenapa aku memperhatikannya?
"Dah lah, mending aku mandi saja," Batin ku.
Aku udah mengepak baju dua koper, menaruhnya di pojokan. Wajah Ridho terlihat dingin, tapi tak perdulikan itu. Aku masuk ke kamar mandi, melakukan ritual mandi dengan luluran dan sabun aromatherapy.
Selesai mandi dan berganti pakaian, melihat Ridho sedang teleponan dengan seseorang di balkon kamar.
"Ya Allah, kuat kan hati ku, jangan ada air mata yang mengalir," Doa ku dalam hati.
Lebih baik turun ke bawah dari pada melihat suami bertelepon mesra dengan wanita lain
"Rania, mana suami mu? tanya Ayah habis pulang kerja.
"Ooh,"
Ayah kemudian ke kamar. Ibu sedang nonton tivi, aku mengelayut di pundaknya.
"Bu, Mas Ridho mengajak ku pindah ke rumahnya. Ibu nggak apa-apa?
" Ya nggak apa-apa to, kamu kan sudah menikah. Kalau suami mu mengajak ya harus di ikuti." Ucap Ibu sembari mengelus kepala ku. Padahal aku berat berpisah dengan keluarga ku.
Ridho turun dengan membawa dua koper, terlihat kelelahan. aku biarkan saja. Masa bodo lah.
"Ayah, Ibu. Kami ingin mandiri, aku mengajak Rania ikut bersama ku,"
Ayah nampak sedih, tapi sejenak kemudian legowo.
"Baiklah kalau memang keputusan kalian untuk mandiri, nak Ridho titip Rania ya,"
Kata-kata Ayah membuat ku terharu.
"Iya Ayah," Jawab Ridho kemudian mengangguk.
Aku dan Ridho bergantian mencium tangan Ayah. Aku menangis saat berpamitan sama Ibu.
"Semoga kamu selalu bahagia nak,"
"Makasih Bu,"
Ridho memasukan kedua koper ke bagasi mobil. Aku masuk mobil melambaikan tangan pada orang yang telah membesarkan ku.
Aku mengusap air mata ku yang menetes. Ridho hanya diam sambil konsentrasi menyetir.
Aku dan Ridho tak bicara. Sibuk menyelami pikiran masing-masing. Terlintas di pikiran tentang Roger, Seandainya aku bersanding dengan dia aku pasti bahagia. Astagfirullah. Segera hilangkan Roger di pikiran ku.
Kami sampai di gerbang perumahan Griya Asri. Satpam membuka kan pintu gerbang untuk kami. Mobil Ridho berhenti di depan rumah lantai dua modern tak terlalu luas juga tak sempit.
"Udah sampai Rania, nanti kita tak sekamar. Nanti ada mbok Yem yang menunjukan kamar mu," Ucap Ridho dingin.
"Iya." Aku tak ingin banyak protes, ini semua demi Ayah.
Kami membawa koper masing-masing.
Seorang wanita paruh baya menyambut kedatangan kami. Mbok Yem namanya.
"Rania, kenalkan dia Mbok yem yang akan bantu- bantu kamu," Mbok Yem mengulurkan tangannya.
"Rania," Ucap ku mengulurkan tanganku.
"Mbok yem,"
"Ikutlah sama mbok Yem, dia akan tunjukan kamar mu."
Aku dan mbok Yem naik ke lantai atas sambil membawa koper.
" Ini kamar Mbak Rania," Mbok Yem membuka pintu. Kamar nan luas, ada lemari serta meja rias, juga kamar mandi dalam.
"Makasih ya mbok,"
"Sama-sama Mbak,"
Aku membuka koper dan menata baju di lemari. Lalu berwudhu dan sholat maghrib. selesai sholat perut ku keroncongan teringat tadi siang sepulang kerja belum makan.
Ku lihat Ridho berpakaian rapi seperti akan pergi. Aku coba tanya.
"Mau kemana mas? Tanya ku penasaran. Aroma parfumnya segar, aku suka baunya. Tapi dia harum bukan untukku tapi untuk wanita lain.
"Nggak usah tau aku mau kemana! Makan saja sana! Minta mbok Yem menyiapkan!
Jleb.
Aku langsung terdiam mendengar kata- kata Ridho. Dia langsung pergi tanpa menoleh kebelakang.
Aku menghela napas pelan. Dan mengutuki diri ku sendiri. Harusnya aku tak perduli, kenapa sih harus tanya dia segala. Dia makin tak perduli kan?
Terlihat mbok Yem sedang menyiapkan makanan. Ayam bakar dan sambel.
"Mbok, bikin apa baunya enak banget?"
"Ayam bakar sama sambel mbak,"
"Aku laper mbok,"
"Aku ambilkan ya mbak,"
"Nggak usah mbok, aku ambil sendiri. Ayoo makan bareng mbok,"
"Iya mbak,"
makan ayam bakar bersama mbok Yem, kehadirannya sedikit mengobati kesepian ku, Ridho lebih asyik di luar Masakan mbok Yem juga enak. Sambil makan aku dan mbok Yem ngobrol. Ternyata mbok Yem merantau di sini. Suaminya sudah meninggal, Anak- anak nya sudah menikah semua. Ia hanya tak merepotkan anak- anaknya.
Bersambung.