Pov Ridho.
Aku kesal marah sama Rania, ku bentak dia, wajah Rania pucat mendengar bentakan ku. Puas rasanya melihatnya sedih, Aku tak mau barang- barang ku di sentuh dia.
Melihat Rania saja aku udah malas, apa lagi sampai menyentuh barang- barang ku. Aku tak rela. Wajah polosnya ingin membuat ku simpati namun aku malah semakin membencinya.
Setelah mandi, aku menuju rumah Arini ia minta di antar kuliah.
Mobil ku sampai di rumah Arini. Orang tua Arini aku belum tau aku telah menikah. Sengaja aku rahasiakan, hanya Arini yang ku beritahu.
Agar bisa bebas menemui Arini kapan saja.
"Aku turun dari mobil, terlihat sudah rapi. Ia memakai blazer, di dalamnya kaos putih di padu celana jeans.
Setelah berbasa basi dengan orang tua Arini, kami masuk mobil . Ia terlihat sangat cantik pagi ini. Kesal pada Rania menguap entah kemana.
"Sayang, nanti kita jalan- jalan dulu ya, kuliah hari ini paling satu jam, mau kan menunggu ku,"
"Oke aku tunggu, tapi mau jalan-jalan kemana sayang?" tanya ku penasaran.
Arini masuk ke kelas, sedang aku menunggu di mobil. Sembari menunggu Arini, aku menelpon Andi, memastikan di toko cat dan mebel aman- aman saja
Ku buka jendela mobil membiarkan angin lewat masuk mobil ku. Sembari menunggu Arini datang, terlintas di pikiran ku wajah pucat Rania. Rasa bersalah mengelitik hatiku.
Ting.. Ada notifikasi pesan datang dari Rania,Ia ingin membelikan kaos, ingin memilihkan warna yang ku suka. Tapi aku tak peduli. ku tak balas chatnya. Lebih baik aku matikan notifikasi pesan. Fokus main game.
Arini jalan cepat menuju mobil. Senyum manis mengiringi langkah cepatnya.
"Udah selesai sayang? tanya ku antusias. Aku ingin liburan dengannya mengisi waktu, tentunya membahagiakan kekasihku.
" Kita mau ke mana sayang," Tanya ku sembari menyetir mobil.
"Kita ke puncak deh, aku pingin liat pemandangan," ucap Arini tersenyum.
"Baik sayang, siap!!" Ucap ku semangat.
Arini melepas blazer yang menutupi tubuhnya. Terpampang tubuhnya yang seksi di lapisi kaos yang tipis. Terlihat lekuk tubuhnya menambah keseksiannya. Penampilan Arini menganggu konsentrasi ku. Ia begitu seksi.
Gejolak hasrat ku naik ke ubun- ubun. Selama pacaran dengannya aku berusaha menjaga wanita ku, tapi kalau godaan seperti ini apa bisa aku tahan?
Aku berusaha menyetir konsentrasi. Padahal AC di mobil ku menyala, tapi rasanya panas. Apa badan ku yang panas karena nafsu?
Sepanjang perjalanan Arini bercerita apa saja, celotehanya sering membuat ku tertawa. Aku terhanyut dalam suasana bahagia. Saat ini bener- bener lupa kalau aku punya istri di rumah. Pesona Arini membuat ku candu.
Tak lama kemudian kami sampai di puncak, pepohonan teh menghampar asri nan hijau memanjakan mata kami. Sangat indah, lebih indah ada Arini di samping ku. Kami berjalan- jalan di kebun teh. Orang penduduk sini sangat ramah, tak segan menyapa kami berdua. Serasa bulan madu, hanya ada aku dan Arini.
Mendung mulai menghiasi langit di atas sana, terdengar suara guntur menyambar. Arini ketakutan ia memeluk ku erat. Tonjolan kenyal menyentuh dada ku. Darahku berdesir.
Air tumpah dari langit, tubuh kami basah. Di ujung sana ada pondok tempat pekerja kebun berteduh tapi kosong. Kami berteduh di pondok itu. Aku menggosokan kedua tangan agar tubuh sedikit menghangat. Arini juga melakukan hal yang sama. Tiba-tiba petir menggelegar, Arini ketakutan. Ia memeluk ku erat. Aroma tubuhnya menyeruak menusuk kalbu ku. Aku tak tahan gejolak nafsu ini. Aku meraih bibirnya, Arini tak menolak. Saat aku membisikan kata cinta di telinganya ia mendesah. Aku rebahkan tubuhnya pelan, tatapanya menghiba, seolah menginginkan aksi lebih, Aku tak menyiakan itu, dengan pelan aku berhasil menyibak pertahanan wanita ku.
*****
Tak terasa pernikahan ku dengan Ridho menginjak bulan ketiga, kami hidup sendiri- sendiri. Aku seperti orang asing di rumah ini . Ridho semakin sibuk dengan pekerjaannya sendiri. Kadang juga keluar kota, apa urusannya aku tak tau. Setiap ku tanya jawabannya selalu ketus, tak ingin tau urusannya. Untungnya ada Mbok Yem yang menemani, aku tak terlalu kesepian. Anak? Jangan kan anak di sentuh pun tidak. Sepulang kerja berniat pulang ke rumah Ibu dan menginap di sana.
Aku tak membawa banyak pakaian, karena di sana masih ada pakaian ku.
"Mbok Yem, aku mau ke rumah Ibu, nanti kalau Mas Ridho tanya bilang aku di rumah Ibu ya,"
"Mbak Rania nggak menunggu Mas Ridho dulu?" tanya Mbok Yem seakan ingin menahan ku.
"Nggak Usah mbok Yem, nanti merepotkan dia," ucap ku.
"Ya udah, Hati-hati ya Mbak Rania,"
"Iya Mbok,"
Aku melajukan honda scoopy ku ke Rumah orang tua ku. Walau jauh aku lakukan. Aku kangen Ayah, Ibu juga adikku, udah hampir enam bulan aku tak mengunjungi mereka. Hampir satu jam aku menempuh perjalanan lewat motor , akhirnya sampai juga di depan gerbang rumah orang tua ku.
Ayah sedang mencuci mobil di bantu Andri.
"Assalamualaikum Ayah," sapa ku sambil meraih tangan Ayah Takzim.
"Waalaikum salam," Jawab Ayah. Ia melihat ku heran datang seorang diri.
"Ridho mana? tanya Ayah.
" Eehm, belum pulang dari toko, eeh dia keluar kota kirim mebel," ucap ku bohong.
Ayah merasa ada yang janggal dengan jawaban ku tadi. Tapi aku tak peduli dengan reaksi raut wajahnya. berlalu dari hadapan Ayah yang masih binggung dengan jawaban ku tadi.
"Andri, Ibu mana?"
"Lagi masak mbak,"
Aku melangkah masuk menemui Ibu ku. Aroma wangi masakan menembus hidung ku, lapar mengelitik perut ku.
"Lagi masak apa Bu?" tanya ku.
Ibu kaget dengan suara ku.
"YA Allah, Rania kamu ngagetin aja! "
ucap Ibu sembari memegang dadanya.
"Hehehe... "
Aku tersenyum geli lalu mencium tangannya takzim.
"Kamu sendirian Rania?"
"Iya Bu," Jawab ku entheng.
"Ridho mana?"
"Dia keluar kota ngirim kursi sama lemari," Jawab ku berbohong.
"Ooh,"
Aku segera mengambil piring, perut udah keroncongan minta di isi. Lauk kesukaan ku, Ayam goreng sama lodeh terong. Mengambil nasi di piring dan Ayam goreng. Duduk di kursi dekat dapur, Ibu duduk di depan ku memperhatikan yang terlihat kurus. Ia serasa punya filling untuk anaknya.
"Rania, kamu agak kurus. Apa kamu bahagia?" Pertanyaan Ibu menghentikan aktivitas makan ku sementara. Menatap Ibu sejenak lalu melanjutkan makan lagi.
"Rania?" Panggil Ibu lagi. Suasana canggung, mencoba bersikap biasa saja. Memasang wajah sedatar mungkin menahan gejolak perasaan ku. Aku tak mau Ibu tau keadaan yang sebenarnya mungkin nanti kalau tak kuat, aku akan menyerah.
"Tak usah tanya kan itu Bu, toh kebahagiaan ku sudah tergadai dengan persahabatan Ayah,"
Mendengar ucapan ku Ibu langsung terdiam tak bisa menjawab, tapi dari rautnya seperti menyesal kalo putrinya tak bahagia dengan pernikahannya.
****
Suara telepon berdering, Nama my husband terpampang di layar. Aku mengangkatnya.
"Ada apa? tanya ku ketus.
"Kenapa Pergi ke Rumah Ibu nggak bilang? Hehh.. Istri macam apa kau ini?!"
"Aku udah bilang dengan mbok Yem." Jawab ku entheng. Merasa tak bersalah karena selama ini dia juga cuek padaku kenapa aku harus pamit saat akan ke rumah orang tua ku.
"Rania Maharani! Aku tuh suami mu jadi keluar dari rumah tanpa sepengatahuan suami adalah dosa!" Bentak Ridho hingga kuping ku berdengung.
"Ooh suami? Yang cuek sama istri dan lebih sibuk dengan wanita lain?!" Jawab ku melawan omongan Ridho berdasarkan kenyataan.
Tak ada Suara di seberang, aku langsung menutup panggilan teleponnya. Menaruh gawai ku di atas nakas, kembali melanjutkan menata sprei. Malam ini aku tidur di rumah orang tua ku.
Bersambung